#19. Flower's

59 7 0
                                    

Seminggu...

Dia memejamkan mata, melihat wajahnya sungguh tenang hingga menganggapnya sedang tidur. Simon menjenguk Rian sedang sakit, membawa keranjang buah sebagai... Entahlah, dia tak peduli sebenarnya ibu memaksa Simon menjenguknya dengan membawa makanan untuknya. Masa bodoh mengetahui makna yang tersembunyi, setidaknya dia sudah melaksanakan tugas yang ibu berikan dengan lancar.

Tapi sepertinya pemikiran ibu sama dengan beberapa orang yang menjenguk Rian, sekedar mengetahui kondisi kesehatan saja. Toh! Dua ranjang kosong belum di pakai oleh pasien penuh kado dan bermacam-macam karangan bunga terpajang rapih di atas meja. Dasar, pria aneh yang selalu menemani Rian, ia menatap Simon dengan tatapan sama selama beberapa menit tanpa berkedip.

Apa-apaan sih?! Bikin takut aja, ketus Simon.

"Rian belum sadarkan diri?" tanya Simon. Menatapnya.

"Iya. Tiga hari lagi dia akan siuman."

Simon mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam tas. "Untuk Rian. Kepala sekolah menyuruhku memberikannya karena ia telah melewatkan materi pembelajaran."

Axel menerima. "Terima kasih. Kau sudah baik mengantarkan dokumen penting bagi Tuan."

Vampire muda menilik nampan berisi makanan yang belum tersentuh sedikit pun, dibiarkan dingin, di atas meja.

"Anu... Itu?"

Axel melirik. "Oh, kau mau?"

Simon menggeleng, tersenyum kecut. "Tidak. Aku hanya penasaran. Jika Rian belum siuman. Mengapa kamu belum memakan makanan yang diantarkan perawat?"

"Itu..." Axel menggantungkan kalimat.

Larik matahari senja menerobos lembut celah jendela, bayang-bayang meninggi seraya gerak matahari nan lambat terbenam. Sorot mata tajam, warna merah-dadu secerah rubi menatap butler Rian. Penasaran. Dia tak mendengar detak jantung sedikit pun dari pria itu. Simon hanya merasakan denyut nadi pelan dari teman sekelas yang tengah tertidur pulas di ranjang. Lalu sebuah pemikiran lucu muncul di benak Simon, cocok buat pria berambut pirang.

"Axel. Berapa lama kamu bersamanya?"

Pertanyaan yang dilontarkan menarik perhatian Axel. "Mengapa kamu ingin mengetahuinya?" Axel bertanya.

Simon mengangkat kedua bahu, menyeringai dingin. "Aku mau tahu. Kau bukan manusia biasa yang pernah kutemui sebelumnya. Katakan padaku. Siapa kamu? Mengapa kau selalu bersamanya?"

Kali ini, Axel memalingkan wajah, merapatkan geraham, mengepal tangan. Lantas Simon mengetuk jari, menunggu jawaban.

Simon berkata. "Kenapa kamu diam? Sementara aku sudah memberimu banyak pertanyaan."

"Hentikan, Simon. Kau tidak boleh berisik di rumah sakit" pelan Axel. Dengan cepat melirik mata ke arah kiri dan kanan.

"Kau panik?"

"Tidak. Tentu tidak."

Simon tersenyum sinis, menatap Axel lamat-lamat. "Oke. Aku harus pergi." Dia melirik pergelangan jam, beranjak berdiri, tak lupa membawa tas sekolah.

Beberapa detik Axel menahan napas, mencemaskan sesuatu. Ia mengantarkan Simon keluar. Tapi sebelum pergi, Simon berbalik, menepuk bahu Axel sebelah tangan. Mendekatinya seakan mau berbisik.

"Aku tau. Kau sebenarnya bukan manusia."

Pria itu melotot. Vampire muda berjalan mundur selangkah demi selangkah. Sorot mata tajam tersirat makna keburukan yang mendalam. Simon berlalu pakai kacamata hitam.

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang