DUA PULUH DELAPAN

58.5K 3.6K 114
                                    

"Galau? Bali-in aja!"

Seru Sarah ketika mereka sedang check in pesawat. Rachel tidak mengerti dengan Sarah, setiap galau pasti selalu datang ke Bali. Ya, walau ia akui Bali memang tempat yang indah untuk berlibur apalagi jika suasana hati sedang buruk, beuh-- mantap kali deh liburan ke Bali. Apalagi banyak cowok bule ganteng-ganteng bisa sekalian cuci mata sambil cari jodoh.

"Apa sih, Sar. Norak banget tau nggak?" dengus Rachel setengah mengantuk. Ia hanya mengenakan tanktop putih dilapisi jaket berwarna abu. Belum lagi ia tidak menggambar alis karena buru-buru untuk datang ke bandara. Sebenarnya ia rela jika tidak mandi, namun jika tidak menggambar alis? Oh no, Rachel bagaikan tuyul karena memiliki alis yang botak.

"Lo tuh yang norak, belum mandi tapi udah sibuk makeup sama gambar alis. Jorok banget."

"Ya nggak apa-apa dong, biar nggak mandi alis harus tetep on point."

Setelahnya Rachel hanya diam sembari berjalan masuk kedalam pesawat. Ia bersorak senang karena bisa tidur sejenak. Menggabaikan Sarah disampingnya yang terus saja berceloteh tentang perasaannya kepada Alvin. Lagi-lagi lelaki kerdus itu yang Sarah bahas membuat Rachel muak. Apa sedalam itu perasaan sahabatnya ini dengan lelaki bernama Alvin itu? Seberapa gantengnya sih dia hingga mampu membuat Sarah klepek-klepek.

Rachel jadi ikut membayangkan sosok Alvin, kan?

***

Disaat Sarah tengah menikmati perjalanannya menuju Bali yang katanya bisa menyembuhkan kegalauan. Disisi lain, Raya tengah sibuk berbincang dengan kedua orang tua Rafa. Ya, kedua orang tuanya. Bisa dibayangkan bagaimana jantung Raya berdetak kini? Seperti bunyi gendang untuk membangunkan warga sahur.

Walau bukan untuk pertama kalinya ia bertemu dengan kedua orang tua Rafa tetapi tetap saja timbul perasaan tak enak. Apalagi dulu dirinya pernah menyia-nyiakan Rafa yang kini berhasil menarik perhatian wanita dimuka bumi ini.

"Jadi gimana, Ra? Mau ya..."

Wajah Raya nyaris seputih kertas ketika memandang wajah berseri-seri Bunda Rafa. Kulit wajahnya masih kencang walau sudah memasuki akhir kepala lima. Rambutnya yang dipotong pendek belum sepenuhnya berwarna putih, bahkan warna hitam lebih mendominasi dan itu semua alami bukan karena memakai cat rambut. Raya jadi membayangkan jika dirinya sudah tua nanti, ingin sekali seperti Bunda Rafa. Awet muda sekali.

"Gimana ya Bun..." Raya menimang-nimang ucapannya tak kuasa menatap mata Ibunda Rafa. "Raya terserah Rafa saja inginnya bagaimana."

Raya benar-benar kehabisan kata, bagaimana bisa Ibunda Rafa memohon kepadanya agar mau menjadi calon menantunya. Mata Raya menatap Rafa meminta penjelasan karena ia tidak tahu sama sekali niat kedatangan kedua orang tua Rafa ke Bandung untuk apa. Ia hanya tahu jika beliau ingin menjenguk putra sulungnya saja, tetapi kok ini? Sudah seperti acara lamaran.

Sementara yang ditatap hanya senyum-senyum tak jelas sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Seperti tersambar petir disiang bolong, Raya diam tak berkutik ketika kedua orang tuanya datang dari pintu samping restoran menghampirinya sembari tersenyum haru dan bahagia.

Ditengah-tengah kedua orang tuanya ada Nath yang tersenyum cerah menggunakan kemeja putih dan dasi kupu-kupu dilehernya. Raya tidak mengerti, ini sebenarnya ada apa sih? Kok dirinya seperti orang linglung yang tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja semua pengunjung restoran bersorak riuh ketika Rafa sudah berada didepannya dengan posisi menghadapnya. Menyodorkan sebuah kotak beludru berwarna merah hati, Rafa membukanya perlahan dihadapan Raya yang masih terpaku dengan semuanya.

Hujan Berjuta Rasa(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang