Letha selalu menanti saat di mana dia menjadi pengantin wanita, memakai gaun putih gading dan berjalan anggun di atas panggung dengan tepuk tangan tamu undangan sebagai sambutan. Ya, dia pernah merasakannya. Dan kini dia benci mendapati fakta kalau...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ⓝⓝⓝ
Tangan kalian gak akan gatel hanya karena mencet tombol bintang di pojok kiri bawah 💕
ⓝⓝⓝ
"Ara! Dasar igijeongin." Letha berkata berbalik dari hadapan Jaehyon.
Detik saat Letha selesai berkata seperti itu, kepalanya terasa dihantam oleh bongkahan es di belahan dunia utara sana Jaehyon merasa pernah dipanggil seperti itu oleh seseorang. Tadinya Jaehyon ingin meminta agar Letha berhenti melangkah keluar, namun terlambat. Wanita itu sudah keluar bersamaan dengan kepala Jaehyon terasa semakin sakit.
Sangat sakit sampai ia tidak tahu yang dilihatnya ini adalah imajinasi atau mimpi. Karena Jaehyon sedang berada di perpustakaan sekarang, ia tahu ini adalah perpustakaan kampus tempat dulu ia mengemban ilmu. Tapi kenapa harus tempat ini, dari semua tempat indah yang pernah Jaehyon kunjungi, kenapa harus tempat ini?
Jaehyon melangkah masuk semakin dalam, ia memerhatikan setiap rak buku berwarna putih kusam yang jarang dibersihkan oleh penjaga perpustakaan. Ini seperti memutar memori lama, ya, setidaknya ia paham kalau Jaehyon sedang berada di masa lalu.
Langkah kaki Jaehyon sampai di rak buku ketiga paling akhir. Ia melihat dirinya sedang memakai kemeja lusuh dengan kaus putih sebagai dalaman. Jaehyon melihat dirinya sedang membantu seseorang.
"Itu aku?" tanya Jaehyon saat melihat dirinya sendiri. "Bagaimana bisa? Aku tidak ingat pernah melakukan itu."
Jaehyon melihat dirinya selesai mengambil buku di tingkat palin atas. Selepas itu, mata Jaehyon membulat saat melihat dirinya di masa lalu malah mencium si wanita yang ia bantu tadi. Jaehyon tidak dapat melihat wajah wanita tadi, kilas balik memorinya segera buyar ketika rasa sakit di kepalanya berangsur-angsur hilang.
Yang Jaehyon ingat dari memori itu adalah, ia mendengar suara tawa yang sangat familier. Tapi siapa? Dari semua wanita yang Jaehyon temui, tidak ada yang tawanya seperti tadi. Suara itu sangat berbeda.
Jaehyon kembali dari alam bawah sadarnya, ia menggeleng-geleng kepala berusaha membalikan keadaannya yang tadi sempat kacau. Rambut Jaehyon terlihat berantakan karena dengan sadar ia menjenggut rambutnya sendiri untuk menahan sakit.
Kini rasa sakit di kepalanya sudah hampir tidak ada, Jaehyon lalu memutuskan untuk mencuci muka agar kelihatan lebih segar. Begitu Jaehyon beranjak dari duduknya, lampu di sekitar Jaehyon berkedip-kedip. Mendadak jantungnya seolah diremas kencang.
"Tidak, jangan kambuh di sini," gumam Jaehyon sembari memegangi dadanya. Sejenak pondasi tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Jaehyon menyentuh dinding dengan telapak tangan, ia sedang mencari tumpuan. Untuk saat ini Jaehyon sedikit bisa mengendalikan diri, tetapi untuk detik berikutnya Jaehyon menyerah karena lampu di sekitarnya mati total. Membuat napas Jaehyon menjadi lebih berat dan sukar.