9 : Gadis Pemberani

27 5 0
                                    

Dear Tuan Hujan,

Beranjak dari tangis sang gadis perihal puisi pertamanya yang harus berakhir dalam tempat sampah, setelahnya ia malah bersikap sangat biasa. Bukan. Maksudku, ia malah bertingkah seolah ia telah mengikhlaskan buku itu dan lebih memilih menikmati hidup. Ah, kali ini aku berlebihan lagi!

Namun kurasa alasan terbesarnya adalah perihal pahlawannya. Ya, seperti aku yang saat ini mengingat momen di mana gadis itu membuat suatu revolusi terbaru, yang digunakan oleh seorang anak kelas empat SD.

Waktu itu, guru IPA sedang mengajar di kelasnya. Aku sendiri sedang duduk di depan pintu kelas sambil memandang ke dalam. Jujur, selama aku mengamati gadis itu, ia tak pernah suka duduk di depan. Ia cenderung duduk memojok di bagian tengah, atau bagian paling belakang. Walau kadang-kadang kulihat ia pun sempat duduk di bagian tengah.

Kembali, pada saat itu guru tersebut mengatakan pada kelasnya bahwa kelas enam beberapa bulan kedepan akan mengikuti Ujian Nasional. Kurasa waktu itu sang gadis belum terlalu was-was perihal mendengar istilah itu. Lalu sang guru mengatakan bahwa nanti kelas enam akan melakukan kegiatan belajar tambahan atau yang biasa disebut bimbel. Selain itu sang guru pun berkata bahwa khusus mata pelajaran IPA, jika ada yang ingin bergabung dengan kelas enam untuk belajar, silahkan saja. Kelas itu dibuka untuk siapapun. Hanya, khusus kelas IPA saja.

Dan kebetulan saat itu, jika aku tak salah ingat, memang sang gadis dan beberapa temannya tengah dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade sains dari salah satu majalah edukasi anak.

Kau tahu tidak bagaimana respon gadis itu?

Hanya dia satu-satunya yang melonjak kegirangan. Maka akhirnya, ia pun ikut di dalam kelas bimbel itu, bersama kelas enam, bersama pahlawannya.

Gila! Kau pasti mengira bahwa ia adalah satu-satunya siswi kelas empat yang mengikuti bimbel gratis dan menguntungkan itu. Namun ternyata, ia pun mengajak beberapa teman dekatnya.

Maka di sanalah gadis kecil pemberani itu. Duduk berbaur bersama kakak-kakak kelasnya. Meresapi pelajaran IPA yang disukainya, menulis beberapa catatan pada bukunya, sambil menahan laju jantungnya agar tidak berdetak semaunya saat ia sedang berkonsentrasi untuk belajar ... atau mungkin menahan diri agar tak tersenyum dengan sang pahlawan yang saat itu sempat melihatnya sambil tersenyum.

Ah, gadis itu benar-benar manis. Andai saja kau mengenalnya sejak dulu.

Aku masih punya satu cerita lagi. Ini pun termasuk cerita yang cukup singkat. Dan kau pasti takkan mempercayainya.

Hari itu kelas enam sedang melaksanakan ujian. Aku lupa jenis ujiannya. Namun yang jelas, saat itu hanya kelas enam saja yang berada di sekolah. Dan tentunya ada aku yang setia memantau kegiatan sekolah itu.

Dan hari itu, seharusnya sang gadis tidak berkeliaran di sekitar sekolah itu, Tuan.

Namun kau tahu, sekitar jam delapan pagi, gadis itu segera berlari menembus rasa kantuknya yang teramat dalam, melompati beberapa anak tangga, demi untuk masuk ke dalam ruang kelasnya. Kurasa saat itu ia sedang berdoa tak kunjung amin agar semoga keterlambatannya dapat dimaklumi para guru.

Dan kurasa saat itu sang gadis memang terlalu menikmati mimpinya bersama pahlawannya atau memang dia tidak mengetahui bahwa hari itu adalah hari libur bagi murid kelas empat sepertinya. Dan sontak saja gadis itu masuk ke dalam ruang kelasnya, yang iakira berisi teman-teman sebayanya.

Namun di sana, kakak-kakak kelasnya sedang sibuk dan khusyuk mengerjakan lembaran soal ujian. Dan tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk.

"Selamat pagi...." gadis itu terengah-rengah sambil menjinjing tas sekolahnya yang entah mengapa terlihat seperti ia hendak pergi mendaki.

Dan guru yang saat itu mengawasi jalannya ujian segera menghampirinya.

"Kamu mau apa?"

"Maaf Bu, saya terlambat. Saya mau belajar, Ibu." Jawabnya teramat polos.

Sejenak, anak-anak kelas enam saling pandang, sekaligus bingung dengan kehadiran gadis itu. Beruntung pengawas tersebut baik hati. Beliau mengatakan bahwa minggu ini semua kelas diliburkan sebab kelas enam sedang menghadapi ujian.

Tuan, kedua pipi bakpao gadis itu bersemu merah. Ia kemudian menggumamkan maaf, sesaat sebelum ia mendengar gelak tawa yang pecah dari kakak-kakak kelasnya. Dan senyum prihatin dari pahlawannya juga teguran diam dari sang pengawas kepada kelas mereka.

Kurasa bila sekarang aku mengungkitnya lagi, gadis itu akan menenggelamkan mukanya di dalam bantal. Namun tetap, bagiku ia gadis pemberani ... atau mungkin terlalu polos.

Kota ini, 22 April 2019

Aksara untuk Tuan Hujan [ T.A.M.A.T ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang