"Simpan saja parfurm-nya."
Kalani tidak berani mengelak dalam kondisi ini. Ia menggenggam erat parfurm tersebut dalam jemarinya. "Jim, kau akan masuk, kan?"
"Mungkin tidak."
"Kau bilang ingin makan malam dengan keluargaku, kalau kau sangat marah padaku sekarang, aku bisa mengurung diri di kamar."
"Lalu kau tidak makan, begitu? Apa kau berusaha membuatku lebih marah?"
Jimi membuka sabuk pengamannya. "Baiklah, ayo masuk. Bunda akan bingung bila kau datang sendirian."Kalani bersyukur Jimi memutuskan untuk ikut masuk. Ia tahu kekasihnya sangat marah. Ia sangat tidak suka bila dibohongi. Dia lebih tidak suka lagi bila mengingkari janji. Tentu saja hal yang sama juga dirasakan oleh Kalani. Tidak ada yang salah bila pasangan menginginkan kejujuran. Karenanya Kalani tidak ingin membela dirinya.
"Akhirnya kalian datang," sambut Bunda.
Bunda telah menyaksikan hubungan kedua anak muda di depannya untu, waktu yang lama, ia langsung tahu keduanya sedang ada masalah. Tanpa basa-basi bunda mengajak ayah dan Kinan untuk bergabung di meja makan bersama mereka. Suasana makan malam hening karena mereka merasakan aura dingin dari Kalani dan Jimi.
"Kalani pasti berulah. Dia membuatmu kesal, kak?" celetuk Kinan.
Kalani cemberut. "Aku kakakmu! Kau benar-benar tidak sopan."
"Kinan, kau harus memanggil kakak untuk Kalani," tegur ayah.
"Kami hanya sedikit selisih paham, tak apa-apa," jawab Jimi. Salah satu yang Kalani sukai tentangnya. Jimi tidak pernah membawa permasalahan hubungan mereka pada keluarganya.
"Kalian sebentar lagi menikah, jangan sering-sering bertengkar. Kalani dengarkan kata-kata calon suamimu," bunda membuka suara.
Jimi menatap Kalani dan tersenyum kecil. Kalani tahu maksudnya adalah kata-kata bunda benar.
"Ayah, bunda, sebenarnya aku datang karena ingin menanyakan waktu yang tepat untuk acara lamaran dan pertunangan. Aku dan Kalani memang memutuskan menikah bulan Juli, tapi eyang meminta pertunangan dilakukan secepatnya. Apakah tidak masalah?"
"Tentu saja, bukan kah lebih baik bila dilakukan secepatnya, benarkan yah?"
"Eyangmu sendiri menginginkan kapan waktunya?"
"Tanggal 28 adalah ulang tahun perusahaan, eyang menginginkannya saat itu."
Kalani tersentak. Ulang tahun perusahaan berarti akan ada banyak sekali orang. "Bukan kah itu akan menjadi konsumsi publik?"
"Pernikahan kita tidak mungkin disembunyikan lagi, Kalani. Saat kau menjadi istriku, semua media akan tahu."
Ayah berdeham. "Ayah dan bunda tidak keberatan pada tanggal berapa pun yang dipilih. Kami percayakan pada kalian berdua."
Kalani merasa sifatnya begitu mirip dengan ayahnya. Begitu santai meskipun bukan berarti tidak bertanggung jawab. Ayah selalu percaya padanya sejak dahulu. Rasanya begitu bebas, tapi bebas itu sendiri memiliki pembatas tak kasat mata.
Setelah makan malam, Kalani pergi mandi, bunda menonton televisi, Kinin bermain komputer di kamarnya, ayah dan Jimi bermain catur di teras rumah. Kalani merasa lebih lega setelah benar-benar lepas dari bau asap rokok di tubuhnya. Ia mengenakan piyama berwarna merah muda. Setelah segar, ia siap bicara pada Jimi."Ayah, aku ingin bicara pada Jimi," pinta Kalani pada ayahnya yang asyik bermain dengan kekasihnya.
Ayah segera berdiri dan masuk ke dalam rumah. Kalani duduk di kuris bekas ayahnya. Ia memperhatikan Jimi yang tampak lelah. Kemeja biru malamnya terbuka dua kancing di atas dengan lengan tergulung, jas serta dasinya telah ia lepaskan dan tersampir di gantungan balik pintu.
"Kau pasti sangat lelah."
"Ya, aku lelah menghadapi kekasihku yang tidak mendengarkanki hari ini."
"Aku tahu, maafkan aku."
"Baiklah, tidak usah dibahas. Kuharap kau mengerti betapa aku benci kau pergi ke tempat itu, terutama bila aku tak ada di sekitarmu."
Kalani menganggukkan kepalanya. "Ya, maafkan aku."
"Aku memaafkanmu. Sekarang, mari kita bahas soal pertunangan. Aku memang seharusnya membahasnya denganmu lebih dahulu, tapi aku tadi terlalu marah untuk mengajakmu bicara."
"Aku mengerti. Jim, sebenarnya aku ingin hubungan kita tetap dirahasiakan sampai tiba waktu pernikahan."
Jimi menangkupkan kedua tangannya dan bertumpu pada lutut. "Kenapa?"
"Aku tahu tidak mungkin merahasiakan lagi, hanya saja aku ingin memiliki waktu hingga pernikahan kita tiba."
"Kau merasa tertekan karena menikah denganku?"
"Apa? Tentu saja tidak!" Kalani menarik tangan Jimi dan menggenggamnya. "Aku tidak suka bila ada yang mengikutiku kemana pun aku pergi."
"Bodyguard maksudmu? Aku akan berusaha agar kau merasa tidak diikuti kemana pun, aku bisa melakukannya."
"Sama saja, Jim," katanya. Ia lalu menyipitkan mata. "Jangan bilang kalau kau telah melakukannya dari sekarang."
"Aku tidak melakukan yang kau larang, kau yang mengabaikan ucapanku."
Ketegangan kembali lagi. Jimi kembali kesal, sepertinya ia mengingat kejadian tadi lagi. Kalani menarik napas, berusaha menahan dirinya sendiri. Bila pembicaraan berlanjut, kemungkinan mereka akan berakhir pada pertengkaran hebat."Baik lah, aku mengalah. Kita akan bertunangan ketika ulang tahun perusahaan. Hanya saja apa aku boleh meminta beberapa hal?"
"Apa?"
"Bisa kah itu dilakukan tetap secara privasi? Tanpa media?"
Jimi menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Ada lagi?"
"Bisa kah kita melakukannya dengan pesta topeng?"
Kali ini mengerutkan keningnya. "Topeng? Bukan kah ini sama saja? Kau masih tidak ingin mempublikasikan hubungan kita, bukan?"
"Kita akan melakukannya ketika menikah. Aku benar-benar tidak ingin diawasi bodyguard kemana pun aku pergi, setidaknya sampai sebelum menikah."
"Kau akan diawasi bodyguard setelah pertunangan dari jarak jauh. Kau tidak akan tahu kalau mereka ada. Kalau kau menerima persyaratanku juga, aku akan menerima persyaratanmu. Meskipun privasi dan mengenakan topeng, aku mencegah ada orang yang tetap mengenalimu."
Kalani menarik napas dan menghembuskannya. "Baik lah. Take and give, bukan?"
"Bagus, kita akhirnya mendapat kesepakatan."
"Aku akan bilang pada ayah dan bunda."
Jimi menganggukkan kepalanya. "Aku juga akan bilang pada eyang," katanya. Dia lalu melirik jam di tangannya. "Sudah malam, pamitkan aku pada ayah dan bunda."
Jimi mengambil jas dan dasinya yang teragntung di balik pintu, sebelum ia beranjak Kalani bergerak menghamburkan pelukannya. Jimi tersenyum kecil dan mengelus rambutnya lembut. Kalani selalu bersikap seperti ini ketika mereka bertengkar."Aku tidak suka bertengkar denganmu," bisik Kalani.
"Aku juga. Maaf kalau terlalu kekanakan malam ini."
"Tidak, kita bertengkar karena salahku."
Jimi mengecup puncak kepala Kalani selama beberapa saat. "Aku pulang sekarang," katanya sembari melonggarkan pelukan. "Mobilmu masih di kantor, bukan? Besok pagi aku akan menjemputmu sebelum ke kantor. Besok urusanku di mulai agak siang."
Kalani menganggukkan kepalanya. "Baik lah, hati-hati di jalan. Hubungi aku bila tiba di rumah."

YOU ARE READING
XAVIERS - BTS Fanfiction
RomanceCast Jimi Xavier - Jimin BTS Binar Xavier - SUGA BTS Rayi Xavier - RM BTS Zeno Xavier - Jungkook BTS Dean Xavier - J-Hope BTS Erlangga Xavier - Jin BTS Langit Xavier - V BTS Xavier Universe, dimana 7 orang rupawan hidup dan dalam pencarian menemuka...