"Cinta dalam diam, bukanlah cinta yang hanya menyaksikan dari kejauhan. Bukan pula cinta yang hanya di kenang dalam hati, melainkan cinta yang selalu terselip di dalam doa, juga di tunjukan dimulai dengan perhatian kecil"
🍁🍁🍁
Banyak rangkaian kisah yang kualami semenjak mengenal Inayah, sebenarnya hidupku sudah sangat bahagia memiliki istri yang luar biasa penyabar, lemah lembut dan penurut. Setelah bertemu dan mengenalnya lebih dekat ternyata ada rasa yang berbeda dari perasaanku ini padanya.
Dimulai dari rasa kekagumanku akan parasnya yang anggun nan bersahaja. Sifatnya yang lembut dan tak pernah berani menatapku, perkenalan yang singkat ini telah menumbuhkan rasa yang lain di hatiku.
Aku mulai mencintainya ...
Isteriku Rani, dia sepertinya sudah mulai merasakan perubahan ekspresi di wajahku ketika mengkhawatirkan Inayah. Ekspresi sumringahku ketika berjumpa dengan Inayah, tapi dia tak pernah menyudutkanku dengan segala pertanyaan, ingin kuakui padanya bahwa aku memiliki rasa sayang pada Inayah dan ingin sekali membahagiakannya, dengan mempersuntingnya menjadi istriku juga.
Tapi ... aku tak sanggup kalau nanti kejujuranku ini malah menyakiti Rani, biarlah kusimpan saja rasa cinta yang tengah bersemi untuk Inayah.
Aku pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya, aku pernah ditinggalkan ketika rasa sayang dan cintaku begitu besar pada mantan istriku dahulu.
Sehingga membuatku terpuruk dan tak semangat menjalani hidup.Disaat aku terpuruk, aku mengenal Rani. Aku jatuh cinta karena kelembutannya, tak butuh waktu lama. Ketika hatiku mantap, kunikahi ia dan dari pernikahanku dengannya telah lahir buah hati kami yang sangat cantik dan kuberi ia nama "Amira".
Selama ini aku tak pernah sedikitpun tertarik pada wanita manapun, karena di mataku hanya Rani lah sosok yang sempurna. Karena di hatiku, hanya ada cinta untuknya.
Tapi ternyata pertahanan imanku goyah ketika mengenal Inayah, hatiku terbagi pada istri juga wanita yang baru kukenal itu. Terlebih aku juga merasakan sayang yang mendalam ketika mengetahui anak-anaknya menerimaku secara terbuka untuk lebih akrab. Hafidz dan Hafidza seperti membutuhkan sosok ayah pengganti, andai itu bukan hanya khayalanku saja.
•••••
Beberapa hari yang lalu, ketika isteriku mengundangnya untuk ke rumahku. Mereka akan membuat kue bersama, kutinggalkan mereka sejenak. Agar semakin akrab, agar terjalin silaturahmi kepada sesama wanita. Apalagi anak-anaknya Inayah adalah murid istriku, memang selayaknya Rani dan Inayah mengenal satu sama lain.
Tak lama setelah urusanku selesai, aku pulang disambut oleh Rani di pintu. Dari depan dapat kulihat Inayah di dapur tengah mengangkat kue dari pengukusnya, entah bagaimana mulanya kudengar gaduh, seperti benda terjatuh dari arah dapur.
Praaang ...
"Astaghfirullah, Awww"
Tanpa perintah, aku yang segera berlari ke arah dapur. Kekhawatiran muncul tatkala kulihat kue yang tadi dipegang Inayah terjatuh di lantai, Inayah di balik meja tengah berjongkok seraya memegang tangan kirinya yang memerah di bagian lengan.
Kuhampiri Inayah dan merunduk di sisinya, menanyakan padanya apa yang terjadi. Inayah katakan kalau ia tak sengaja terkena pinggir pengukus yang masih panas.Ketika Rani datang untuk melihat yang terjadi, aku seakan tak memikirkan perasaannya. Aku meminta untuk diambilkan kotak P3K, Rani adalah isteri yang penurut. Ia tersenyum disertai anggukan kecil langsung melakukan apa yang kuperintahkan.
Saat Rani datang membawa kotak P3K, aku hendak mengobati luka bakar yang Inayah alami. Tapi Inayah menolak, padahal aku tahu ia akan kesulitan kalau melakukannya sendiri. Akhirnya penolakan Inayah agak meninggi dengan penekanan bahwa Aku bukan mahramnya ...
Rani mendekatiku ia menawarkan diri yang akan mengoleskan obat pada tangan Inayah, sedangkan aku dimintanya untuk merapikan kue yang berserakan di lantai. Baru kusadari ada raut yang lain di wajah istriku, mungkin ia cemburu. Aku bisa melihatnya meskipun ia tutupi dengan senyuman, tapi tak ia tunjukan sedikitpun pada Inayah.
Saat merapikan kue, hatiku sangat senang begitu tahu yang mereka buat adalah makanan kesukaanku, kucicipi sedikit ... luar biasa sangat enak, memanjakan lidahku saat itu.
Kulihat Inayah tengah menatapku, kuberikan senyum terbaik untuknya seraya mengangkat ibu jari tanda aku menyukai kue hasil buatannya. Sepertinya Inayah hendak tersenyum tapi ia tahan, tak lama ia membuang wajahnya ke arah lain. Sifatnya yang seperti itulah yang membuatku gemas ingin menatapnya lebih lama.
Waktu menunjukan pukul sepuluh, aku dan Inayah berpamitan pada istriku untuk berangkat survey ke rumah calon kreditur yang Inayah dapatkan kemarin.
Hari yang kulalui siang itu sangat berharga, aku baru tahu ternyata Inayah sosok yang sangat menyenangkan setelah mengenalnya lebih dekat lagi.
Dimulai dari shalat berjamaah di masjid, aku berharap suatu saat aku benar-benar menjadi imamnya dalam shalat maupun rumah tangga. Aamiin ...
Dilanjutkan dengan minum kelapa muda bersama di kedai kelapa yang tak jauh dari sekolah anakku. Akhirnya aku beranikan diri bertanya tentang hal yang mengganjal fikiranku selama ini. Ternyata Inayah tak akan menolak apabila ada lelaki yang hendak mempersuntingnya, walaupun status lelaki itu telah memiliki isteri. Tapi ia akan mengajukan syarat yang luar biasa sederhana, tapi belum tentu bisa dilakukan. Yaitu Mendapatkan ijin dari istri pertama sekaligus yang melamarnya adalah si istri pertama.
Percakapanku terhenti, ketika waktu pulang sekolah anakku telah tiba. Aku dan Inayah berpisah di jalan yang berbeda, hingga malam tiba kudapati pesan masuk di ponsel istriku, kubaca terlebih dahulu sebelum kuberikan padanya. Ternyata dari Inayah, kuberikan pada Istriku dan setelahnya kusimpan nomer provider Inayah di ponselku.
Keesokan hari, pagi sekali ada tagihan yang harus kuambil di pasar, ketika tugasku usai. Iseng kuraih ponsel untuk menghubungi Inayah bahwa hari ini Istriku akan mengunjungi rumahnya untuk membantunya membuat kue, sekaligus belajar mengamati tata caranya.
Tak kuduga ternyata Inayah saat itu tengah di pasar juga, membeli bahan-bahan keperluan membuat kue juga bahan pokok untuk memasak sehari-hari. Kutawarkan diri untuk membantunya, tapi ia menolak dengan alasan ada kedua anaknya yang bisa membantunya.
Tiga puluh menit kemudian ...
Kulihat Inayah bersama kedua anaknya keluar dari pintu barat pasar, membawa barang bawaan yang lumayan banyak. Pasti berat, kuhampiri ia tak lupa ucapkan salam. Ia tampak terkejut ketika mendapati aku ada di belakangnya, sempat ia utarakan kekhawatirannya . Ia takut istriku akan berfikir macam-macam kalau tahu aku kesini menyusulnya.
Aku tertawa simpul menghadapi keluguannya, kukatakan padanya bahwa aku berada di pasar juga karena memang ada tujuan yaitu mengambil uang tagihan kreditur yang berada di pasar. Tanpa basa-basi kuraih barang bawaanya dan kukaitkan di sepeda motorku, Inayah terpaku melihat caraku mengambil paksa barang bawaannya. Terlebih ketika ku suruh HaFidz ikut naik di motorku, sedang Hafidza bersama Inayah.
Kuikuti arah perjalanan Inayah sampai rumahnya, setelah sampai rumahnya aku langsung berpamitan untuk menjemput istri dan anakku.
Kulihat dari kaca spion motorku Inayah tak beranjak dari tempatnya, ia masih menatapku. Mungkinkah ia tak menginginkan aku pergi meninggalkannya? Perasaanku saja sepertinya ...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Kah? (Tamat) Poligami Series
Romance~PROLOG~ Seiring intensnya cinta yang bersemi diantara kami, waktu akhirnya menyatukanku dalam ikatan yang lebih mendalam dengannya setelah terucap kata "Sah" dari saksi di sekeliling kami. Perjalanan kisah yang terjalin tak semulus rajutan asa yang...