#20. Weakness

52 6 0
                                    

Hei, read's! Maap nih. Klw aku kurang pintar b. Inggris. Kali ini eps 20. Pakai sudut pandang Rian.

Mungkin, kalian g terlalu mentingin atau g mau tau soal itu. Sebab aku tau, kok! Ceritaku kurang memuaskan kalian. Bahkan tulisanku kurang mendalam seperti author lain yang punya cerita menarik.

-_-_-Selamat membaca-_-_-




30 menit setelah pergi Simon...

Isak tangis memenuhi ruang berukuran 4x4. Pasien itu menundukkan kepala tak merasakan apapun, kehampaan yang tersirat melupakan jati diri. Lupa rasanya berjemur di bawah terik matahari, melihat dedauan hijau di taman. Hanya gelap menemaninya sepanjang sisa hidup selama 1 tahun. 1 tahun? Dia lupa menghitung hari. Sudah berapa lama ia berada di ruangan ini. Entahlah.

Erangan keras mengeluarkan kesakitan sekali teriakan. Merapatkan gigi geraham menahan nyeri saat alat tajam mencabut kuku jari tangan. Ia mendengus berat, ingin menggigit telinga sang algojo topeng merah. Puluhan doktor berjajar hampir membuat lingkaran besar yang mengelilingi seorang subjek manusia dipaksa duduk di kursi eksekusi.

Luka baru terbentuk dari jarum suntik yang menusuk kulit. Serum baru yang diciptakan memporak-porandakan sumsum tulang belakang dan pembuluh darah.

Mereka melakukan beberapa percobaan keji seperti yang dilakukan tentara Nazi.

Ia berteriak saat sang algojo menghancurkan jari kaki satu per satu dengan kunci inggris. Pasien bertubuh kurus diam tak berkutip. Berusaha melepaskan diri yang mengikat kedua tangan dan kaki. Para doktor menyuruhnya menghitung 1000-7 dan seterusnya tanpa berhenti. Tidak sampai di situ. Ia dijadikan kelinci percobaan obat medis dan sebagai mesin pembunuh.

***

Aku terbangun. Menarik napas panjang, melihat sekitar dengan seksama.

"Di mana aku?" tanyaku.

Mataku setengah terbuka, tubuhku terasa lemas. Sungguh aku belum mengerti pada kondisi kesehatanku sendiri, terkadang aku sangat fiit hingga susah tidur. Dan aku lemah tak berdaya, menggerakkan satu ruas jari sedikit pun tidak mampuh. Aneh. Padahal aku selalu menjaga tubuhku sangat baik, rutin minum obat sesuai resep doktor, dan mengikuti senam zumba selama 1 jam setiap hari.

Ruangan kembali sunyi.

Axel.

Kamu di mana? Di saat aku membutuhkanmu. Sialan. Aku sulit bergerak.

Lalu mimpi barusan, amat mengerikan. Mimpi itu selalu muncul dalam tidurku. Aku menghela napas panjang. Sesekali meremas tanganku agar aliran darah lancar, berpikir aku tidak lumpuh selamanya. Tanpa ada Axel di sisiku. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Jika, dia tidak terlalu memanjakanku setiap saat.

"Axel!!!"

Apa suaraku kurang keras?

"Axeel!!!"

Uhuk~!

Suara batukku semakin buruk dan berulang terus. Waduh, tenggorokanku kering. Pengen minum. Sialnya. Di meja tak ada segelas air putih yang aku mau selain amplop cokelat belum dibuka oleh siapa pun. Ketika aku hendak menggapainya. Aku terkejut mendapati tangan kanan dan area bibirku diselimuti darah.

"Tidak mungkin." Tanganku gemetaran. Darah? Aku sedang demam. Itu saja.

Detak jantungku berdegup kecang, asal-asalan menyusut darahku yang menempel di telapak tangan ke seprai putih.

Lalu dengan merapat gigi geraham, mengambil napas berat, aku berusaha membangkitkan badanku dengan susah payah. Keringat merembes sedikit piama biruku. Beginilah aku jatuh sakit. Sekali sakit langsung tepar. Ketika aku menyandarkan punggungku di dinding, aku harus menggerakan kakiku satu per satu.

Merepotkan.

Pelayan degil ke mana lagi. Lagian aku sudah tidak membutuhkannya.

Dengan cekatan aku melepaskan infusan yang menusuk tangan kiriku. Menghela napas berat, kepalaku pusing 7 keliling, kekurangan cairan karena dehidrasi.

Sesaat semua senyap. Hanya suara bising memekak telingaku lalu menghilang begitu saja dalam sekejap.

"Ayo, Rian. Kau pasti bisa."
Aku berbohong, menyemangati diriku sendiri gak ada gunanya.

Pelan-pelan kaki kiriku turun, menyentuh lantai. Lalu di susul kaki kananku. Eh... Pualam lantai emang sedingin es batu? Aku lupa. Rasanya berjalan telanjang kaki tanpa alas kaki. Aku duduk di pinggir ranjang yang terletak pojong ruang inap. Mengambil kesadaran. Perutku mulas pengen muntah, tapi kuurungkan niatku.

Putih nan bersih. Sesaat aku teringat ucapan Simon "pelupa."

Yang di katakan vampire itu, benar. Aku bukan manusia normal pada umumnya.

Karangan bunga, parcel buah, dan ucapan selamat bermacam-macam bahasa asing ada di setiap tempat dan tertata rapih. Ruang inapku penuh barang seperti gudang lama yang baru diisi beberapa kotak kardus yang menumpuk sembarangan. Pasti aku telah tidur selama seminggu, mungkin lebih dari yang kupikirkan.

Hembusan angin menerpa wajahku dengan lembut. Aroma bunga kasturi yang kucium. Aku menoleh, jendela tertutup rapat. Mana mungkin ada "angin" sedangkan tidak ada celah sedikit pun di jendela yang menghadap keluar, kecuali ventilasi.

Omong-omong soal ventilasi.

Bagaimana caraku masuk ke dalam sana? Padahal aku bukan pemanjat tebing profesional.

"Tuan" ucap Axel.

Aku menoleh dia membuyarkan lamunanku. Berjalan mendekatku, ekspresi wajah tanpa emosi selama 8 tahun kini menatapku cemas.

"Berapa lama kau bangun, Tuan? Kubilang jangan bergerak saat aku jauh darimu. Aku sudah berkali-kali mengingatkan. Tuan masih keras kepala tak mendengarkan." Axel mencibir dan mengomeliku seperti ibu yang menasehati pada anaknya yang telah melakukan kesalahan dengan sengaja.

"Aku tahu. Kecilkan suaramu. Telingaku sakit." Aku berbicara pelan. Tenggorokanku gatal.

Pria itu melipat tangan, marah. "Aku benci ucapanmu, Tuan. Kau selalu mengabaikan peringatanku. Lama-lama Tuan jatuh sakit parah."

"Iya. Setidaknya kau datang saat aku panggil."

Aku tahu. Aku sudah terkena kanker paru-paru stadium akhir. Setidaknya aku perlu mengalihkan bahan pembicaraan dan mengarah topik lain.

Perlahan ia mendekat. Aku mengambil napas, wajahnya terlalu dekat padaku. Sorot mata tenang sedang menyelidik. Jari-jemari kurus yang terlindungi sarung tangan putih menyeka ujung bibirku dengan lembut. Ibu jari kotor oleh darah di sekitar area bibirku. Aku diam.

"Baik." Axel berlutut, mengecup kaki kananku. "Berjanjilah padaku. Kau tidak akan melakukannya lagi."

Aku mengangguk kecil. "Iya. Aku berjanji. Sekarang aku mau pulang."

"Baik, Tuan."

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang