ENAM

61.3K 4K 200
                                    

Suasana taman yang semula damai kini berubah mencekam saat pandangan Rina tak lepas dari Raya. Bagaimana tak mencekam saat Rina tiba-tiba saja bertanya bagaimana perilaku Alvin akhir-akhir ini, apakah sama dengan David. Sebab Rina percaya mitos, selingkuh itu bisa menjadi sebuah tradisi turun temurun yang mendarah daging.

"Jadi kamu sadar Alvin punya selingkuhan?" Selidik Rina saat menunggu momen Nath tertidur dan mengajak Raya mengobrol ditaman rumah sakit. "Polos dan bodoh itu beda tipis, ya."

Raya merasa kalimat terakhir Rina begitu menohok dihati. Ada sedikit rasa tak suka saat melihat mertuanya terlihat ikut campur dalam masalah rumah tangganya.

"Mau bagaimana lagi, Ma. Raya ingin Mas Alvin sendiri yang jujur bukan karena penggrebekkan yang Raya lakuin langsung di tkp, sambil nangis kejer minta penjelasan disaat Raya udah tau semua jawabannya."

Raya mencoba tersenyum sambil memandang langit yang akan turun hujan. Tuhan seperti mengerti perasaannya kini, sebab ia ingin sekali menangis dibawah guyuran hujan agar tidak ada satupun yang melihat bagaimana rapuh dirinya saat tengah bergulat dengan pikirannya sendiri.

Raya tidak suka jika istilah sesi curhat yang disebut Mama Mertuanya ini sebagai ajang menyudutkan dan menghakimi. Terlihat jelas dari berbagai macam pertanyaan yang Rina lontarkan kepadanya sejak tadi.

Bagaimana cara Rina mengintrogasi Raya dengan tatapan menyelidik seperti tak ingin sedikitpun melihat gelagat kebohongan. Rina benci kata bohong, sebab awal mula kehancuran rumah tangganya adalah berbohong.

"Mama serahkan semua sama kamu," Rina menghembuskan napas kasar. Menyerah dengan menantunya, setidaknya ia sudah memberikan sedikit petuah untuk Raya.

"Dan Mama harap kamu masih mau bertahan disamping Alvin seperti Mama bertahan disamping Papa. Demi anak-anak, hancurnya rumah tangga bukan tanda perpisahan. Diantara kalian, harus ada yang saling menggengam disaat ada tangan nakal mencoba memisahkan."

Dan detik itu juga Raya tak kuasa membendung air matanya. Semua terasa seperti beban berat yang diam dipundaknya. Tak ada ucapan apapun setelah itu, Rina pergi menjauhi Raya dengan segala macam pikiran yang bergelanyut dikepala kecilnya.

Perkataan Rina begitu terngiang dikepala, sebab Raya tak menyangka akan seperti ini. Rumah tangga yang ia jalin bersama Alvin kini ibarat kapal, sedang oleng. Salah sedikit saja dalam menyetir akan goyang dan tenggelam.

Setelah bertarung dengan pikirannya sendiri Raya memutuskan untuk kembali ke dalam kamar rawat Nath. Mencoba menerawang bagaimana sosok wanita yang bisa memuaskan Alvin. Apakah berkulit putih atau sawo matang, berambut lurus atau ikal, berbadan kurus atau sintal. Semuanya menjadi pertanyaan bodoh yang hanya akan sia-sia begitu saja.

Ketika membuka pintu, Raya terkejut dengan Ibunya yang tiba-tiba sudah duduk menyuapi Nath buah-buahan. Pisang adalah buah kesukaan Nath dan Alvin yang selalu Raya siapkan jika mereka selesai makan.

"Ibu darimana? Reyhan kok gak sama Ibu?" Tanya Raya setenang mungkin karena tak mungkin ia bercerita tentang apa yang dibicarakan dengan Mama mertuanya tadi.

Bisa sedih Ibunya karena memikirkan anaknya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang tanpa kurang sedikitpun dikecewakan oleh suaminya sendiri, pilihan hati Raya yang awalnya ditolak mentah-mentah karena tidak sreg dihati Ibunya.

"Maaf, Ra tadi Ibu dapet telpon kalau Reyhan adikmu itu kena SP, Ibu kira dia memang libur, taunya adikmu itu di skors sama pihak kampus ," keluh Ida, Ibu Raya pusing melihat anak bungsunya yang penuh ulah.

Raya mendengus sebal mendengar adiknya selalu menyusahkan kedua orang tua senang sekali sepertinya membuat mereka pusing dengan tingkahnya yang bandel. Namun disisi lain Reyhan juga adik satu-satunya yang ia sayang.

"Reyhan buat apa lagi, Bu? Kok gak mikir sih dia harusnya cepet-cepet wisuda biar bikin bangga Ibu sama Ayah, bukannya kaya gini," cerocos Raya melihat tingkah adiknya yang selalu sama sejak masuk sekolah dasar. Bandel.

"Reyhan berkelahi sama temannya membuat pihak kampus geram. Bukan Reyhan saja sih tapi tetap saja adikmu biang dari semua ini, pantas sudah seminggu ini dia murung sendiri dikamar. Kelakuan adikmu itu tidak pernah berubah, selalu berkelahi entah karena masalah apa," jelas Ida.

"Yasudahlah kalau sudah capek dia sendiri yang bakal nyesel. Ibu sama Ayah sudah gak mau banyak ngomong, makin cerewet makin bertingkah adikmu itu," sambung Ida kembali.

Raya hanya diam tak menanggapi lalu menatap Nath yang akan kembali pulang ke rumah besok. Sebab Raya tak ingin pengeluaran Alvin semakin bertambah. Cicilan mobil dan biaya kuliah Reyhan pun masih ditanggung Alvin. Sebab Alvin menjanjikan kepada Reyhan jika adiknya itu berhasil masuk universitas negeri di Bandung Alvin akan memberikan hadiah yang diinginkan Reyhan karena akan membuat keluarga bangga terhadapnya. Namun tingkah Reyhan kali ini membuat Raya malu sendiri ingin bercerita kepada suaminya.

"Suami kamu mana? Kok Ibu belum lihat."

Pertanyaan sang Ibu seketika membuyarkan lamunan Raya. Ia pikir Ibunya tak akan repot-repot bertanya tentang kemana suaminya berada.

"Hmm__ ke Surabaya, Bu. Ada bisnis yang harus diselesaikan disana," ucap Raya pelan dengan sedikit sorot kesedihan dimatanya.

"Disaat anaknya lagi sakit begini? Tumben banget gak pamit sama Ibu."

Raya hanya menatap Ibunya sesekali mengedipkan matanya menyunggingkan sedikit senyum bingung harus merespon apa. Ia sendiri saja tak mengerti bagaimana menjelaskannya.

"Jangankan ke Ibu, pamit ke istrinya aja enggak," ucap Raya dalam hati tak berani mengucapkannya langung.

"Alvin sibuk Bu, katanya salam buat Ibu dan Ayah," ujar Raya pelan.

***

Alvin sudah menginjakkan kakinya di Surabaya beberapa jam yang lalu bersama Sarah untuk mengerjakan proyek pembangunan restoran. Dengan senang hati Alvin bersedia memenuhi permintaan Sarah yang cukup mengejutkan dirinya agar Alvin turut terjun langsung ke lapangan. Sebenarnya bukan tugas Alvin, ada bagian khusus yang membahas proyek ini namun Sarah ingin Alvin membantunya. Sebagai lulusan arsitek Alvin sangat mahir, sudah banyak client yang bekerja sama dengannya namun sebatas membuat desain saja tidak ikut andil seperti sekarang.

Setelah sampai hotel, mereka masuk ke kamar yang letaknya sebelahan. Alvin membuka jaket levis lalu melemparnya asal keatas ranjang putih. Mengeluarkan handphone untuk mengecek beberapa berkas dan melihat lima panggilan tak terjawab serta satu pesan masuk dari istrinya yang menanyaan kabarnya.

Buru-buru Alvin membalas pesan istrinya dan melempar ponselnya ke sembarang arah. Alvin benar-benar butuh udara segar ia melihat ke arah balkon yang tertuju langsung pemandangan Kota Surabaya ketika ia berjalan keluar balkon Alvin melihat Sarah dengan kaos putih memperlihatkan perut putihnya yang mulus seperti sedang menghirup udara sedalam mungkin.

Balkon mereka yang sebelahan memudahkan Alvin untuk meloncat menyadarkan Sarah akan lamunannya.

"Mas Alvin? Yaampun ngagetin banget tau ga?!" decak Sarah kesal mengerucutkan bibir tipisnya yang membuat Alvin memikirkan hal lain.

Alvin hanya tersenyum jail ketika melihat rona merah dipipi Sarah. Tangan Alvin terulur mengelus pipi mulus itu perlahan penuh kelembutan disetiap sentuhannya.

Tatapan Alvin begitu memuja kepada wanita didepannya ini. Tak pernah Alvin memperlakukan seorang wanita seperti ini selain istrinya. Ia tak pernah menuruti permintaan client untuk terjun langsung namun dengan Sarah, berbeda. Saat pertama kali bertemu, Sarah dimata Alvin adalah wanita yang berbeda. Begitu mempesona dan menantang. Kilatan matanya yang bercahaya membuat Alvin tak bisa melepaskan tatapan mata itu.

"Surabaya mendadak dingin, lebih baik kita masuk," ujar Alvin memeluk pinggang Sarah dari belakang menuntun Sarah untuk segera masuk ke kamar wanita itu.

***

Hujan Berjuta Rasa(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang