Dear Tuan Hujan,
Ingatanku masih berjalan mundur ke belakang, bahkan jauh sebelum awan bertemu dengan hujan.
Di sana, di sekolah itu, aku bertemu dengan seorang gadis kecil. Kedua pipinya tembam bagai bakpau yang dikukus. Lembut, hangat, mengenyangkan. Ah, rasanya terlalu berlebihan. Maafkan aku, Gadis Kecil.
Lagi, di sana, gadis itu sedang sibuk bermain balon tiup yang dulu juga merupakan salah satu permainan favoritku. Aku telah mengamati gadis kecil itu selama beberapa kali. Perkiraanku, ia sangat senang bermain balon tiup itu. Dan ... ia rela menghabiskan uang sakunya demi membeli balon tiup itu dari seorang wanita paruh baya yang sering disebut 'Ibu Kantin'.
Kala itu aku hendak berjalan mendekatinya, mengajaknya untuk berkenalan, lalu mencubit gemas kedua pipi bakpao miliknya. Namun kau tahu, Tuan Hujan, keinginanku kutahan sebentar saat seorang pria kecil datang lalu memarahi gadis itu.
"Kamu hanya membuang uang dengan permainan bodoh itu!" Ucap sang pria kecil
Oh, perkataannya ternyata sangat memilukan hati gadis kecil itu. Kedua matanya berkaca menahan tangis. Ia mencoba mengeluarkan kalimat pembelaan. Namun nyatanya, bibir kecilnya terlalu kelu sekadar untuk berucap.
Lalu tiba-tiba seorang pria lain, masih seputar pria kecil, datang menghampiri mereka berdua. Ia lalu memarahi sang pria pertama atas perkataannya terhadap gadis kecil itu.
Kau tahu, Tuan, pria kecil itu baru saja membuatku terkesima. Dan kurasa gadis kecil itupun merasakan hal yang sama denganku. Pandangannya tak henti menatap pahlawannya. Kurasa hatinya tengah bersorak karna lelaki yang memarahinya itu seakan mati kutu karena teguran sang pria kecil lain, yang sepertinya lebih tua usianya daripada mereka.
Namun aku tak mengenal pria kecil heroik itu. Tidak juga dengan sang gadis kecil.
Lalu apa selanjutnya?
Keesokan harinya, dua hari berikutnya, dua tahun kemudian, sejauh mataku memandang, kurasa gadis kecil itu baru saja jatuh cinta pada pria kecil itu. Apakah itu cinta pertama, ataukah harus kusebut sebagai cinta monyet? Ah, lucu sekali gadis itu.
Lalu darimana aku mengetahuinya?
Percayalah Tuan Hujan, aku selalu mengunjungi sekolah itu. Dan gadis kecil itu adalah sosok yang sering kuamati tingkahnya.
Bagaimana caraku mengetahuinya?
Oh, mudah saja, Tuan Hujan. Mata gadis itu selalu berbinar tiap kali ia melihat pahlawannya. Ia kadang tersenyum tanpa alasan sesaat setelah berpapasan dengan ... sebut saja dengan cinta pertamanya. Akupun yakin, sepuluh tahun mendatang atau mungkin lebih, gadis kecil itupun akan mengakui perkataanku ini. Lalu apa lagi? Gadis kecil itu ternyata suka mencuri dalam diam. Ya, diam-diam mencuri pandang pada sang pahlawan. Kurasa tidak ada yang akan menyadarinya. Gadis kecil itu sangat pandai dalam menyembunyikan perasaannya. Kau harus berhati-hati dengannya, Tuan.
Dan mungkin dia memang ahli dalam masalah menyembunyikan rasa. Namun percayalah, gadis kecil itu takkan pernah bisa menyembunyikannya dariku.
Lalu kau pasti akan bertanya, "Apa hubungannya denganku?"
Baca saja tulisan ini sampai selesai. Dan kau juga akan mengerti pada akhirnya, mengapa kubuka cerita ini dengan tarikan yang cukup jauh, sebelum akhirnya batu itu terlontar dari katapel sejauh atau mungkin terlalu jauh untuk dipandang.
Kota ini, 19 April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PoetryDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...