#11. Blood

144 9 0
                                    

Keesokan hari, kelas 1-A terlihat ramai. Saat pelajaran pertama, murid kelas 1-A melaksanakan ujian dadakan dari Mr. Wanda. Raut wajah terlihat tegang. Materi yang diujikan terlalu rumit, dan sulit dimengerti. Simon hanya bertopang dagu, menyelesaikan soal dengan mudah. Akan tetapi, Simon melirik ke arah Rian, menggigit bibir. Simon menelan ludah untuk kedua kali, Rian melihat langit cerah dibalik jendela.

Kancing kerah kemeja terbuka, memperlihat batang leher terbalut kain perban. Bercak darah sangat menggoda, Simon menutup mulut dengan tangan, gigi taring siap menggerogoti leher Rian. Simon mengusap bibir, dia terpana.

Dan masih mengingat kejadian itu. Saat Simon jatuh dari tangga. Rian berada dibawah. Bibir Simon tertempel lembut dengan bibir Rian. Simon tersadar, dia berciuman dengan Rian. Musuh bebuyutan, penghancur alam, dan sombong dengan kerakusan. Simon menjauh dari Rian. Seketika kepalanya merasa pusing, Simon mendekati Rian. Rian terbaring lemas, mencoba mengambil napas.

Bibir Rian terluka, pisau lipat Simon berada jauh dari Rian. Niatan Simon melukai Rian, tapi Simon diselamatkan olehnya. Tidak mungkin, umpat dihati Simon. Sebelum Simon meninggalkan Rian. Rian bergumam kecil, dia mengucapkan beberapa kata. Tapi Simon tak mengerti, dia menelan ludah. Ucapan yang Rian lontarkan, tidak mudah dipahami. Namun Simon melihat darah yang ada disekitar bibir, degup jantungnya semakin kencang. Lingkar hitam menghiasi mata Simon, kulitnya memulai pucat, warna mata Simon berubah menjadi merah. Simon serangan jantung, sensasi luar biasa bergejolak memenuhi pikiran dan gerakan Simon.

Perlahan dia menjilati luka itu, Simon mencium Rian penuh gairah. Lalu seketika dia menggigit batang leher, sensasi meneguk darah manusia melebihi menghirup sianida. Simon ingin menggigit leher manusia, menghisap darah sampai habis. Rian menggerakkan jari, perlahan membuka kelopak mata.
Pipi Simon menjadi merah-dadu, dia mencium batang leher menjalar ke mulut Rian. Rian kaget, mengepalkan tangan meninju dagu Simon. Tetapi, cekatan Simon mencengkram pergelangan tangan Rian. Rian memberontak, menendang kaki. Kemudian, Simon menjauh, menutup mulut.

Sampai hari ini, Simon tidak fokus memperhatikan tugas yang diberikan Mr. Erik.

Pukul dua belas, Rian pergi ke kantin. Dia menikmati makan siangnya, walaupun kantin ramah oleh anak sekolah, hendak jajan.

Seseorang menepuk bahu, Rian berbalik, mendapati Simon sambil membawa gulungan kertas.

“Aku… Aku…”
“Apa?”
“Aku masuk ke dalam kelompokmu”
“Terus? Apa yang ingin kau sampaikan kepadaku”
“Cih! Bilang gitu aja gak lebih”
Rian berbalik, menyendoki nasi kari ke dalam mulut. Simon mengepal tangan, bergegas duduk di sebelah Rian. Menyerahkan gulungan kertas kepada Rian.

“Ini! Aku sudah mengantarkan surat ini untukmu. Harusnya, kau berterima kasih kepadaku karena telah mengambil suratmu dari kepala sekolah,” ketus Simon. Lalu, dia mengambil gelas dan meneguk jus jeruk sampai habis.

Rian melotot, cekatan mengambil gelas dari tangan Simon. “Dasar preman. Mentang-mentang penguasa disini. Kamu bisa berbuat semaumu.” Rian menggeleng kepala, menyudahi makan siang belum seperempat habis. Dia berjalan melewati taman sekolah, Simon menyusul Rian dari belakang sambil membawa surat perjanjian.

“Hei! Kamu mau kemana?”
“Mau kemana lagi?! Ke kelas lah”
“Bawa dulu. Baru pergi”
“Untuk apa? Jelas-jelas itu bukan urusanku” marah Rian.
Simon dengan cekatan menarik tangan Rian. “Dengar. Aku mengambilnya, sebab kita menyetujui persetujuan ini dengan paksaan bukan kehendak sendiri. Aku dan kau berasal dari dunia yang berbeda, mempunyai pendapat berbeda juga. Jadi, aku mencuri surat ini diam-diam. Dan kau, harus menerima surat ini dariku.”

Rian tertawa kecil, mengambil surat perjanjian. Namun, surat itu dibuang ke tong sampah, lalu mengangkat tangan seolah tak peduli. Rian melewati lorong, Simon mengambil surat itu dari tong sampah. Rian berjalan cepat, Simon menyusul sesuai langkah kaki Rian. “Hentikan. Menjauh dariku!” berseru Rian. Dia berlari, menyikut Jack dan menaiki anak tangga. Simon mendahului Rian, Rian bergegas berbalik berjalan terhuyung-huyung menuju perpustakaan. Dia berhenti saat berada didepan pintu, anak sekolah sedang konsentrasi belajar. Rian sebaik mungkin tidak membuat suara, mengambil buku secara acak, berpura-pura membaca.

“Ah!” Rian sontak, terkejut.
Simon melotot, berusaha menyerahkan surat dengan tangan gemetar. Rian melangkah mundur ke belakang, lima menit berlalu, Rian kembali ke dalam kelas 1-A. Bel berbunyi, pelajaran ketiga berlangsung lama. Gerimis hujan membasahi lapangan sekolah, Rian resah. Sejak tadi, Simon bersikeras memberikan surat. Dasar vampire keras kepala, umpat Rian. Daun telinga runcing bergerak, Simon berbalik. Rian sempat menahan napas, Simon membaca pikiran Rian.
“Buka halaman 167, ibu akan membahas tentang flora dan fauna pulau setan.” ucap Ms. Sofi.

Tiba-tiba, Simon mengangkat tangan.
“Ada apa, Simon?”
“Aku lupa membawa buku”
“Ya ampun, baiklah ibu maafkan. Tapi jangan mengulangi lagi. Kau bisa melihat buku punya teman sebangkumu.”

Ms. Sopi memulai menerangkan materi untuk hari ini. Kagome berpaling saat Simon melihat, buku Jack menghalangi wajahnya. Beberapa teman sekolah tidak ingin bertatapan muka langsung dengan Simon. Lalu Simon beranjak dari kursi, mengambil buku. Simon menghampiri Rian, tanpa disuruh teman sebangku Rian pindah ke tempat duduk Simon. Kini, Simon sebangku dengan Rian, cekatan membuka halaman buku yang disuruh Ms. Sopi.

Rian menghembus napas dengan berat, Simon membaca pikiran seluruh murid di kelas 1-A.

“Syukurlah, gue selamat…”
“Untung ada orang yang mau menerimanya.”
“Dasar homo. Aku harap dia cepat mati.”
“Idih, jijik banget sama dia. Apalagi tukang onar buat keributan. Cepat mati sana. Gue corat-coret batu nisan mu. Dasar mayat hidup. Cepat kembali ke kuburanmu.”

Selebihnya, Simon memperhatikan gambar tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup di pulau Sega. Simon menggigit bibir, kuku jari semakin panjang, mengepalkan tangan. Tetesan darah mengotori lantai, Simon menyembunyikan luka sebaik mungkin. Luka dari tangan cepat sembuh, sejenak Rian melirik lalu mengalihkan perhatian ke arah buku.

“Hari ini cuaca cerah?”
Simon tidak menjawab, pendapatnya hari ini tidak cerah. Beberapa menit, hujan mulai deras. Rian memperhatikan rintik hujan mengenai jendela. Simon tegang. Hinaan dan cercaan memenuhi kepalanya, bagaikan serangan tiada henti. Mereka gay, Menjijikan pengen muntah, Pasangan serasi, Simon jahat.

Jari jemari mengusap pisau lipat, segera melukai betis.

“Abaikan saja.”

Simon berhenti, Rian mengulurkan tangan mengambil pisau lipat, lalu menyimpan di saku jas Simon. Simon bertemu dengan sepasang mata tidak bersahabat, gusar.

“Abaikan mereka. Jangan memikirkan mereka, fokus belajar.”
“Kenapa? Kenapa aku harus dengar nasehatmu. Aku tidak butuh belas kasihan darimu, manusia.”
Rian mengambil tas, bersiap pulang.
“Terserah padamu,” Rian beranjak dari kursi “kamu bisa menyimpannya. Aku tidak membutuhkannya lagi.”
Rian keluar dari kelas, Ms. Sopi tidak mencegah atau menegur kepada Rian. Kelas terlihat tenang, Simon masih tidak percaya dengan sikap Rian. Dua jam berlalu, bel berbunyi. Hari melelahkan untuk besok lebih cerah. Simon dengan sengaja menyimpan surat perjanjian ke dalam tas Rian.

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang