Dear Tuan Hujan,
Makin hari tingkah gadis kecil itu makin melucu saja. Sayangnya, ia harus menitikkan air mata lagi. Dan momen itu masih terngiang dalam benakku ketika seseorang menyuguhkanku dengan sebuah puisi.
Adalah suatu masa, di mana gadis itu sedang dalam transisinya menuju usia sepuluh tahun. Sedang sang pahlawan tentunya sedang dalam transisi menuju usia duabelas tahun.
Begini, sebelumnya aku ingin memberi tahumu, Tuan. Kau pasti mengira aku ini pengangguran yang saban hari menampakkan diri di sekolah itu. Namun tak apa. Nantinya pun kau akan tahu sendiri.
Yang jelas, perihal gadis itu, rupa-rupanya pelajaran kesukaannya adalah Bahasa Indonesia dan IPA. Apa kau masih ingat ceritaku tentang seorang anak laki-laki yang sempat menegurnya perihal balon tiup?
Jadi waktu itu, aku mengintip sang gadis. Ia sedang berada di kelasnya. Waktu itu tidak ada seorangpun guru yang masuk di kelas itu. Sedang sang gadis sedang sibuk memandangi buku tulisnya. Sebuah buku yang tipis, namun begitu menyita pandangnya. Lalu laki-laki itu, sosok yang menegurnya dengan mainan balon, yang kebetulan juga menjadi pasangan duduknya, tak sengaja merebut buku itu dengan kasar. Dan tiba-tiba buku itu sobek.
Aku yang mengamatinya cukup terkejut. Sekaligus penasaran. Bagaimana reaksi sang gadis.
Kau tahu, Tuan, gadis itu sempat terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca. Dengan segera ia meluapkan amarahnya pada laki-laki itu. Tentu sambil menangis.
"Ini! Ambil saja buku bodohmu itu! Aku 'kan hanya ingin lihat puisimu!" Anak laki-laki itu berujar sambil melempar buku sang gadis tepat di depannya.
"Memangnya salah kalau aku tidak mau tulisanku dibaca siapapun? Kamu tahu, ini isinya puisi-puisi pertama aku!"
Dan sang gadis kembali menangis sesenggukkan. Anehnya, tak seorang pun berani menegur anak laki-laki itu.
Dalam rasa jengkel, aku pun penasaran. Memangnya siapa anak laki-laki itu? Namun beberapa hari kemudian, aku akhirnya mengetahui, lewat perbincangan guru-guru, bahwa anak laki-laki itu termasuk laki-laki paling pintar di kelas mereka.
Kau tahu, Tuan, selepas kejadian itu, sang gadis membuang bukunya di tempat sampah. Sajak pertamanya telah robek, bersamaan dengan hatinya yang ikut robek. Jika saja semua orang tahu bagaimana seharusnya menghargai karya sastra.
Dan seandainya saja waktu itu sang pahlawan ada di sampingnya.
Akhirnya, aku memungut buku itu. Buku dengan sampul berwarna kuning. Benar memang, di dalamnya terdapat beberapa puisi. Dan satu yang membuatku tertarik, ternyata gadis itu menyukai kembang Melati. Terbukti, seluruh puisinya berbicara mengenai melati dan mimpi-mimpinya.
Aku bahkan masih ingat akhiran dari puisinya :
"Bunga melati, kau bunga tidurku...."
Dan sekarang kuucapkan selamat malam. 'Kan kulanjutkan cerita ini besok.
Kota ini, 21 April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PuisiDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...