4. Main Hati

4.4K 233 8
                                    

"Jika kita ditakdirkan bersama.
Di manapun kita berada, akan dipertemukan kembali di tempat lain dengan jalinan yang suci."

🍁🍁🍁

Habibi telah menyelesaikan makan siangnya.

"Mba Inayah, terima kasih sudah mau nenunggu. Maaf ya kalau lama."

"Tidak lama kok, Mas. Kebetulan saya juga barusan habis dari warnet sebelah. Mengecek email apakah ada pesan masuk atau tidak."

"Lalu?"

"Ternyata tak ada."

"Email? Lamaran kerja?"

"Bukan, Mas. Saya kirim cerpen ke beberapa redaksi seminggu yang lalu, ternyata belum rezeki saya. Belum ada kabar terbaru, saya khawatir saat cerpen yang saya kirim lolos untuk terbit. Mereka akan sulit menghubungi saya, provider saya belum aktif sampai sekarang."

"Luar biasa, ternyata di hadapan saya ini seorang Penulis?"

"Bukan, Hanya kebetulan saja saya senang menulis. Saya pun masih tahap belajar, meskipun sadar masih berantakan. Coba aja beranikan diri dengan mengirim coretan saya. Berharap ada rezekinya dari hobby saya tersebut, Mas."

"Bismillah ... Mba Inayah, niatkan dalam hati. Semoga dari ikhtiar Mba saat ini, hasilnya bisa untuk beli ponsel lagi. Supaya bisa memudahkan hobby menulisnya. Tapi kalau pun Mba dapat calon Kreditur, bonusnya tidak langsung cair. Baru bisa diterima bertepatan tanggal saya gajian. Gimana Mba?"

"Aamiin, Insya Allah saya selalu bersabar menunggu," ujarku.

Selama ini, jika aku selalu menundukan pandangan saat Habibi tersenyum. Lain halnya dengan Habibi, dia akan terpaku memandang terus saat aku memberikan senyuman padanya.

"Astaghfirullah ... Yuk, Mas!"

"Ayo, ke mana?"

Kutepuk dahi ...

"Katanya mau survey ke rumah calon Krediturnya?"

"Oh iya, saya lupa. Hehehe ...
Ayo Mba, maaf ya!"

"Gak apa-apa, kalau bisa jangan panggil Mba terus dong! Panggil nama saja, usia Mas Habibi lebih tua dari saya."

"Saya memang sudah tua, Mba."

"Tuh kan panggil "Mba" lagi ...."

"Baiklah, saya panggil Bunda saja ya! Boleh?"

"Haah?"

"Ups ... Bercanda, saya panggil Inayah saja kalau begitu," jawabnya sambil tertawa.

"Inayah, ga pakai saja ...!" kali ini aku berusaha tidak kaku, dengan menimpali candaannya.

"Bisa aja kamu, Inayah. Hahaha ...."

Setelah berpamitan pada Pak Malik, kami pun berangkat menuju rumah calon kreditur. Habibi begitu handal dalam menjelaskan semua produk yang diminati. Semua data yang dibutuhkan sudah diterima dan berhasil terselesaikan dengan baik, tinggal menunggu pihak kantor untuk pengiriman barang ke alamat krediturnya.

Waktu pun sudah mulai sore, sudah saatnya kedua anakku berangkat mengaji. Kukemasi katalog dan brosur, lalu berpamitan pada Habibi.

"Mas, maaf berhubung sudah selesai. Saya pamit ya, mau antar anak-anak saya mengaji. Insya Allah nanti saya tawarin lagi produknya pada Ibu-Ibu di TPA."

"Baik Mba, eh Inayah. Kalau ada apa-apa kabarin! Sementara kamu minta tolong Pak Malik dulu, untuk menghubungi saya!"

"Apa ga jadi masalah nantinya, Mas?"

Halal Kah? (Tamat) Poligami SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang