Dear Tuan Hujan,
Waktu itu hari Sabtu, pukul tiga lebih duapuluh delapan menit. Hari itu aku, sang gadis, kami berjalan bersama-sama. Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam, sementara bawahannya adalah rok seragam abu-abunya dan juga sepatu sekolah. Hari itu, cuaca cukup cerah, teramat cerah. Dan sang gadis benar-benar bersemangat untuk mengikuti latihan marching band.
Ah, iya! Satu lagi yang lupa kuberitahukan. Waktu itu, sang gadis sama sekali tidak memoleskan apapun pada bibirnya. Bukan karena apa, melainkan karena peraturan sekolahnya yang mewajibkan siswi SMA tidak boleh merias diri secara berlebihan, apalagi menggunakan lipstick. Dan kau pun dapat melihat sendiri wajah polosnya yang terburu-buru berjalan menuju tribun, sebab semua orang telah berada di sana, mulai pelatih, para anggota marcing band, bahkan kau juga di sana, kan, Tuan? Aku ingat itu.
Waktu itu kau juga ikut duduk di atas tribun itu. Kau hanya sesekali menengok gadis kecilku. Namun waktu itu ia terlalu sibuk menyesuaikan tangannya dengan tongkat mayoret yang terbilang cukup panjang itu. Tuan, kau pasti tahu betul. Di sana ada anak laki-laki itu yang juga duduk di tribun sambil berbicara dengan gadis barunya. Aku sendiri baru menyadarinya saat mata sang gadis tak hentinya menatap mereka selama beberapa detik. Dan tak lama setelah itu, pelatih marching band mengatakan bahwa anggota marching band yang ada saat itu terbilang cukup banyak. Oleh karena itu, mereka semua akan mengikuti seleksi, kecuali ketiga mayoret yang sedang berdiri di sampingnya.
Tak lama kemudian, gadis baru itu turun. Mulai berkenalan dengan para mayoret, termasuk sang gadis. Tuan, senyumnya ternyata cukup manis. Dan gadis kecilku mulai menjabat tangannya sambil tersenyum simpul. Syukurlah gadis baru itu tidak perlu berlama-lama di dekat mereka, sebab ia sudah harus mengikuti latihan, untuk setelahnya akan diseleksi oleh sang pelatih.
Kepergian gadis baru itu digantikan oleh kedatangan sang pelatih. Yang memberitahukan pada ketiga mayoret tersebut untuk harus berlatih memainkan tongkat mereka dengan baik. Dan harus kuakui, sang gadis benar-benar antusias dengan latihan tersebut. Dengan sabar ia belajar untuk memutar tongkat tersebut, memastikan tongkat tersebut tidak mengenai apapun yang berada di sekitarnya. Ia pun menyiasatinya dengan melangkah mundur beberapa langkah menjauhi tribun. Diikuti oleh kedua mayoret lainnya. Dan salah satu dari kedua mayoret tersebut ternyata sudah memiliki bakat sekaligus pengalaman dalam menjadi mayoret. Oleh karena itu dia berinisiatif untum menjadi mentor sebaya pada sang gadis dan juga salah satu mayoret yang lain.
Tuan, tadinya kupikir, gadis kecilku akan memiliki pengalaman tidak terlupakan sebab ia berhasil masuk ke dalam salah satu ekstrakulikuler yang cukup bergengsi di kalangan anak SMA. Namun tak disangka, seminggu setelahnya, tepatnya di hari Jumat, ia mengalami kecelakaan dan akhirnya harus beristirahat di rumah selama beberapa hari lamanya. Tuan, hari itu, sang gadis harusnya beristirahat di rumah selama beberapa minggu. Namun karena peraturan sekolah yang ketat, akhirnya hanya berselang empat hari sejak kecelakaan itu, ia pun kembali lagi bersekolah.
Tuan, aku kembali terenyuh melihatnya. Butuh waktu cukup lama, agar ia bisa sampai di kelasnya. Aku iba padanya, Tuan. Kendalanya adalah ketika ia harus menaiki tangga, sedang di belakangnya ada beberapa siswa yang berlarian, melambungnya ketika melewati tangga. Beruntung sekali, Tuan, ia memiliki seorang teman baik. Yang begitu sabar menemaninya dalam berjalan.
Sesampainya di lantai dua, tangisnya hampir pecah di sana. Ia melewati kelas anak laki-laki itu dengan amat pelan. Namun bukan itu yang diinginkannya. Gadis itu dulunya selalu melewati kelas anak laki-laki itu dengan amat cepat. Seolah pembunuh akan mendapatinya dari belakang bila ia tidak melintasi ruang kelas itu dengan cepat.
Namun yang terjadi saat itu, langkahnya pelan, teramat pelan. Tak heran jika belum sampai pukul tujuh pagi ia sudah sampai di depan pagar sekolah. Dan kau tahu apa, Tuan, hari itu ia berjalan sambil menundukkan kepalanya ketika melewati kelas itu. Ada beberapa anak laki-laki yang ternyata duduk di depan kelas. Dan mereka menaruh perhatian pada langkah sang gadis, ada yang hanya menaruh kasihan, ada yang sempat menggumamkan ucapan lekas sembuh, namun di antara mereka semua, gadisku sama sekali tidak menemukan orang yang dicarinya. Tadinya kukira ia berharap bahwa anak laki-laki itu akan kasihan melihatnya, lalu menuntunnya berjalan menuju kelasnya, atau setidak-tidaknya menggumamkan ucapan semoga lekas sembuh. Namun yang kudengar dari sang gadis ternyata berbeda.
"Syukurlah dia dan juga gadis barunya tidak ada di sekitar situ. Dengan begitu aku tidak perlu dua kali merasa kasihan pada diriku dan aku tidak perlu menahan tangis di depan anak laki-laki itu."
Namun, ada kabar lain yang jauh lebih menyakitkan beberapa minggu setelah ia berhasil berjalan dengan kedua kakinya. Hari itu waktu menunjukkan pukul duabelas lebih limabelas menit setelah bel pulang berbunyi. Sang gadis tengah berjalan bersama teman baiknya. Tepat di depan meja piket, ia bertemu dengan salah seorang temannya yang juga mengikuti ekskul marching band. Gadis kecilku antusias bertanya pada anak itu, perihal jadwal latihan marching band. Namun kau tahu, Tuan, anak itu menjawab padanya bahwa sang gadis telah dikeluarkan dari marching band karena sering tidak hadir saat mengikuti latihan. Tadinya sang gadis ingin menjawab, memaparkan dengan jelas perihal keadaan yang terjadi padanya. Namun anak itu mengatakan kembali bahwa ada yang telah menggantikannya sebagai mayoret.
Dan saat itu juga Tuan, sang gadis tak lagi mengatakan sepatah katapun, selain terima kasih dan fakta bahwa ia sedang berusaha menahan air matanya. Beruntung teman baiknya mengatakan padanya bahwa selalu ada hal yang baik dibalik sesuatu yang buruk. Seperti kabar baik bahwa gadis itu tidak harus menahan hatinya karena mengikuti ekstrakulikuler yang sama dengan anak laki-laki itu.
Namun tetap saja, Tuan. Marching band adalah segala yang diinginkannya waktu itu. Dan pada akhirnya, ia tetap menahan air matanya selama perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, kulihat ia menangis keras. Meluapkan kekesalannya. Ia menangis selama beberapa jam tanpa menghiraukan kedua matanya yang sembab dan bengkak. Yang ia tahu, harusnya ia masih tetap mengikuti ekstrakulikuler tersebut. Bukan karena anak laki-laki itu, namun memang karena di situlah kecintaannya. Sayang, aku tak banyak melakukan apa-apa baginya, Tuan. Sebab saat itu aku turut menemaninya menangis.
Kota Ini, 9 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PoetryDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...