Dear Tuan Hujan,
Bila dibanding dengan sekarang, waktu itu enam ribu rupiah masihlah sangat berarti. Dengannya kau sudah mampu membeli beberapa makanan ringan atau minuman yang kausuka. Tidak seperti sekarang, di mana sepuluh ribu rupiah pun belum tentu cukup untuk sehari.
Tuan, sang gadis yang baru saja kembali melanjutkan kisahnya padaku. Masih di waktu yang sama ketika ia dan juga anak laki-laki itu kembali dipertemukan dalam kegiatan festival sekolah.
Hari itu adalah satu di antara sekian hari yang membahagiakan sekaligus menegangkan bagi sang gadis. Selama sebulan penuh ia akan dilatih, berbaur, menari bersama beberapa siswa yang lain. Dan selama itu pula ia harus menjaga lakunya agar setidak-tidaknya tidak terlalu membuatnya ditegur oleh sang pelatih sehingga nantinya anak laki-laki itu tidak akan menertawai gerak tariannya.
"Dia berubah menjadi bongkahan es balok yang lupa diangkut saat hendak didistribusikan ke beberapa restoran. Dia dingin sekali. Bukan hanya padaku, tetapi juga pada semua orang yang ada di situ. Saat waktu istirahat tiba, dia cenderung berjalan sendiri menuju kantin. Lalu keluar, duduk di tribun sekolah, lalu melihat lurus, hanya pada tiang bendera yang beberapa meter jauh di depannya. Sehabis itu, dia akan langsung meneguk sodanya. Hingga nanti, saat kami harus kembali berlatih, barulah ia kembali dan berbaur dalam diam. Begitulah dia yang kukenal, setidak-tidaknya waktu itu," tutur sang gadis setelah terdiam beberapa lama. Mungkin terlalu banyak hal yang dia ingat perihal anak laki-laki itu. Mungkin juga terlalu banyak momen menyesakkan ketika mereka harus menjadi sepasang yang asing.
Namun di antara sekian hari-hari yang harus ia lalui itu, ada satu hari di mana sang gadis begitu yakin perihal esok yang takkan lagi membuat anak laki-laki itu mampu mempertahankan statusnya sebagai 'bongkahan es balok'.
Waktu itu waktu menunjukkan pukul tiga sore lebih sekian menit. Sang gadis dan beberapa temannya baru saja selesai berlatih dan hendak membeli minum di kantin sekolah. Tuan, waktu itu cuaca di kota ini benar-benar terik. Jangankan sang gadis, aku saja sama sekali tidak melihat kehadiran awan kelambu manunggal, maupun awan kemawan yang biasanya selalu menggantung di langit atas. Nahasnya, kantin sekolah ternyata telah tutup dan itu artinya mereka harus membeli minuman di luar sekolah.
Sang gadis dan beberapa temannya pun melapor diri pada guru piket. Menuturkan dengan benar-benar detail, hingga akhirnya guru piket memberikan izin pada mereka untuk keluar sekolah selama 5 menit untuk membeli minuman dengan catatan, hanya dua orang saja yang boleh pergi keluar sedang yang lain hanya boleh menitipkan uang mereka.
Tak disangka, ternyata anak laki-laki itu juga ingin membeli minumannya. Namun setelah mendengar perkataan guru piket, ia terpaksa memasukkan kembali uangnya ke dalam saku celana. Tanpa sadar, sang gadis ternyata sedang melihatnya. Aku sendiri tidak tahu, Tuan, namun hari itu, tanpa memikirkan hubungan mereka yang tengah renggang, sang gadis sontak menawarkan diri agar bagaimana bila anak laki-laki itu menitipkan saja uangnya padanya.
Dan akhirnya anak laki-laki itu memberikannya sejumlah uang sebesar enam ribu rupiah demi membeli sebotol minuman isotonik dan dua buah air mineral dalam kemasan gelas. Sesingkat itu percakapan mereka pada akhirnya sebelum akhirnya sang gadis kembali sambil membawa pesanan anak itu dan untuk selanjutnya Tuan, aku rasa bongkahan es balok tidak benar-benar menjaga suhunya dengan baik.
Sebab seusai ucapan "Terima kasih"-nya pada sang gadis, esoknya menjadi berbeda. Tigaratus enampuluh derajat dan kali ini aku harus tersenyum mengenangnya, Tuan.
Kota Ini, 14 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PuisiDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...