35 : Selamat Datang, Putih Abu-Abu!

14 3 1
                                    

Dear Tuan Hujan,

Masa-masa SMA ini pastilah selalu manis bila diperbincangkan, ya? Berawal dari halaman parkir sekolah yang pada tahun pertama menjadi bagian yang ditakuti para peserta MOS untuk memarkir kendaraan mereka. Berpindah ke meja piket yang sejatinya selalu menjadi tempat paling menakutkan pada menit-menit setelah bel masuk berbunyi, hingga selokan kering yang selalu dijadikan tempat menghukum para siswa yang kebal akan hukuman.

Dan di sana, ada sang gadis yang berjalan lengkap dengan atribut putih-birunya sambil mengekor pamannya yang berada di depan. Kau tahu apa, Tuan, kala itu cuaca sedang cerah, bahkan teramat cerah. Dan dari arah lapangan, seluruh peserta MOS dapat melihat kedatangan sang gadis beserta pamannya dengan jelas. Sempat sang gadis menoleh ke arah lapangan. Namun yang ia dapati adalah tatapan sinis beberapa gadis yang berbisik, "Anak itu pasti lewat jendela! Cih! Lihat saja, bahkan kedatangannya disambut wakil kepala sekolah!" Dan sang gadis hanya bisa mendesah pelan. Lagipula, siapa yang ingin masuk di sekolah ini?
Ia seharusnya masih berada di dalam rumahnya, merenungkan nasibnya saat putih-biru akan berganti dengan putih abu-abu. Bukan tanpa sebab, gadis itu telah terlambat mengikuti tes seleksi masuk SMA favoritnya. Dan karena itulah, ia seakan tidak punya lagi harapan untuk membayangkan akan seperti apa putih abu-abunya bila ia tidak menikmatinya di tempat yang begitu diinginkannya.

Namun sepertinya sudah seharusnya Dewi Fortune menolak keinginan sang gadis untuk bersekolah di sekolah favoritnya. Karena kau tahu apa? Ia dipertemukan lagi dengan anak laki-laki itu! Siapa lagi kalo bukan sosok yang baru beberapa bulan lalu pernah dipatahkan hatinya oleh sang gadis.

Tepat ketika sang gadis telah selesai dengan segala macam wawancara dan juga pembuatan kartu nama peserta MOS, ia ditinggalkan oleh pamannya. Dan itu berarti sang gadis akan memasuki dunia putih abu-abunya seorang diri, bukan pada SMA favoritnya, melainkan pada sebuah SMA Negeri yang sebenarnya juga berada pada peringkat kedua atau ketiga setelah SMA favoritnya.

"Kalau ada apa-apa, cari saja kak There. Dia itu masih berstatus sepupumu. Dan dia juga sudah terhitung sebagai kakak kelas. Jadi kamu tidak perlu takut sendirian di sini."

Mungkin itu sepenggal pesan yang dititipkan pamannya padanya. Seolah tahu betul bahwa keponakan bungsunya ini merupakan tipe yang tidak mudah beradaptasi dengan perubahan. Lalu menurutmu apa yang dilakukan gadis itu selaku peserta MOS? Apalagi kalau bukan mengikuti segala macam kegiatan seperti pelatihan baris-berbaris, mengekor para kakak pembimbing yang akan menggiring mereka ke ruang MOS.

Dan kau tahu Tuan, di sanalah ia melihat anak laki-laki itu. Yang tengah sibuk berbaris, hendak masuk ke dalam ruangan MOSnya. Ia mengenakan tas berwarna ungu tua dan tatapannya lurus menatap para kakak kelas yang sibuk menyuruh mereka masuk. Untuk sementara, sang gadis tertinggal beberapa langkah dari teman-temannya. Namun baginya tak mengapa, asalkan anak laki-laki itu tidak melihat keberadaan dirinya.

Ruangan sebelas. Gadis itu bergumam serta tersenyum kecil. Dilihatnya anak laki-laki itu yang terlalu acuh mendengar ceramah dari kakak-kakak pembimbingnya. Gadis itu lalu buru-buru melewati Ruang 11. Takut kalau-kalau ada yang menyadari keberadaannya. Ia akhirnya naik menuju lantai dua, kemudian menuju lantai tiga, lalu berjalan lurus menujun ruang MOSnya. Yakni Ruang 17. Di sana sudah ada seorang kakak pembimbing yang menatapnya dengan sinis, seolah mengapa gadis ini baru terlihat sekarang.

"Aku hampir saja dimarahi oleh kakak itu. Namun syukurlah kak There datang. Dan aku pun selamat dari terkaman kakak kelas itu," ucap sang gadis padaku.

Lalu sang gadis melanjutkan ceritanya. Katanya, mereka diminta untuk mengelilingi sekolah itu sambil meminta tandatangan dari semua guru yang ada pada saat itu. Maka di situlah momen paling membosankan baginya. Ia pun mengekor teman-temannya untuk turun ke lantai dua, menuju perpustakaan. Sesampainya di sana ia bertemu dengan seorang guru berperawakan barat, bermata cokelat, yang diperkirakan usianya sudah menginjak paruh baya. Maka didapatnyalah tandatangan pertamanya, dari sang guru yang tak disangka ternyata adalah seorang guru Bahasa Jerman. Lalu ia kembali mengekor rombongan peserta MOS menuju lantai satu. Mereka bising sekali. Ada yang membandingkan SMA dengan SMP, ada yang mencari kenal dengan teman baru, ada kumpulan teman lama yang ternyata masuk di sekolah yang sama, bahkan ada yang sudah berani melirik beberapa kakak kelas yang dianggap mereka pantas dijadikan sebagai pasangan.

Sesampainya di lantai satu, di sana ada ruang guru dan juga ruang kurikulum dan beberapa peserta MOS telah berhamburan di sana. Sambil menunduk gadis itu mengucap permisi lalu berjalan melewati para peserta MOS. Langkahnya pun lurus menuju ruang kurikulum. Di sanalah target keduanya berada. Seorang guru Kimia yang ternyata adalah wali kelas dari There, kakak sepupunya. Setelah mendapatkan tandatangan dari beberapa guru di ruang kurikulum, gadis itu akhirnya menyerah. Ia lelah berdesak-desakan dengan para peserta MOS. Memang benar mereka hanya dikasih waktu sedikit untuk meminta tandatangan dari seluruh guru yang ada di sekolah ini. Namun gadis itu memilih menyerah dan hendak berjalan menuju kantin, atau setidak-tidaknya mencari kak There.

Ia kembali harus berjalan menunduk serta mengucapkan permisi. Dan akhirnya ia berhasil keluar dari ruangan tersebut, sedangkan para peserta MOS lainnya masih berusaha untuk masuk. Ia pun melangkah dengan pelan.

"Boleh kuminta tandatanganmu?" Ucap sebuah suara yang seketika menghentikan langkah sang gadis. Ia mendongkak menatap tubuh yang sedang menghalangi jalannya itu. Takut kalau-kalau ternyata itu adalah seorang kakak kelas yang hendak mengusilinya.

Namun ternyata bukan.

Tepat di depan Ruang Komputer, gadis itu dibuat tersipu. Anak laki-laki itu tengah menatapnya dengan penuh senyum, sambil menyodorkan sebuah buku berukuran panjang, lengkap dengan sebuah pulpen berwarna hitam.

"Kamu?" Sang gadis tersenyum kecil. Ia tidak tahu harus melakukan apa setelah tatapan mereka saling beradu. Yang ia tahu anak laki-laki itu  ternyata cukup tinggi, dengan potongan rambut yang sedikit berubah, namun masih dengan senyum yang sama. Dan satu yang baru ia ketahui adalah, itu adalah kali pertama mereka berbicara secara langsung. Tidak melalui telepon, tidak juga melalui ejekan para sahabat mereka.

"Ya dia memang menatapku. Sepertinya ia senang sekali karena aku ternyata bersekolah di tempat yang sama dengannya. Tapi aku tidak memberikan tandatanganku. Aku mendorong tubuhnya menjauh. Tidak, lebih tepatnya aku mendorong dadanya." Sang gadis bercerita dengan penuh antusias padaku. Katanya ia bahkan sempat merasakan detak jantung anak laki-laki itu, yang berdegup cepat, diiringi rasa bahagia karna sang pematah hatinya berada dekat dengannya. Namun degup jantung itu perlahan melemah ketika sang gadis mendorongnya menjauh, lalu pergi meninggalkannya.

"Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya. Yang aku tahu setelah itu aku tidak lagi menoleh ke belakang dan langsung mencari kak There. Lebih tepatnya aku pergi menuju kantin. Dan di sana ada kak There yang telah berbaik hati memberikanku sebuah es krim." Aku tak tahu, Tuan, namun gadis kecilku ini memilih untuk mengalihkan pembicaraan saat aku hendak bertanya lanjut mengenai anak laki-laki itu. Namun aku yakin, ia pun pasti senang bisa berada di sekolah yang sama dengan anak laki-laki itu. Setidak-tidaknya, ada yang bisa sama-sama dikenang. Bukan begitu, Tuan?

Kota Ini, 5 Mei 2019

Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang