#18. Menunggu

65 6 0
                                    

Delapan jam menunggu di ruang tunggu, Simon berjalan di tempat yang sama berulang-ulang. Panik.

"Apa yang terjadi?" umpat Simon.

Dia tak menduka akan terjadi seperti ini. Mana mungkin Rian jatuh sakit parah hanya berada di ruang dingin selama tiga jam? Harusnya manusia itu bisa cepat beradaptasi di lingkungan ekstrem sekali pun. Contoh ventilasi udara. Terus untuk apa Simon membawanya ke rumah sakit Imanuel terburu-buru, lalu memberitahukan semua kejadian kepada ibu.

Simon mendengar dua orang percakapan di ruang inap yang Rian tempati, 017.

"Aku harap dia baik-baik saja?"

"Dia akan segera membaik. Tuanku sudah dalam kondisi aman. Dia harus banyak istirahat."

"Begitu. Maaf atas kejadian yang baru menimpanya."

"Tak apa-apa. Aku senang dia seperti ini."

"Seperti 'itu'?" umpat Simon. Menempelkan gelas kosong ke pintu agar bisa mendengar percakapan mereka.

Kepala sekolah mengangkat sebelah alis, tak mengerti yang dia bicarakan. "Apa yang kamu maksud, Axel?" tanya Bu. Rusmanama.

"Tuanku mengidap penyakit insomnia. Sepanjang malam ia susah tidur. Tuanku selalu melakukan beberapa percobaan. Kau tau eksperimen fisika dan sains?" Axel menjelaskan secara perlahan. Dan melempar sebuah pertanyaan yang masuk akal untuk Bu. Rusmanama.

"Pantas saja, dia sering mengantuk di kelas. Semua guru yang bekerja selalu komplain dengan ketidakpatuhan Rian saat belajar." Bu. Rusmanama menatap Rian lamat-lamat. Lelah yang dirasakan terukir dari raut wajah Rian sedang terbaring pulas di ranjang dengan jarum infus yang menusuk ke tangan kirinya.

"Semoga dia cepat sembuh." Wanita paruh baya mengambil dompet hitam berlogo buaya, merek Lacoste. Dompet wanita cukup terkenal bagi kaum hawa. Ibu memilikinya setelah ayah memberikan dompet tersebut sebagai kado pernikahan yang ke-26.

Bu. Rusmanama beranjak berdiri dari kursinya, Axel mengantarnya sampai keluar. Simon buru-buru menjauh dari pintu, menyandarkan punggung ke tembok, membuat wajah se-rileks mungkin.

Ketika ibu keluar, ia menghela napas dengan panjang, kecewa. Mendekati Simon.

"Nak. Waktunya pulang" ucap Bu. Rusmanama.

Simon melangkah dengan malas, menundukkan kepala. Kedua tangan masuk ke dalam saku jas sekolah. Dia menoleh, pria yang menunggu Rian kini menatap tajam Simon. Buru-buru Simon memalingkan wajah, napas tertahan.

"Ekspresi apa itu?" umpat Simon.

Kakinya gemetaran karena pandangan Axel barusan. Warna merah di mata... Axel adalah seorang monster?! Mana mungkin. Simon beranggapan ia hanya lelah dengan semua ini. Itu saja.

***

Di dalam mobil tampak lenggang. Simon lebih tertarik menatap cahaya kilat selintas di balik jendela dibandingkan bicara dengan ibu. Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju rumah. Ibu mengemudi mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air.

Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhi langit.

"Kamu sudah makan?" Ibu bertanya, tangannya menekan klakson, ada mobil mengebut sembarangan, menghambat lalu lintas malam yang mulai macet di depan.

"Iya, Bu. Siang hari aku beli sandwitch dari kantin rumah sakit," ia menjawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap.

"Oh. Kamu pasti lapar ya, kita makan ke Mc'donal?"

Simon mengangguk. Ikut menatap ke depan.

"Ibu" panggil Simon. Bu. Rusmanama mengangguk, mengiyakan, masih menetap ke depan. "Rian baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja."

"Maaf aku sudah merepotkanmu."

"Tak apa-apa. Ibu bangga. Kamu telah menyelamatkan nyawa Rian sebelum terlambat."

Simon menoleh, "apa ibu bilang?"

"Rian hampir dalam kondisi kritis. Jika kamu tidak sempat membawanya ke rumah sakit. Entahlah, ibu tidak bisa membayangkan hal mengerikan terjadi menimpanya."

"Dia memiliki pernyakit?" tanya Simon. Antusias.

"Ibu tidak terlalu ingat. Axel, pelayan Rian. Memberitahu ibu. Dia mengidap penyakit Hipotermia, Skizofrenia, Insomnia, dan masih banyak lagi. Ibu tak paham. Coba bayangkan; seorang manusia bisa memiliki banyak penyakit dalam satu periode, satu hari? Tidak masuk akal. Dalam dunia medis seseorang berpenyakit lebih dari dua penyakit tak akan memiliki harapan untuk hidup lama. Sungguh omong kosong. Ibu mendengarkan seakan tak percaya yang diberitahu Axel. Kau percaya itu?" Ibu mencibir. Melempar pertanyaan, menyakinkan pendapatnya.

Simon mengangkat bahu, tak peduli. "Aku tidak tahu."

Ibu menghela napas, kecewa. Tak puas dengan jawaban Simon.

Ketika tiba di Mc'Donal, ibu memesan dua hamburger dan segelas cocacola. Dengan cepat Simon menyantap hamburger hingga tersedak, lalu meneguk segelas cocacola, melanjutkan makan.

"Jangan makan terburu-buru. Kamu bisa sakit perut."

Simon mengangguk, sehabis makan, ia langsung membersihkan kertas bekas hamburger ke dalam gelas plastik cocacola yang kosong. Ibu sesekali menatap Simon, dengan cekatan menekan klakson, dua pengemudi motor menyiap ke depan.
"Kenyang?"

"Iya."

"Bagus. Jadi ibu tidak perlu masak makanan untukmu."

Hujan deras membasahi jalan. Mobil melesat dengan cepat melewati kompleks Lightmare. Simon menguap, lelah. Saat mereka di depan rumah, gerbang terbuka otomatis, mobil terparkir rapih di dalam garasi. Akhirnya perjalanan panjang telah usai. Simon bisa tidur di kamarnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 malam, di ruang tamu Simon menatap lamat-lamat seorang pria manusia tidur di sofa. Jari-jemari kurus mengusap rambut hitam dengan lembut. Lelah, habis pulang kerja. Di kantor Ayah Simon kerja sangat sibuk, bahkan ia tidak punya waktu banyak bersama keluarga sedikit pun.

Terkadang Simon rindu ayah, sejak kecil ia belum pernah menghabiskan waktu bersama ayah untuk bermain, petak umpet.

"Simon. Kau belum tidur? Jangan ganggu ayah. Biarkan dia istirahat" ucap ibu setengah berbisik.

Pria itu merenggangkan kaki, berbalik badan, menghadap dalam sofa. Simon melangkah mundur, menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamar.

Menghela napas panjang, ia mengganti baju seragam dengan piama hitam. Sikat gigi sebelum tidur, seperti biasa bayangan Simon tak muncul di pantulan cermin hanya busa dan sikat gigi seakan terbang ke udara. Kemudian meluncur ke kasur empuk, merilekskan tubuh kaku yang sudah duduk selama beberapa jam. Rintik hujan membasahi halaman rumah, tak menina bobokan Simon.

Tetes air hujan mengganggu pendengarannya, berusaha menutup kuping dengan dua bantal sekaligus.

"Hujan membuatku gila" gerutu Simon, meloncat dari kasur. "Di mana aku menyimpan penyumbat telinga profesionalku?" umpatnya. Merogoh isi laci meja belajar, memeriksa kolong kasur dan lemari. Yang terakhir mengeluarkan semua buku di dalam tas.

Kerjanya membuahkan hasil. Setelah beberapa menit Simon mencari akhirnya ia menemukan penyumbat telinga berwarna pink. Tak lama ia segera memasang. Kembali tidur.

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang