Dear Tuan Hujan,
Rasa-rasanya bagian ini adalah bagian tersedih yang harus kuceritakan padamu perihal gadis kecil itu. Terhitung sejak aku mengenalnya dengan baik, ia mulai sering berbicara padaku perihal apapun. Apapun itu, walau bahan pembicaraannya selalu berputar pada pahlawannya saja.
Dan waktu itu, saat di mana ia akhirnya berhasil naik ke kelas lima dengan gelar peringkat satu. Suatu prestasi yang cukup membanggakan. Namun tak kusangka gundah gulana saat itu menyerangnya dengan sadis. Menusuknya tepat pada bagian yang benar-benar melemahkannya : hati kecilnya.
Gadis itu sempat berbicara padaku, juga bertanya bagaimana keadaan pahlawannya sekarang. Ia sempat mengutarakan khayalannya perihal pria heroik itu padaku. Membayangkan betapa bahagianya pria kecil itu sekarang, membayangkan senyum yang tak akan meredup dari wajahnya saat ia akhirnya resmi mengenakan seragam putih-biru, saat keberadaannya sebagai remaja pemula kini mulai diakui.
"Kakak itu selalu bermain pianika di depan pintu kelasnya. Aku masih ingat, lagu-lagu yang diamainkan pasti selalu sama." Ucap sang gadis, kala aku mengantarnya pulang ke rumah. Tak bisa dipungkiri, Tuan, Kurasa ia benar-benar jatuh atas perangai laki-laki kecil itu.
"Aku juga ingat, dia tidak terlalu suka memakai pakaian olahraga. Baju andalannya saat hari Jumat itu adalah baju kerah berwarna biru, dengan garis-garis bercorak biru, dan ada sebagian lagi berwarna kuning pastel. Dan yang paling aku ingat, Kakak itu sangat suka memakai sepatu bertali. Dia juga senang bergelantungan di depan pintu kelasnya. Sepertinya dia ingin cepat-cepat tinggi."
Aku tersenyum. Bahkan dengan hanya mengingatnya saja, sudah membuat gadis kecil itu merona.
"Oh, ada lagi! Kakak perempuannya sekelas dengan kakakku, sewaktu mereka SMP. Dan kakaknya itu benar-benar cantik!"
Seharusnya aku bisa ikut tersenyum. Namun senyumku perlahan memudar saat kami sampai tepat di depan rumah sang gadis kecil. Tidak ada apa-apa. Rumah tersebut memang kosong. Kata sang gadis, orang tuanya memang benar-benar sibuk. Lagipula gadis itu telah terbiasa tinggal sendiri sejak usianya enam tahun.
Lalu menurutmu apa yang membuat senyumku buyar?
Yakni, saat ia tiba-tiba menangis di depanku, lalu memelukku dengan erat. Kau tahu, Tuan, aku saat itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Setahuku, sejak kami dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, gadis itu hanya terus membicarakan tentang pahlawannya selain daripada kebahagiannya yang kembali mendapat peringkat satu setelah sebelumnya menduduki posisi kedua.
Aku mencoba menenangkannya. Namun tangisannya malah semakin menjadi-jadi. Ia mungkin tidak menangis seperti kebanyakan anak lainnya. Tangisannya cenderung berupa suara sesenggukkan, dan air mata yang tak hentinya membasahi kedua pipi bakpaonya.
"Maaf ... aku jadi cengeng begini ... kakak itu...."
Aku masih mencoba menerka sebab apalagi gadis kecil itu menangis seperti ini. Kau tahu, Tuan, alhasil, aku baru berhasil menenangkannya setelah tiga jam ia menangis di dalam pelukanku. Dan kautebak sendiri bagaimana dampak tangisan tiga jam itu terhadap kedua matanya.
Aku kembali mengutarakan pertanyaan yang sama, namun masih dengan nada yang lembut. Apa yang membuatmu harus menangisi laki-laki itu?
Maka di saat itulah aku akhirnya paham. Rupanya gadis itu telah mendengar kabar bahwa cinta pertamanya baru saja memiliki kekasih pertamanya. Aku mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana sakit yang dialami batinnya, jika gadis itu tidak pernah menjabarkannya padaku.
"Dia berpacaran dengan kakak itu, teman sekelasnya dulu. Orangnya cantik sekali, seperti bule. Tubuhnya juga bagus. Kakak itu termasuk sosok panutanku. Sebab ia sangat ceria dan tegar. Dia juga murah senyum. Dan ... kakak itu memilihnya."
Jujur, aku tidak benar-benar bisa memahami nalar seorang anak kecil yang baru saja patah hatinya. Ya, katakan saja ini masih terlalu dini untuk seorang anak kecil jatuh cinta. Pada usia sebelas tahun? Yang benar saja!
Namun Tuan, aku dapat merasakan kepedihan yang dirasakan gadis kecil itu. Dia benar-benar gadis yang sangat berbeda jika dibanding dengan siapapun. Aku merasa ada kecewa yang sangat dalam, yang harus dipendam gadis itu, terlepas dari perkataannya bahwa : hanya aku saja satu-satunya saksi hidup yang tahu perihal perasaannya terhadap laki-laki itu.
"Aku sudah tahu berita ini sejak kemarin. Dan itu membuatku sedih sekali," gadis itu kembali berkaca matanya, "Aku juga berteman dengan mereka di Facebook. Dan status Facebook mereka membuktikan segalanya."
Facebook? Ya, aku ingat tahun-tahun itu. Saat Zuckerberg berhasil menghipnosis semua orang di dunia dengan jejaring sosial yang cukup terkenal itu. Dan mengetahui bahwa gadis kecil itu, di usianya yang belum genap sepuluh tahun, sudah memiliki akun Facebook, rasanya lucu saja.
"Beruntung kemarin tidak ada orang di rumah. Jadi aku menangis selama berjam-jam di dalam lemari pakaian milik Ibu."
Tuan, menurutmu gadis itu mungkin terlalu cengeng dan payah perihal segalanya. Namun percayalah, sepuluh tahun kedepan, kau akan mengakui gadis itu sama seperti aku yang akhirnya terkesima padanya.
Lalu apalagi?
Mata gadis itu masih sembab dan bengkak. Namun kurasa hatinya sudah cukup ringan setelah selesai ialuapkan segalanya padaku. Namun hati yang sedang patah tentu tak bisa kuobati. Aku ini bukan dokter atau tabib. Sang gadis harus menemukan jalannya sendiri agar hatinya kembali pulih.
Namun satu yang kutahu, jalannya bukan dengan laki-laki itu, bukan dengan pahlawannya. Sampai di sini, kisah sang pahlawan harus berakhir.
Kota ini, 24 April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]
PoetryDatangku kali ini sedikit berbeda. Walau masih seputar aksara dan bagaimana kamu menilainya dalam nalarmu. Mungkin akan ada banyak persepsi mengenainya, kamu tahu setiap orang berhak menilai. Kamu pun tak perlu terlalu hanyut pada aksara yang kadang...