39 : Menjadi Antagonis

13 2 2
                                    

Dear Tuan Hujan,

Cerita ini hampir sampai pada saat paling membahagiakan sekaligus paling menyedihkan bagi sang gadis. Namun hingga sebelum waktu itu tiba, cerita ini masihlah mengenai anak laki-laki itu. Tuan, aku sempat berandai apa mungkin pernah terbesit di pikiranmu, sebentar saja memikirkan bagaimana rasanya menjadi seorang yang begitu berarti bagi orang lain? Bagaimana rasanya menjadi sepasang yang telah saling mengenal dalam kurun waktu yang tidak bisa dibilang sebentar,  seseorang di mana dengannya kau pernah hampir membuat lembaran baru yang bisa saja berujung bahagia. Aku masih bertanya, Tuan. Setidaknya hingga saat ini. Apakah mungkin segala hal itu pernah membuatmu merasa bahagia?

Hari itu cuaca sedang tidak baik-baik saja. Hujan menyongsong pagi dengan lambat, seolah waktu semestinya berhenti sejenak. Pun sang gadis yang seharusnya berteduh di pinggir jalan. Namun kita sama-sama tahu, waktu akan selalu berjalan dan takkan menunggu walau sedetik. Pun sang gadis yang memilih untuk menerobos rintik hujan, lalu berlarian kecil melewati halaman parkiran sekolah. Di sana tidak ada siapa-siapa. Bahkan tak seorang pun guru piket menyambut kedatangannya.

Kedua langkahnya mengarah menuju lantai dua, berjalan sambil menunduk melewati ruang kelas anak laki-laki itu, sebelum akhirnya ia menemukan ruang kelasnya yang berada di paling ujung. Kau tahu, Tuan, gadis itu selalu berjalan menunduk, menunduk, dan menunduk ketika melewati kelas itu. Bukan tanpa sebab, ia terlalu segan untuk menengok ke arah jendela. Mungkin pula karna ia tahu siapa yang ada dibaliknya dan siapa yang akan selalu mendebarkan jantungnya.

Namun Tuan, cuaca pagi itu memang tidak berjalan baik-baik saja. Bahkan juga dengan suasana hati sang gadis. Sebab untuk pertama kalinya sang gadis mendapatkan pembalasan dari anak laki-laki itu. Ia tidak lagi menyapa gadis itu seperti biasanya. Atau mungkin bagian terjelas yang harus kusampaikan adalah, anak laki-laki itu baru saja melewati sang gadis begitu saja. Ya, begitu saja. Mungkin sang gadis dapat melihatnya tersenyum. Namun Tuan, senyumannya tak lagi untuk sang gadis. Melainkan untuk gadis lain yang turut berjalan di sampingnya sembari menenteng beberapa belanjaan khas kantin seperti soda dan juga gorengan.

"Iya, aku melihat mereka. Mereka terlihat sangat akrab. Dan dia mengabaikanku." Gadis itu tersenyum dan sampai di sini perasaanku mencelus.

Namun aku belum mengutarakan sepatah kata pun.

"Gadis itu teman sekelasnya. Dan aku telah mengamati mereka selama beberapa minggu. Mereka..., cukup akrab. Aku selalu memperhatikan mereka dan dia tidak pernah menyadarinya. Dia juga tidak pernah lagi mengirimi pesan untukku. Dan..., dia tidak pernah membalas pesanku."

Tuan, aku tidak mengerti apa yang sesungguhnya diinginkan sang gadis. Aku kira dia tidak pernah menyukai anak laki-laki itu?

"Aku ingin sekali tahu, siapa gadis itu dan apa mungkin mereka lebih dari sekadar teman? Aku juga punya banyak pertanyaan untuknya, kenapa ia senang sekali mengabaikanku? Apa mungkin ini saatnya ia membalas dendam? Bukankah aku ini yang telah cukup lama mengenalnya, mengapa harus gadis itu yang ia pilih?"

Gadis itu terus bertanya padaku seolah aku tahu segalanya tentang anak laki-laki itu, seolah ia adalah korban dari apa yang telah terjadi, seolah anak laki-laki itu tidak seharusnya memperlakukannya seperti itu. Harus kuakui Tuan, sampai di sini, sang gadis telah bersikap cukup egois. Jika aku bisa menyebutkan semuanya sejak awal, sejak saat di mana ia bertemu dengan anak laki-laki itu, sesungguhnya ia telah mendapatkan segalanya, Tuan, segalanya. Mungkin anak laki-laki itu akan jauh lebih hidup bila bersama dengan sang gadis. Namun Tuan, bilamana hal itu terjadi, mungkin hanya dalam kepingan mimpi sang gadis. Karena berpuluh hari setelahnya, aku tak lagi mendengar sang gadis menceritakan keluhnya perihal anak laki-laki itu, tak lagi mendengar cerita sang gadis ketika melewati ruang kelas milik anak laki-laki itu, dan yang paling buruk daripada itu, tak ada lagi pagi yang menyapanya lewat sebuah suara. Anak laki-laki itu telah membuat keputusannya.

Lalu kau mungkin akan bertanya, apakah ia sempat menitikkan air matanya untuk sosok yang sering iapatahkan hatinya? Tidak, Tuan. Ia menahan air matanya sebisa mungkin. Bahkan ketika sang gadis dengan terpaksa harus memasuki ruang kelas itu demi mengumpulkan sebuah jam hias sebagai salah satu karyanya kepada guru Kewirausahaan. Namun Tuan, siapapun sudah pasti tahu, hati yang patah takkan mungkin bisa ditahan. Bahkan di saat paling menjengkelkan seperti itu, sang gadis masih sempat melihat anak laki-laki itu tersenyum padanya. Sebuah senyuman kecil, yang mungkin berarti salam pisah untuk penghuni lama yang takkan pernah bisa menjelma yang terkasih.

Kota Ini, 7 Mei 2019

Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang