61 : Kali Terakhir

11 0 0
                                    

Dear Tuan Hujan,

Aku sedang tidak bersama siapapun ketika menuliskan ini. Jika yang tengah mengganggu pikiranmu sekarang adalah sang gadis, maka Tuan, ia baik-baik saja. Ia hanya sedang bersembunyi dari kerlap-kerlip masa lalu yang kerap mengganggu tidurnya. Ah, Tuan, kurasa tak ada gunanya kuceritakan perihal gadis itu padamu. Nyatanya, kau mungkin takkan pernah membaca setiap tulisan ini sejauh yang telah kutuliskan. Begitu kira-kira prediksiku.

Namun Tuan, janji adalah janji. Seindah apapun suatu kenangan untuk diceritakan, tetap tidak ada artinya pabila yang ditemukan hanyalah untaian kata yang menggantug. Membiarkan sepasang mata berusaha mencari jalan keluar, bahkan bila nalar harus turut campur dalam mengandaikan: bilamana cerita ini 'kan berakhir.

Tuan, tidak lama lagi.

Aku tak ingat jelas kapan persis festival literasi itu berlangsung. Yang kuingat, itu adalah bulan kesepuluh pada tahun kedua putih abu-abu dan kenangannya yang menjadi pengajar mereka. Kau tahu, pengalaman dan pembelajaran. Hari itu, tanpa disangka, salah seorang penari yang berasal dari regu sang gadis sengaja tidak datang. Ia begitu sulit untuk ditemui. Perihal waktu itu, Tuan, serahkan padaku. Biarkan aku menceritakan semuanya secara detail, hingga bila mungkin ingatanmu tak mampu mencari tahu, kapan peristiwa tersebut pernah berlangsung.

Dalam ingatanku, festival tersebut berlangsung dari pagi hingga sore. Namun para partisipan yang boleh hadir dalam festival tersebut terbagi menjadi dua. Mulai pagi hingga tengah hari, kesempatan diberikan bagi seluruh siswa jurusan IPA. Sedang mulai tengah hari, tepatnya setelah waktu makan siang hingga sore, kesempatan diberikan bagi seluruh siswa jurusan IPS. Namun bukan itu masalahnya, Tuan. Masalah sebenarnya terletak pada sang gadis dan segala kecemasannya. Pagi harinya, ia sudah dibuat panik sebab ternyata mereka harus mengambil undi, kapan akan tampil dan kepada siapa. Tuan, siapapun tentu tidak (akan) terlalu menyukai segala sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Sejak pagi mereka memang sempat melakukan latihan satu kali lagi (kauboleh membantahku bila yang kukatakan ini keliru). Terkhusus hari itu, sang gadis sama sekali tidak menghiraukan anak laki-laki itu. Pikirannya hanya berpusat pada kecemasan serta berbagai tanya tidak penting yang hanya menjurus pada rasa pesimisnya saja. Beberapa kali ia mencoba untuk menghelaembuskan napasnya. Mencoba terlihat baik-baik saja dengan senyum yang dipaksakan. Para pelatih pun beberapa kali memberi semangat serta mengatakan bahwa, yang diperlukan sekarang hanya keberanian. Menari di tengah lapangan seolah tidak ada seorang pun yang mengerti tentang tari dan segala kerumitannya yang telah dijalani oleh mereka selama ini. Hanya, tampilkan yang terbaik, yang bisa kalian berikan. Sejenak kalimat itu membuat sang gadis tersenyum. Ia pun beberapa kali menenangkan dirinya sendiri saat melihat tarian-tarian yang ditampilkan di tengah lapangan sekolah. Ada banyak sekali orang. Banyak sekali, Tuan. Para guru pun turut mengabadikan momen tersebut lewat kamera. Tak ketinggalan, sorak-sorai dari siswa-siswi yang menyemangati teman-teman mereka yang sedang menampilkan tarian. Sungguh, Tuan. Kapan lagi momen itu akan terjadi? Setidak-tidaknya bagi mereka.

Tanpa terasa, sedikit demi sedikit rangkaian acara berhasil diselesaikan. Hingga akhirnya, sampai pula mereka pada momen di mana jurusan IPS yang akan menduduki tribun, dengan segala keunikan mereka. Beruntunglah sang gadis dan kelompok tarinya dikabarkan akan tampil sekitar pukul tiga sore. Akhirnya, mereka berkesempatan untuk memperbaiki detak jantung dan mungkin mengisi sedikit perut mereka yang telah kosong. Terkhusus acara siang itu, Tuan, orang tua siswa diperbolehkan untuk turut hadir. Kau tanya aku tentang kondisi ruang auditorium? Tenang saja. Ruangan itu seakan disewa khusus sebagai tempat untuk para penari, alat-alatnya (termasuk alat make up dan properti menari), serta kostum penari. Aku bahkan masih ingat dengan penampakkan sang gadis beserta rambut ikal yang dicepolnya. Saat itu ia mengenakan baju berwarna hijau tua, beserta cardigan berwarna merah. Sedang untuk bawahannya ia mengenakan celana jin berwarna biru tua yang iamiliki sejak masih kelas lima SD. Oh, ya, tak lupa sepasang sendal jepit berwarna ungu yang begitu disukainya. Tuan, aku yakin kau juga pasti pernah melihatnya saat itu. Walau penampilannya hampir menyerupai pohon natal yang kehilangan dekorasi.

Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang