Part 1

16.6K 455 5
                                    

Bukan inginku jika pemilik separuh hati ini kembali, saat separuh lainnya telah termiliki. Ia kembali membawa semua kenangan manis, yang telah kubuang jauh bersama kepergiannya. Siapakah yang akhirnya memenangkan seluruh hati ini?

🍃

Tergesa aku keluar dari halte busway yang baru saja kunaiki. Sembari melihat kembali alamat yang diberikan Niken tadi pagi. Setengah berlari kususuri deretan gedung perkantoran ini, mencari nomor yang sama dengan yang tertera di ponsel.

Ah, itu papan namanya kelihatan, PT Cipta Nusantara. Gedung tempatku akan mengikuti rapat untuk membahas proyek, mewakili perusahaan tempatku bekerja. Sekilas melirik benda warna putih yang melingkar di pergelangan tangan. Gila! Telat setengah jam. Ampun deh.

Kudekati perempuan muda dengan blazer hitam di meja resepsionis, kemudian berjalan menuju lift menuju lantai tiga. Pelan kubuka pintu setelah mengetuknya lalu mengedarkan pandangan ke dalam.

Ah, itu Niken! Gadis itu melambaikan tangan, memintaku mendekat.

"Lama banget, Mbak?" bisiknya saat aku menjatuhkan bokong di kursi sebelahnya.

"Iya, busway-nya telat. Udah sampe mana?"

"Baru pemaparan aja, Mbak."

"Agar lebih jelasnya, kami meminta Ibu Ratna untuk memberi penjelasan yang lebih menyeluruh untuk proyek yang akan dijalankan ini."

Tanganku masih sibuk membolak-balik lembaran kertas itu saat tak sengaja mendengar namaku disebut. Baiklah, ini saatnya kutunjukkan kemampuan. Proyek ini pasti jadi milik kami.

Mantap aku berjalan ke depan dengan senyum mengembang. Penuh percaya diri seperti biasa. Hingga tanpa sengaja mataku bertemu dengan tatapan hangat seseorang. Seketika hati ini bergemuruh mengetahui dari mana tatapan itu berasal.

Semua mata mengarah padaku, sementara aku tengah sibuk merasai jantung yang berdetak semakin kencang. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku sudah berhasil 'move on' dari semua rasa ini. Aku harus bersikap profesional. Harus!

Setelah menghela napas panjang, aku pun memulai presentasi. Entah seperti apa wajahku saat ini, karena kepercayaan diri yang telah menguap separuh. Sementara tatapan yang berusaha kuabaikan itu masih terasa menyapu wajah.

Lima belas menit kemudian, aku kembali ke kursi dengan wajah menunduk. Sebentuk perasaan kecewa menyelinap di hati. Entah kenapa dengan diri ini. Tak biasanya seperti ini. Menjelaskan dengan terburu-buru, bahkan tak membuka jalur pertanyaan sama sekali.

Niken melihatku dengan kening berkerut. "Mbak, kamu gak apa-apa? Kok tumben aneh gini, Mbak."

Hanya senyum tipis yang bisa kuberikan pada gadis itu, lalu kembali larut dalam rasa yang tak semestinya ada ini.

Tak berselang lama, rapat pun ditutup. Aku menghela napas lega. Keinginanku untuk segera pergi dari sini terkabul. Segera kurapikan peralatan dan kertas yang terserak, bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Terserahlah urusan proyek, jika masih rezeki, toh tak akan kemana.

"Mbak, aku mau ke toilet dulu ya. Tunggu bentar ya," pinta Niken yang segera keluar ruangan.

"Na ...."

Panggilan itu berhasil membuat tanganku terhenti. Aku mengetahui pasti siapa yang memanggilku seperti itu, bahkan tanpa menoleh sekali pun. Namun, demi menghormati tuan rumah, terpaksa aku membalikkan tubuh ke arahnya.

"Galih ...."

"Gimana kabarmu, Na?"

Aku memberanikan diri mengangkat wajah. Melihat sosoknya yang tinggi menjulang. Wajah rupawan dengan tatapan hangat yang membius. Ah, dia sama sekali tak berubah.

Everything for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang