#12. Sleep

122 10 0
                                    

“Datang semaunya, pulang seenaknya. Enak banget jadi manusia” ucap Jack.

Simon menengadahkan kepala, menatap langit biru. Cuaca hari ini cerah. Tiga hari berlalu. Rian tidak masuk sekolah, di jam-jam berikutnya kelas kembali normal. Simon melihat langit biru dibalik jendela. Sementara Ms. Wanda sibuk menghukum Jack selama pelajaran berlangsung.

Bel berbunyi, Simon memutuskan menikmati bekal buatan ibu di lantai atas. Kepala sekolah atau menteri dia tetap ibu kandung, aroma khas dari steak daging babi-sapi menggiurkan. Simon tidak sabar mencicipi masakan ibunya. Hembusan angin meniup dedaunan, cat berwarna coklat memulai mengelupas dari kursi panjang. Anak sekolah jarang ke lantai atas, sepertinya Simon merupakan salah satu murid di sekolah ini yang datang ke lantai atas.

Saat mencari tempat makan yang nyaman, Simon dikejutkan dengan gumpalan kertas mengenai kepalanya. Dia berbalik, mendapati Rian sedang bersantai di atap bangunan yang datar.

“Apa yang kamu lakukan disini?!” berseru marah.
“Aku yang mau tanya. Kenapa surat itu ada di dalam tasku?” Rian berseru lebih keras.

Simon mengambil gumpalan kertas itu, surat perjanjian yang ditanda tangani oleh Rian, lecet.

“Apa yang kamu lakukan? Aku sudah susah payah mengambil ini tau!”
“Hah! Apa yang kau bilang. Aku tidak bisa mendengar keluhanmu. Dasar tukang penyelundup. Aku tidak akan mengampuni perbuatanmu.”
“Justru aku yang harus bilang begitu. Manusia sepertimu harus diberi pelajaran.”

Tiba-tiba, Rian melemparkan buku ke arah Simon mengenai wajahnya.

“Dasar cerewet. Aku tidak bisa tidur. Menjauh dariku homo.” Rian menguap, membaringkan tubuh di bawah sinar matahari.

Simon meloncat, melihat Rian sedang tidur. Raut wajah tampak lesu, lingkar hitam menghiasi kantung mata, tertidur lelap. Hembusan angin meniup gumpalan awan yang mulai menutupi sinar matahari, Simon duduk di sebelah Rian. Lalu menghabiskan bekal makan siang dengan nikmat, sepoi-sepoi angin menyejukkan, cocok menghabiskan waktu untuk bersantai.

Pukul tiga lewat lima belas menit, Rian terbangun.

“Tidurku nyenyak. Sedang apa kau lakukan di sini?”
“Berisik. Gara-gara kamu, aku ikut tidur.”
Simon menguap, “kenapa kau menjauh?”
“Aku bukan makanan. Menjauh dariku Simon. Kau buat aku takut. Gosip mengatakan kau mengincar manusia di malam hari. Semua orang tahu kau vampire sinting yang akan menghabisi siapa saja tanpa pandang bulu. Aku tanya. Kau adalah vampire sinting itu, kan? Apa kau sekarang mengincarku?”
“Aku bukan vampire sinting. Dan siapa yang menyebarkan gosip tidak jelas tentangku? Jangan-jangan Jack yang memberitahumu.”

Rian mengangguk.

“Bodoh. Kau telah ditipu oleh Jack. Jangan percaya dengannya.”
“Lalu siapa yang melukai leherku otak udang?!” Rian berseru keras, menunjukkan bekas luka gigitan dileher.

“Bukan aku. Jangan asal menuduh sembarang. Kau tidak dapat membuktikan secara langsung bahwa aku pelakunya.”
“Aku tidak percaya. Wajahmu mirip mantan narapidana.”

Rian menatap Simon seakan menyelidik.

"Hentikan, jangan memandangiku seperti itu" ketus Simon.
"Vampire sinting."
"Apa?" tegas Simon.

Rian beranjak berdiri, mengambil tas miliknya, segera turun.

"Hey!! Aku belum selesai bicara."

Rian berlalu, tanpa menoleh. Simon mengumpat untuk sekian banyak atas kemarahan yang memuncak. "Sialan."

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang