Dear Tuan Hujan,
Dan sekiranya kali ini pagi adalah waktu yang kupilih untuk menceritakan semuanya secara pelan-pelan. Tidak perlu terburu-buru, bila pedih adalah hal yang sangat kuhindari. Sekiranya Festival Literasi itu adalah hal terakhir yang tidak benar-benar disadari oleh gadis kecilku. Iya, Tuan. Gadis kecilku tidak benar-benar menghargai hari itu. Bahwasannya setiap hari yang ada ini, tidak akan pernah sama persis kita lalui seperti hari sebelumnya.
Hari-hari setelahnya, adalah bungkam yang lambat laun mendekapnya, juga anak lelaki itu. Tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara mereka. Maksudku, bila hal itu berkaitan dengan bagaimana kelanjutan kisah mereka, maka Tuan, maka nihil yang menjadi tuaian mereka. Festival Literasi itu pada akhirnya hanya menjadi monumen yang belum tentu akan dikenang kembali oleh mereka. Dalam hal ini, aku sendiri meragu apa anak lelaki itu akan melakukannya. Walau begitu, kukira ada hal yang seharusnya disadari sang gadis. Perihal percakapan kecil yang pernah mewarnai harinya, tentang anak lelaki itu, anak tangga, dan ekspresi konyolnya ketika memelas. Lagipula, Tuan, bila yang hendak kautanya dariku adalah, apakah mereka setidaknya pernah memanfaatkan momen berharga itu untuk bercerita mengenai mereka, maka kau takkan pernah menemukan jawabannya dariku, Tuan.
Mereka tidak lebih dari sepasang yang telah mengubur mati segala kenangan yang pernah ada. Mungkin bukan karena lupa adalah apa yang mereka inginkan. Lebih kepada, waktu yang sejatinya akan dan terus berjalan ke depan. Dan masa lalu hanyalah penanda, mereka pernah ada di situ. Setidaknya, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Juga rasa yang tidak lagi meroket saat melihat senyumnya. Setidaknya Tuan, kurasa anak lelaki itu telah melupakan sang gadis dengan sangat baik.
Dan, aku masih berbicara mengenai tahun itu. Beberapa bulan setelah Festival Literasi itu. Lebih tepatnya pada akhir Desember. Di mana Natal sekolah akan dilakukan, dan wakasek kurikulum meminta para tim tari yang pernah mengisi acara pada Festival Literasi itu untuk kembali mengisi acara pada Natal sekolah nanti. Tuan, aku kira pada bagian ini kau kembali akan mempertanyakan, lalu di mana sebenarnya keberadaanmu, apa yang kaulakukan, mengapa setiap lembar ini hanya bercerita mengenai anak lelaki itu. Akan tetapi Tuan, tunggulah dahulu aku menyelesaikan bagian ini.
Penghujung Desember kala itu mungkin adalah satu-satunya momen di mana anak lelaki itu masih menyimpan sisa-sisa kehangatannya pada sang gadis. Pada waktu itu, setelah bertanya pada wakasek kesiswaan, ternyata guru Seni kami telah menyediakan tim tarinya sendiri. Dan itu berarti, tim tari pada Festival Literasi tidak diperlukan lagi. Khusus pada bagian ini, gadis kecilku sangat bersuka ketika mendengarnya. Iya, setidaknya ia tidak perlu menyesuaikan gerakan tubuhnya dalam menari. Namun Tuan, perlahan, tanpa iasadari, tahun itu adalah tahun terakhir ia bertemu dengan anak lelaki itu dan juga kehangatannya. Tuan, bila saja kaupernah merasakan bagaimana rasanya ditemani bungkam atas perhatian kecil yang selalu kauberi pada ia yang kausayang, kurasa kau pun tahu persis, bagaimana sedihnya menjadi satu-satunya pejuang dalam kisah sepasang.
Dan waktu itu, pagi hari adalah waktu yang dipilihnya untuk menimbang kembali, apakah ia akan pergi mengikuti Natal sekolah ataukah sebaliknya. Tuan, harus kukatakan gadis kecilku adalah si pemikir yang terlalu serius. Iya, hampir sama denganmu yang kini menjadi si penyuka waktu tengah malam.
Ralat. Waktu setelah tengah malam.
Sang gadis sempat menghubungi anak lelaki itu lewat pesan singkat. Dan bila aku tak salah ingat, sebelumnya, ia juga pernah memberitahukan anak lelaki itu perihal mereka yang tidak akan tampil di acara Natal sekolah: kabar baik!
Dan lagi, waktu itu percakapan sekecil apapun masih dapat terjadi di antara mereka. Walau hanya seputar tentang tim tari. Tidak benar-benar tentang mereka sendiri, atau salah satu di antara mereka yang mengirim pesan sekadar menanyakan kabar dan berbasa-basi. Tidak sama sekali. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk kembali mengirim pesan singkat pada si anak lelaki. Menanyakan apakah sebaiknya mereka menghadiri acara Natal sekolah itu ataukah sebaliknya.
Anak lelaki itu sempat menjawab pesannya. Hanya untuk meyakinkan sang gadis agar tidak perlu ke sana. Maka sampai di situlah percakapan mereka. Beberapa menit atau jam setelahnya, gadis kecilku akhirnya baru mengetahui bahwa anak lelaki itu sedang mengikuti festival tari, di mana ia dan regunya mengenakan baju berwarna putih hitam.
Tuan, akhir Desember kala itu akhirnya benar-benar berakhir menjadi sebuah kenangan. Dan bila kautanya aku tentang gadis itu, ia masih belum menyadari segalanya. Entah menyadari bahwa sebenarnya ada rasa yang selama ini ia pendam bagi anak lelaki itu, ataukah sang lelaki yang akhirnya berangsur kembali menjadi es balok. Namun Tuan, segalanya menjadi terbalik. Kali ini bukan lagi anak lelaki itu yang berjuang. Tetapi sang gadis dan perhatiannya yang kadang kurasa adalah salah satu bentuk di mana ia menginginkan kembali kisah yang telah mati itu.
Kota Ini, 19 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PoesiaDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...