#9. Kesal

127 9 0
                                    

Dua minggu berlalu, Mrs. Wanda memberikan hukuman kepada Jack yaitu berdiri di koridor membawa dua ember penuh air. Pelajaran pertama berlangsung lama, Rian menengadahkan kepala melihat langit memperhatikan awan abu-hitam. Simon tidak menyimak pelajaran, corat-coret buku menulis beberapa kata.

Bunuh… Bunuh…. Bunuh…. Bunuh…. Bunuh….

Simon menggigit kuku jari, lima belas menit berlangsung. Simon melewatkan pelajaran kedua, merokok di belakang halaman sekolah bersama kawan-kawan. Bel sekolah berbunyi, lapangan sekolah dipenuhi anak sekolah, hendak pulang. Dunia lain diguyur hujan asam, Simon berada di ruang kepala sekolah. Bu. Rusmanama merokok, membaca beberapa laporan dan keluhan dari para guru.

“Simon, apa yang kau lakukan?”

“Tidak ada.”

Bu. Rusmanama menghela napas, kecewa. “Ini yang terakhir kalinya ibu memperingatkanmu. Jika kau melanggar peraturan sekolah lagi, ibu tidak segan-segan memberikan hukuman kepadamu, Simon.”

“Itu bukan kesalahanku. Aku tidak pernah melanggar aturan, Rian memaksaku melakukannya-”

“Cukup! Ibu sudah mendengar alasanmu. Rian tidak pernah melakukan kesalahan, dia seorang manusia baik hati. Sedangkan kau adalah anakku yang paling buruk yang pernah aku kandung.” Bu. Rusmanama berseru teriak.

Bu. Rusmanama menutup mulut, Simon menatap menitikkan air mata. Simon sempat menahan napas,  lima menit kemudian, dia kembali ke dalam kelas.

Pukul tiga, pelajaran keempat Mr. Erik mengajak murid kelas 1-A ke laboratorium. Api menyala di sumbu kompor, Mr. Erik menjepit spons kecil dan boom! Api tersebut membakar spons dan berubah spons itu menjadi kupu-kupu api-emas. “Seperti yang kalian ketahui. Mr memiliki sihir yang merubah benda mati menjadi makhluk hidup. Contohnya kupu-kupu itu.”

Murid kelas 1-A terpesona, kupu-kupu api-emas berterbangan mengikuti mereka. Saat kupu-kupu mengepakkan sayapnya, serbuk-serbuk kecil mengenai jas sekolah Jack. Jack kaget, serbuk dari serangga membuat kulitnya menjadi sangat sensitif. Benjolan-benjolan kecil keluar dari kulitnya, ruam di bagian leher, serta muntah darah. Jack berteriak, lantas keluar dari laboratorium menuju ruang UKS.

Mr. Erik menggaruk kepala, “pelajaran hari ini sampai di sini. Untuk minggu depan kalian membawa hasil kerja kelompok yang kalian buat.”

Murid kelas 1-A berseru kecewa, Rian mengangkat tangan. “Izin bertanya. Kalau tugas, temanya bebas? Terus yang membagi menjadi lima kelompok ditentukan oleh siswa atau Mr. Erik? Soalnya, beberapa murid yang masuk hari ini jauh lebih sedikit dibandingkan murid yang membolos sekolah. Dan, Jack harus dirawat di rumah sakit terdekat dan Mr. Erik harus bertanggung jawab atas kelalaian dalam mengajar dan membahayakan siswa anda sendiri. Lalu apa? Sedangkan Mr. Erik memberikan tugas mendadak tanpa menjelaskan tugas tersebut terlebih dahulu.”

Kali ini, Simon setuju dengan pendapat Rian. Mr. Erik mungkin, sedikit kewalahan dengan pertanyaan Rian.

“Kenapa, Mr. Erik? Apa pertanyaanku salah?” tanya Rian, sorot matanya penuh selidik.

“Tidak. Pertanyaanmu bagus, Rian. Mr turut mengapresiasikan pendapat Rian tentang tugas Mr berikan. Tapi, kau tidak perlu mengungkit masalah yang telah Mr berbuat selama mengajar di kelas ini. Rian hanya tau dengan tugas saja. Tidak lebih, tidak kurang. Besok, Mr memberitahu tugas yang kalian kerjakan. Dan beritahu kepada teman kalian yang tidak masuk hari ini. Kalian mengerti. Apa ada pertanyaan?”

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang