#8. Perjanjian

133 10 0
                                    


Bu. Rusmanama memberikan dua lembar kertas kepada Rian dan Simon.

Bu. Rusmanama menyuruh Simon dan Rian menandatangani surat perjanjian diatas materai, dan menjelaskan terkait kontrak yang disepakati oleh badan pemerintahan kaum manusia dan para pejabat monster. Rian adalah salah satu perwakilan murid pertukaran belajar yang disetujui oleh beberapa pihak pemerintahan. Rian menyimak surat perjanjian dengan seksama, dan menerima konsekuensi bila melanggar peraturan sekolah dengan menandatangani surat tanpa ragu.

Sedangkan Simon terus melotot, enggan dengan perjanjian yang disepakati oleh ibu. Tapi, Bu. Rusmanama tegas, terpaksa Simon menuruti kemauan kepala sekolah.

Rian mendeham, Simon melirik Rian dengan tajam.

“Saya permisi dulu,” Rian bergegas keluar dari ruang kepala sekolah. Menyisakan Simon dan Bu. Rusmanama penuh keheningan, Bu. Rumanama duduk sambil memijat kening.

Simon menghembuskan napas, “kenapa ibu melakukan ini kepadaku?” keluh Simon. “Harusnya ibu tidak perlu membuat surat perjanjian dengan manusia.”
Bu. Rusmanama hanya diam, menyimak keluhan Simon. Beberapa saat Bu. Rusmanama mengangkat tangan, menghentikan omongan Simon. Lalu Simon beranjak dari tempat duduk dengan marah.

Sepanjang koridor, Simon menggigit kuku jari menahan amarah. Dia menuju kelas 1-A. Rian mengambil tas dan buku lama di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. Saat Rian menggeser pintu kelas, Simon berada di depan, menyandarkan punggung ke tembok.

Rian mengabaikan Simon, Rian berjalan melewati lorong. Namun, gerakan Rian dihentikan oleh Simon.

“Menyingkir dari jalanku" ucap Simon.

“Silahkan, aku tidak menghalangimu.”

Warna mata Simon berubah menjadi biru-pekat, mengancam. Rian berbalik mengambil jalan lain, dia menuruni anak tangga. Simon lebih dulu sampai, menunggu dengan memegang pisau lipat. Untuk sesaat, jantung Rian berdegup kencang, ketakutan. Akan tetapi, detak jantung Rian perlahan lahan menjadi tenang, berirama. Simon hanya mendengar detak jantung yang normal, untuk manusia seperti Rian, dia tak pernah lari hanya melihat senjata tajam untuk melukainya.

“Wah! Wah! Kau berani, Rian” gelagak Simon.

“Aku tidak pernah takut kepada monster sepertimu” bentak Rian.
Kini Rian berhadapan dengan Simon.
“Manusia sepertimu lebih pantas menjadi hewan ternak dibanding seekor monyet berotak udang.”

“Monyet berotak udang? Kami jauh lebih pintar dan memiliki perasaan. Sedangkan, kau hanya makhluk penghisap darah tidak memiliki belas kasihan.”

“Hei!! Kau bisa bicara bebas karena berada disini” Simon berteriak, dengan cekatan menodong pisau ke arah Rian.

Gerakan Simon justru terhenti.
“Apa yang kau tunggu? Bukannya, kau ingin membunuhku” tanya Rian, selangkah lebih maju berhadapan dengan Simon. Ujung pisau mengenai leher Rian, menciptakan luka kecil.

“Cih!! Aku tidak tertarik” cetus Simon, menyimpan pisau ke saku celana, menaiki anak tangga.

Rian dengan cekatan menggenggam tangan Simon, “pastikan, bersihkan pisaumu sebelum pergi-”

“Aku tau. Aku tau. Lepaskan tanganku.”

Lima menit berlangsung, Rian menuruni anak tangga, melewati lapangan sekolah. Simon memperhatikan Rian dibalik jendela. Pisau berlumuran darah Simon pegang, lidah hitam menjilati pisau tersebut. Simon tak kuasa menahan bau manis darah manusia, darah manusia berkualitas tinggi. Simon tidak mengerti maksud tersebut, dia sangat ingin menghisap darah lebih banyak lagi.

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang