"Kecintaan adalah kondisi yang terdapat dalam hatimu,
adapun keadilan adalah apa yang teraplikasikan dalam perbuatanmu"🍁🍁🍁
Sudah seminggu Inayah masih dalam perawatan di Rumah sakit, selama itu pula aku dan Rani sepakat untuk membantunya. Untuk urusan sekolah Hafidz dan Amira, aku yang antar jemput. Sedangkan Hafidza ada di rumahku, Rani yang mengurusnya.
Rani memperlakukan Hafidz dan Hafidza sangat baik, seperti anaknya sendiri. Bila sore telah tiba, maka Rani yang biasanya berangkat mengajar di TPA hanya berdua dengan Amira, sekarang jadi berempat bersama anaknya Inayah.
Bila malam tiba, Hafidz dan Hafidza minta pulang, karena tak bisa tidur kalau bukan di rumahnya sendiri. Kuantar mereka, Rani dan Amira setiap malam menginap di sana. Sedangkan aku? Aku akan pulang ke rumah. Lalu Inayah di RS dengan Siapa? Ibunya.
Pernah aku minta ijin pada Rani untuk menjaga Inayah di malam hari, bergantian dengan ibunya yang menjaga Inayah sejak pagi.
Beberapa kali pula Inayah menolak dan memintaku untuk pulang kembali, setelah ucapanku seminggu yang lalu, Inayah seakan menjaga jarak denganku. Ia yang biasanya murah senyum dan awalnya sudah mau berinteraksi secara baik denganku, kini tampak acuh. Ketika aku datang ia akan berpura-pura untuk tidur, tapi ia akan memanggil suster untuk diambilkan air minum atau sekedar diantar ke kamar mandi, itu ia lakukan ketika aku pergi keluar untuk shalat atau membeli makanan.
Tak apalah, memang salahku juga terlalu cepat untuk mengungkapkan semua. Malam ini aku berencana mendatangi Rumah sakit lagi, setelah berpamitan pada Rani dan mendapat ijin darinya.
Aku tahu bagaimana perasaan istriku saat ini, aku berusaha untuk tak menghindarinya, justru aku malah semakin mendekatkan diri dan terus meluangkan waktu dan perhatianku saat bersamanya.
Aku tak ingin istriku mengaggap aku telah berubah, karena cintaku padanya tak pernah berubah. Meskipun kini ada Inayah juga di hatiku ....
🍁🍁🍁
Waktu menunjukan pukul delapan malam ketika aku sampai di depan kamar rawatnya, terdengar dari luar Inayah sedang berbicara dengan ibunya. Aku menunggu di luar, tapi rasa penasaran mengusikku jua, kuambil posisi dibalik pintu untuk mendengar percakapan mereka.
"Bu, aku kapan pulang? Aku sudah tak betah di sini, ingin berkumpul lagi bersama Hafidz dan Hafidza. Bagaimana keadaan mereka selama aku di sini, Bu?"
"Sabar Inayah! Dokter tak mengijinkanmu untuk pulang kalau lukamu belum kering betul, lagipula Hafidz dan Hafidza anak-anak yang hebat. Mandiri dan tidak rewel. Keluarganya Bu Rani baik ya, mau bantu mengurus cucunya Ibu. Kamu jangan lupakan kebaikan mereka! Lagian kamu sih kemarin lusa kenapa ngeyel ke kamar mandi sendiri? Malah pas ga ada orang. Karena terjatuh, jahitanmu terbuka lagi."
"Maafkan aku Bu, aku hanya tak ingin merepotkan Ibu. Aku tak mau ibu terlalu letih karena mengurus aku, juga Bang Habibi, aku malu dia selalu bersedia membantuku. Aku menolak bantuannya, karena aku dan dia bukan suami istri, kami bukan mahram."
"Iya sih, Ibu juga khawatir nanti kamu yang dibicarakan tak baik. Padahal nak Habibi itu tampaknya baik dan tulus membantumu, atau jangan-jangan dia menyukaimu?"
"Ah Ibu, apa sih kelebihanku sampai-sampai disukai oleh Bang Habibi? Mba Rani sangat cantik, baik, penyabar, lebih faham agama dibandingkan denganku."
"Ealah Nduk, orang suka itu tidak butuh alasan. Mau kamu jelek elek bau ketek, kalau dianya suka ya ga bisa ditolak ukur pake penampilan. Lagian kalau ada orang baik mau nikahin kamu, sekarang jangan ditolak terus, supaya tak jadi fitnah untukmu. Juga supaya kamu tidak wara-wiri mencari nafkah."
"Tapi Bu ..."
"Sekarang mendingan kamu istirahat, makan yang banyak. Jangan berfikir macam-macam dulu deh, fokusin kesembuhan kamu. Besok kan tanggal merah, nanti ibu minta tolong ke Nak Habibi ya untuk antarkan Hafidz dan Hafidza ke rumah Ibu, wes kangen Ibu dan Bapak sama mereka."
"Iya Bu, nanti aku sampaikan"
"Ah ... Ibu saja yang bilang nanti kalau Nak Habibinya datang, kamu ga mungkin sampaikan ke dia. Tiap nak Habibi datang kamu pura-pura tidur!"
✨✨✨
Aku tertegun mendengar perbincangan mereka, kurasa sudah waktu yang tepat untukku masuk.
Tuk ... tuk ... tuk
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, sebentar"
Tak lama Ibunya Inayah membukakan pintu dan mempersilahkan aku untuk masuk, malam ini kulihat Inayah tak memejamkan matanya saat aku datang. Kusalami tangan Ibunya Inayah, seakan beliau adalah Ibuku sendiri. Insya Allah kelak menjadi Ibu mertuaku, Aamiin ...
"Maaf Bu kalau kedatangan saya mengganggu"
"Ah tidak, ini kebetulan berhubung Nak Habibi sudah datang, Ibu mau pamit ya."
"Ibu ... di sini saja temani aku!"
ucap Inayah dengan wajahnya yang sendu."Kan sudah ada nak Habibi, kasihan lho Bapakmu di rumah dari pagi Ibu tinggalkan. Besok sore Ibu kesini lagi sama Bapakmu ya. Kamu istirahat saja ya Nduk!"
"Nak Habibi, Ibu titip anak Ibu ya! Tolong dijaga, oiya kalau Inayah mau ke kamar mandi tolong kamu panggilkan saja suster ya, kalian kan bukan mahram. Gak boleh sentuhan, Dosa!"
"Baik, Bu."
"Oiya satu lagi, Ibu boleh minta tolong padamu?"
"Apa itu Bu? Insya Allah saya siap menolong selagi saya mampu."
"Besok kan Hafidz libur sekolah ya karena tanggal merah, bisa antar mereka ke rumah Ibu? Ibu sama Bapaknya Inayah sangat merindukan cucu-cucu kami."
"Insya Allah saya akan antarkan mereka, tapi saya belum tahu rumah Ibu dimana"
"Oiya, Ibu tak bawa pulpen lagi Nak!"
"Begini saja Bu, itupun kalau Ibu tak keberatan. Bagaimana kalau sekarang saya antar Ibu pulang, jadi saya tahu dimana rumah Ibu."
"Oiya Ibu ga kefikiran sampai ke situ, ayo deh! Sek, sek ... Inayah nanti bagaimana? Siapa yang menjaga?"
"Ibu ... aku baik-baik saja koq, Ibu pulang saja bersama Bang Habibi! Kalau perlu sesuatu aku akan panggil perawat." Ucapnya dengan senyuman yang kutunggu beberapa hari ini tak nampak.
"Kamu tak apa-apa kan Inayah, aku tinggal sebentar?"
"Tak apa Bang, habis antar Ibu. Abang langsung pulang saja! Insya Allah saya bisa sendiri."
"Tidak, aku akan kembali lagi nanti. Kamu istirahat ya! Ayo Bu, saya antar sekarang. Nanti keburu malam"
"Ayo nak, Inayah Ibu pulang ya. Assalamu alaikum"
"Waalaikumsalam, Bu."
Kuhampiri Inayah, kutatap ia sejenak dengan senyum yang tulus.
"Aku antar Ibumu pulang ya, kamu istirahat saja. Nanti mau aku bawakan apa?"
"Saya ... saya ingin susu jahe"
"Oke nanti aku carikan ya, kamu istirahat. Jangan berfikir yang aneh-aneh, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Ketika kubalikan badan ...
"Abang ..."
"Iya, ada apa, Inayah?"
"Hati-hati di jalan!"
"Baik, terima kasih"
Inayah akhirnya tersenyum lagi untukku, meskipun ia sempat menghindar dengan cara menolak bantuanku. Aku yakin ia pun merasakan, apa yang tengah kurasakan saat ini.
💗💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Kah? (Tamat) Poligami Series
Romance~PROLOG~ Seiring intensnya cinta yang bersemi diantara kami, waktu akhirnya menyatukanku dalam ikatan yang lebih mendalam dengannya setelah terucap kata "Sah" dari saksi di sekeliling kami. Perjalanan kisah yang terjalin tak semulus rajutan asa yang...