#27. V adalah....

89 6 0
                                    

Sejak saat itu, Rian sering mendekati Simon. Ketika Simon menyimpan sepatunya di dalam loker, tiba-tiba Rian muncul dihadapannya saat berbalik badan. Simon sontak terkejut, kehadiran Rian tak diduga.

"Tolong beritahuku semuanya tentang vampire" mohon Rian.

Simon berlalu tak pedulikan. Ketika dia duduk di bangkunya. Rian mendekat dan duduk di bangku lain. Mereka saling berhadapan, dengan antusias Rian ingin mencoba mengemukakan segala pertanyaan dalam pikirannya yang super pintar itu.

"Beritahukan semua tentang vampire."

Simon memalingkan wajah, menopang dagu di atas tangan. "Apa yang membuatmu menarik?"

"Aku tidak tau."

"Menjauh dariku" ketus Simon.

"Baiklah" jawab Rian, kecewa. "Padahal aku sudah siapkan ini buatmu" lalu ia mengeluarkan sekantong plastik berisi darah manusia golongan O di dalam saku jas sekolah.

Spontan sebagian teman sekelas tergolong monster langsung menatap tajam pada sesuatu yang digenggam tangan Rian. Sebagian murid berstatus sama dengan Rian mulai bergidik merinding sampai bulu kuduk berdiri karena suasana dalam kelas 1-A jadi suram dan sunyi. Tak ada satu pun bunyi sedikit pun untuk memecahkan keheningan dalam kelas itu. Rian diam, memanja-manjakan sekantong darah segar di genggaman tangannya tanpa rasa getir. Simon yang saat itu meneguk ludah dengan kasar untuk kedua kalinya, rasa haus menjalar sampai ke otak. Dan menyuruh akal sehatnya mengabil sekantong darah lezat dan manis lalu membeberkan semua tentang vampire kepada Rian semuanya sampai Simon tak dapat menjelaskannya lebih lanjut lagi. Ia menggigit bawah bibir, deru napas sangat berat, mencengkram pahanya dengan keras. Simon berusahan menahan godaan dalam hidupnya, meneguk darah manusia.

"Baiklah, aku berikan saja pada orang lain saja." Rian menghela napas dengan sedih, beranjak duduk. Namun Simon mencegahnya pergi dengan cepat memegang pergelangan tangan Rian.

"Tunggu dulu. Aku belum bilang "aku tidak mau". Berikan padaku." Ujar Simon dengan pasti.

Rian tersenyum, rencana ia buat membuahkan hasil. Dia tau sifat Simon yang keras kepala. Kurang dari satu menit Rian menjelaskan pasti Simon sudah lari terbirit-birit mencari alasan lain untuk tidak memberikan penjelasan soal vampire. Istilahnya Simon mudah tergoda dengan darah manusia walaupun hanya setetes darah manusia tanpa sengaja mengotori lantai. Rian menyerahkan sekantong darah yang baru di beli di rumah sakit terdekat sebelum berangkat ke sekolah kepada Simon. Simon menerima tawaran tersebut. Menghela napas berat, ia langsung menyimpannya di saku dalam jas sekolah. Melirik mata dengan sorot tajam seakan mengawasi setiap teman sekelas, mencurigai, dia mirip seperti seorang kriminal sedang menyeludup dua puluh kilogram ganja ke tempat tertentu.

"Kapan kita mulai?" tanya Simon.

"Sekarang" jawab Rian.

Simon mengangkat sebelah alis saat mendengar jawaban dari manusia yang sedang menatapinya. "Sekarang? Sebentar lagi pelajaran pertama akan segera di mulai. Aku tidak bisa melewatkan hal penting untuk keperluanmu sendiri."

Tampaknya Simon menolak, Rian sudah menduga Simon akan menjawab seperti itu. Tak tanggung-tanggung ia mengeluarkan sekantong darah bertulis golongan AB di label kemasan tersebut. Lalu menaruhnya di atas meja, mata Simon melotot ketika dia melihat golongan darah manusia terbilang langka di dunia ini.

"Apa ini? Kau menyuapku?"

"Tidak."

Rian menatap Simon sedang menimbang-nimbang keputusan ia buat sekarang. Dengan melipatkan kedua tangan di atas dada. Rian menunggu...

Dalam hitungan. Satu... Dua... Tiga...

Simon mengambil sekantong darah lagi. Ketika ia hendak menyimpannya di saku jas sekolah lagi. Simon kebingungan karena sakunya tidak muat menyimpan sekantong darah sepenuhnya. Apa boleh buat? Dia memutuskan menyimpannya di dalam tas sekolah. 
"Oke. Aku menghabiskan waktuku sebelum dijual oleh Mr. Theo untukmu. Tapi aku punya satu syarat."

"Kuterima syaratmu. Sebutkan?"

Simon beranjak berdiri, melangkah mendekati Rian hingga Simon berada di belakang Rian. Merangkul punggung Rian dengan sebelah tangan agak kaku. Lantas menundukkan kepala, berbicara seakan berbisik kepada Rian mirip setan sedang mengganggu hati dan pikiran manusia mulai gundah, kurang menyakini adanya keberadaan Tuha. "Setiap hari aku ingin kau memberiku sekantong darah manusia tipe golongan AB tanpa pengecualian. Maka aku akan memberitahukan semuanya padamu. Setuju?"

Rian menahan tawa, menoleh ke arahnya. "Baiklah, aku terima syaratmu."

Vampire muda itu menjauh. "Lalu di mana aku harus menjelaskannya padamu. Di sini? Terlalu banyak orang. Kau tahu tempat yang cocok untuk kita berdua?"

Rian menyentuh dagu, berpikir.

***

Kini mereka berada di atap gedung tiga. Cocok untuk melepas penat di saat jam pelajaran di mulai. Simon tak percaya harus di tempat ini lagi. Tempat pertemuan mereka untuk kedua kalinya sejak Simon menyerang Rian untuk yang pertama kalinya di anak tangga. Seandainya lendir siput milik petugas kebersihan itu tidak ada. Mungkin Simon belum pernah mencicipi darah Rian sampai sekarang.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Rian. Membuyarkan lamunan Simon.

Simon mengangkat bahu dengan ringan, menoleh ke sudut empat puluh lima derajat seakan tak menuntu. "Bagus."

"Bisakah kita mulai sekarang?"

"Iya." Simon menggaruk kepala tidak gatal. Bingung harus menjelaskan dari mana terlebih dahulu.

Dengan cekatang Rian mengambil notebook dan pulpen di kantong kecil. Lalu terlinras dipikiran Simon, berpendapat. Pantas saja dia selalu tak membawa tas ke sekolah, umpat Simon.

"Baiklah, aku siap."

"Oke..." Simon menggantungkan kalimat, menepuk tangan dengan lemas. "Bagaimana kalau kita duduk dulu?"

Rian menganggukan kepala, mereka segera duduk.

"Simon-sensei, boleh aku bertanya?"

"Simon-sensei?"

"Iya."

"Bisakah kau panggil aku Simon."

"Tidak. Aku anggap kau sebagai guruku. Sekarang aku mau tanya. Apa itu vampire?"

Simon menghela napas berat, kecewa. Rian sangat bersungguh-sungguh. Lantas Simon mencoba berpikir untuk mencari kalimat yang pas buat Rian.

"Vampire adalah..." Simon berhenti bicara, melihat Rian dengan seksama. Ia baru selesai menulis. "Mahkluk..." Simon menggantung kalimat.

Rian menulis.

"Penghisap..."

Rian menulis.

"Darah..."

Rian menulis.

Simon tersenyum kecut, menahan tawa. Menggelengkan kepala kecil.

"Selesai."

Rian sedikit bergumam setelah selesai mencatat. Membaca secara cepat. Menahan napas, kecewa.

"Sudah?"

"Iya." Simon beranjak berdiri, sambil lalu.

"Dammit!!" umpat Rian.







Hi,, minnasang!!!
Di sore yang cerah. Aku buat cerita baru buat kalian.

So follow and vote sebanyak² supaya authors lebih semangat buat cerita menarik untuk kalian semua.

See you next time, rianferdinan4

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang