#34. Clock

39 3 0
                                    

Axel menunggu Rian dari balik gerbang sekolah.

Melirik jam, pukul 17:03. Dia menurunkan tangan. Melirik jam, pukul 17:04, dia menurunkan tangan kembali.

Sudah tiga kali dia melirik jam, memastikan kepulangan Rian; majikannya. Terlambat. Kereta express baru saja lewat adalah kereta terakhir harusnya membawa Rian pulang dari dimensi dunia lain ke dimensi dunia sekarang. Pejalan kaki berlalu-lalang, berdiri di balik garis hijau, menunggu keberangkatan kereta api selanjutnya.

Garis lintang bintang bergeser seiring pergerakan rotasi bumi.

Satu-dua penjaga berjalan, hendak bekerja. Saling berganti shif dengan rekan lain. Axel masih berdiri di balik garis hijau, membawa satu mantel beludru hitam milik Rian. Tanggal 13 Februari 3671, Rian Ferdinan diperbolehkan pulang-pergi selama tiga hari. Ternyata, Rian tak kunjung pulang. Tanpa rasa kecewa atau perasaan yang harus dimiliki manusia. Axel berbalik, melangkah menuju parkiran, mengemudi limusin hitam tanpa roda, hendak pulang.

Sesampainya di rumah, Axel membuka pintu rumah lebar-lebar setinggi tiga meter.

Ruang tamu terlihat lenggang.

Rumah berarsitektur victorya lebih disebut villa dibandingkan rumah.

Sepi, hanya ditemani suara jangrik yang merdu. Axel menurunkan bibir, memiringkan kepala, duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran di ruang tamu. Perapian digital menyala, menghangatkan ruangan tanpa remote kontrol. Akhir-akhir ini Axel menirukan raut wajah sedih dari serial acara tv yang sering Rian tonton. Penuh warna. Layar tipis 145 inc terpasang sempurna di tembok.

"...appa. aku pengen memelihara kucing. Sang ayah menjawab: "tidak bisa. Pemilik apartemen tidak mengijinkan memelihara hewan. Anak membalas: "aaa-!! Aku mau kucing. Kakinya cacat harus ada yang merawatnya..."

Axel mengaktifkan suara tawa, canggung. Meniru Rian saat menonton tv.

"Sama seperti dia" kata Axel.

Menutup mulut, melirik ke bawah, bermain ibu jari.

"35 kali. Tuan lupa. 35 kali. Tuan belum pulang. 35 kali. Aku harus menunggu selama 3 bulan. Sekarang ke-36." Gumam Axel, menghitung hari.

Waktu dimensi dunia lain dan waktu dimensi dunia sekarang beda 4 hari.

Axel, pelayan robot duduk di sofa setengah lingkaran seorang diri. Menonton tv seorang diri. Dia memutuskan ke dapur, memasak makanan kesukaan Rian dua porsi, menaruh dua piring nasi omelet di meja makan. Lalu duduk, memperhatikan sepiring omelet hampir dingin untuk dirinya dan sepiring omelet di sebelah satu kursi tunggal yang kosong biasa Rian duduk di sana.

Tiga puluh menit berlalu, Rian selalu menghabiskan nasi omelet selama 15 menit; minum segelas air putih sekitar 2 menit, lalu makan camilan manis sebanyak 13 menit.

Axel menyalakan hologram Rian sedang makan malam.

Harus dia tidak perlu melakukannya.

Dia menahan napas, harusnya robot tidak bernapas. Hatinya bergetar, harusnya satu komponen mulai hancur. Tangannya bergerak, mendekat, hampir mengenai ujung jari Rian. Saat menyentuh jari kelingking, hologram rekayasa Rian menghilang.

Axel melotot, terdesak, jatuh dari kursi.

Dia berteriak tak bersuara.

Tetesan oli keluar dari matanya.

Sungguh menyakitkan.

Dada kiri terasa perih. Rasanya seperti diperas dengan tangan gaib.

"Mengapa...kau belum pulang?!"
Axel berteriak, mejambak rambut pirang sintesis dengan keras. "Rian, bukan Rina. Mengapa kau meninggalkanku di tempat seperti ini?! Kenapa kau harus berubah jadi laki-laki agar mengurangi stressmu? Aku menderita. Aku kesepian. Aku membutuhkanmu. Rina...."

Psycho In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang