"Disayangi juga dicintai olehmu adalah hal biasa bagiku, tapi disayangi oleh orang yang kau cintai adalah hal teristimewa yang tak pernah kuduga dalam hidupku ..."
🍁🍁🍁
Hari ini jadwalku untuk menemui Habibi untuk memberitahukan calon kreditur baru yang siap disurvey, yaitu ibu-ibu di TPA.
Seperti hari-hari sebelumnya, setelah menitipkan Hafidzha di rumah Ibuku pada pagi hari, kulajukan kuda besi untuk mengantar Hafidz ke sekolah.
Tiba di gerbang sekolah kulihat ada Habibi duduk diatas motor dengan seorang wanita di belakangnya. Setelah dekat barulah jelas siapa wanita yang tengah duduk di motor yang sama dengan Habibi, dia adalah Bu Rani. Guru mengaji kedua anakku di TPA.
"Apakah Bu Rani adalah Istrinya Mas Habibi?" Ucapku dalam hati.
"Hafidz masuk dulu ya, Bunda."
"Iya, Nak. Belajar yang fokus ya, jangan lupa bekalnya dihabiskan. Dengarkan saat gurumu menerangkan!"
"Baik, Bunda juga semangat ya mencari nafkahnya, jangan lupa makan!"
"Iya Nak, terima kasih sudah mau ingatkan Bunda."
"Assalamualaikum, Bunda."
Ucap Hafidz seraya menyalami tanganku."Waalaikumsalam, anak solehku."
"Lho ada Om Habibi, juga sama Bu Rani. Assalamualaikum." Seru Hafidz ketika membalikan badannya, lalu menyalami Habibi dan Bu Rani bergantian.
"Waalaikumsalam, Hafidz sekolah di sini?"
"Iya, Bu."
"Ya sudah sana masuk! Nanti telat."
"Baik Bu Rani, Om Habibi, aku masuk dulu ya. Wassalamualaikum"
"Waalaikumsalam, anak soleh."
🍁🍁🍁
Setelah Hafidz berlalu, Bu Rani turun dari motor dan berjalan mendekatiku. Tubuhku bergetar hebat, entah kenapa aku tampak seperti pesakitan yang tertangkap basah karena telah mengagumi suaminya.
"Hai Bunda Hafidz, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Bu Rani ..." jawabku gugup.
"Kebetulan ya kita bertemu di sini, saya memang mau ketemu sama Bunda Hafidz."
"Ohya? Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Bicaranya di rumah saya saja yuk!"
Entah kenapa melihat keramahannya membuatku terpaku tak bisa berkata-kata. Sepertinya Habibi mengetahui raut kegamangan di wajahku. Dari motornya kulihat Habibi tersenyum seraya menganggukan kepalanya. Seakan memintaku untuk menyetujui saran Bu Rani.
"Masih terlalu pagi Bu, maaf apa tak merepotkan kalau saya bertamu?"
"Tak apa-apa koq Bun, malah saya nih yang mau minta direpotin sama Bunda Hafidz. Hihihi, aduh berasa canggung saya bicaranya. Gimana kalau saya panggil Mba Inayah saja? Boleh?"
"Bo'boleh, Bu. Koq tau nama saya?"
"Suami saya yang memberi tahu." Ucapnya sambil menunjuk ke arah Habibi.
"Astaghfirrullah, sesempit inikah dunia?" Batinku.
"Mas Habibi suami Bu Rani?"
"Iya, makanya yuk kita ngobrol di rumah saya. Kebetulan saya mau minta diajarin juga sama Mba Inayah resep bikin kue yang simpel, saya sudah punya bahan-bahannya. Nanti tinggal dicek apakah ada yang kurang. Kata suami saya Mba Inayah ini biasa terima pesanan kue. Saya pengen belajar cara dasarnya saja, mau ya, Mba!"
"Baik Bu Rani, ayo ...!"
"Panggil Rani saja, biar akrab!"
"Bagaimana kalau saya juga panggil Mba Rani?"
"Oh boleh, boleh."
"Oke yuk, Mba Rani. Saya mengikuti dari belakang ya!"
"Mmm ... Oke deh Mba Inayah, kalau begitu saya bareng suami saya yah." Ucapnya dengan senyum yang sangat manis.
Aku respon dengan senyum dan anggukan.
"Ah pasangan suami istri ini kalau sedang tersenyum sangat menawan, menyejukan hati! Mereka orang yang baik.
Ya Allah ...
Jangan Biarkan rasa kagum di dalam hatiku terhadap Mas Habibi, membuatku khilaf dalam dosa."🌸🌸🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Kah? (Tamat) Poligami Series
Romansa~PROLOG~ Seiring intensnya cinta yang bersemi diantara kami, waktu akhirnya menyatukanku dalam ikatan yang lebih mendalam dengannya setelah terucap kata "Sah" dari saksi di sekeliling kami. Perjalanan kisah yang terjalin tak semulus rajutan asa yang...