Jimi merasa pusing secara tiba-tiba. Ia memang belum makan sejak kemarin. Pekerjaannya menumpuk dengan adanya anak perusahaan baru. Ditambah Kalani yang akhir-akhir ini lebih emosional dari biasanya membuat dirinya tak bisa tidur. Ia mungkin hanya tidur satu jam setiap hari. Jimi melonggarkan dasinya agar tidak merasa lebih tercekik.
"Demi Tuhan, aku tidak memberikannya cincin. Dia mungkin bertemu pria lain setelahnya yang memberikan cincin itu. Aku tidak selingkuh, apa kau tidak percaya padaku?" katanya sambil memijit-mijit kepalanya yang sakit.
"Kemarikan ponselmu."
"Kau mau memeriksa ponselku?"
"Ya, aku ingin memeriksa ponselmu."
Jimi mengambil napas dalam. "Kalani, meskipun memeriksa ponselku kau tidak akan mendapat apa-apa. Aku benar-benar tidak selingkuh, sayang. Kurasa sebaiknya kau menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tidak suka tatapanmu padaku. Kita akan bicara saat kau lebih tenang, oke?"
"Kalau tidak ada apa-apa bukan kah akan menjadi lebih mudah, Jim?"
"Kalani, aku benar-benar pusing sekarang. Tolong mengerti sedikit. Kita akan bicara saat kau lebih tenang."
Kalani akhirnya berdiri. "Baiklah, terserahmu."
***
"Apa kau tidak akan berhenti menatapku seperti itu?" tanya Jimi ketika ia datang ke rumah pada malam harinya. Ia pikir Kalani sudah bisa berpikir lebih normal. Tetapi, yang ia lihat justru lebih parah. Kali ini matanya terlihat bengkak sehabis menangis dan hidungnya kemerahan. Ia lebih tidak suka lagi melihat Kalani menangis, terutama bila alasannya karena dirinya. "Ayo cari tempat yang lebih baik untuk bicara."
Sudah dua kali dalam seminggu mereka bertengkar dan itu bukan lah sesuatu yang ingin Jimi perlihatkan pada keluarga Kalani. Ia tahu pertengkaran malam ini akan lebih besar dari biasanya. Kalani tidak pernah cemburu sebelumnya, karena dirinya memang tidak pernah dekat dengan wanita mana pun selain Kalani. Ia hanya memandang Kalani seorang.
"Tidak, aku tidak ingin pergi denganmu."
"Baiklah. Apa kau ingin melihat ponselku agar kau percaya?" Jimi mengambil ponsel yang ada di saku celanana.
"Kau mungkin sudah menghapusnya setelah aku pulang tadi siang."
"Astaga, Kalani! Aku juga cemburu saat kau bertukar pesan dengan Langit, tapi aku tak pernah berusaha memeriksa ponselmu. Aku dan Queisha sama seperti kau dan Langit. Rekan kerja yang kebetulan kenal. Begitu saja."
"Jangan bawa-bawa Langit sekarang! Aku tidak pernah makan malam dengan Langit."
"Baiklah, lalu apa yang kau inginkan sekarang? Aku bisa apa untuk membuatmu percaya?"
Kalani kembali mengeluarkan air mata. Sejak ia menyetir mobilnya pulang dari kantor Jimi, ia tak berhenti menangis. Ia teringat kembali ketakutannya ketika malam pertunangannya. Ia juga teringat bagaimana dulu Jimi dan Queisha dekat sebelum Jimi menyatakan perasaannya. Ia bahkan sekarang tak berani menghubungi Queisha. Ia ingin Jimi memberikan penjelasan padanya terlebih dahulu sebelum ia menghubungi Queisha.
"Hei, hei, jangan menangis," bisik Jimi sembari menghapus air mata dengan tangannya. "Sungguh apa yang bisa kulakukan?"
Dengan terisak-isak Kalani menjawab, "Bisakah kau tidak bertemu dengannya lagi?"
Jimi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Permintaan Kalani sebenarnya mudah, tapi tidak untuk sekarang. "Aku tidak yakin. Kami mungkin tidak akan bertemu lagi setelah pembangunan selesai.""Baik lah, aku tahu hal itu mustahil. Aku tak tahu apa yang kuinginkan sekarang, Jim. Mungkin kau benar, aku perlu waktu berpikir."
"Baik lah, aku akan memberimu waktu."
***
Namun, semenjak hari itu tetap tidak ada jalan keluar. Jimi bilang kesalah pahaman tersebut telah diselesaikan asistennya, pada kenyataannya tidak ada yang berubah. Semua media justru semakin ramai membicarakan sosok tunangan yang bukan dirinya tersebut. Justru semakin bertambah parah karena bukan hanya sekali foto mereka berdua terungkap. Ada satu foto lagi ketika Jimi membukakan pintu mobil untuk Queisha, lalu foto ketika mereka bermain golf bersama, ditambah beberapa foto-foto yang dipasang Queisha seakan-akan membenarkan hubungan mereka.
"Eyang sedang ke rumah, apa kau akan ikut makan malam?" tanya Langit ketika mereka bertemu di depan kantor.
Kalani menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya tenaga untuk berpura-pura di depan eyang."
"Kau akan pulang naik apa? Kemana mobilmu?"
"Aku sedang sangat muak dengan Jimi. Aku tidak ingin menggunakan benda-benda yang mengingatkanku padanya," jawab Kalani. "Aku akan naik bis saja."
Langit menggandeng tangannya. Membawanya menuju mobilnya. "Tidak usah, Langit. Sebelum punya mobil aku sudah biasa naik bis. Kau harus segera pulang, kasian eyang menunggu," tolaknya.
"Eyang pasti akan langsung tahu ada masalah dengan kalian karena kau tak datang. Jimi juga selalu uring-uringan akhir-akhir ini. Ia akan mendapat masalah begitu eyang tahu, jadi tenanglah. Eyang yang akan membalaskan kemarahanmu."
Langit mengantarnya pulang hingga depan rumah. Ia segera mandi dengan air hangat, tak lupa untuk keramas. Kedua orang tuanya tahu ada yang salah dengannya, tapi Kalani bersikap sangat dingin hingga ayah dan bunda ragu untuk bertanya. Ia bahkan melewatkan makan malamnya.
Sebuah pesan masuk ketika ia membaringkan tubuhnya di kasur. Jimi. Aku tahu kau tidak menggunakan mobilmu dan pulang diantar oleh Langit. Apa kau tidak bisa berhenti marah padaku? Kuharap hubungan kita lebih baik besok hari. Aku benar-benar lelah bertengkar denganmu.
Aku juga lelah, Jim, batin Kalani sebelum ia menutup matanya.
***
Jimi mengetuk jemarinya di meja beberapa kali. "Apakah aku harus pergi?" tanyanya pada asistennya.
"Direktur Queisha akan pergi sehingga pembahasan pembangunan akan tertunda bila Anda tidak pergi. Selain itu, ada banyak tamu penting yang akan datang, tapi tentu Anda bisa mengirimkan salah satu sepupu Anda."
Jimi menarik napas. "Tidak, aku akan pergi. Tolong persiapkan semuanya."
"Baik, pak. Saya permisi."
Begitu asistennya keluar Jimi lagi-lagi menarik napas berat. Ia mengeluarkan ponselnya, menimbang apakah harus memberi tahukan Kalani tentang kepergiannya. Hubungannya dengan Kalani belum membaik dan sekarang ia harus pergi selama tiga hari.
Ia mengangkat ponselnya. "Langit, kau bisa membantuku?" tanyanya begitu panggilannya tersambung.
"Kalani sedang rapat."
"Aku tidak sedang mencari Kalani."
"Jadi apa maumu?"
"Ada urusan kantor di Bali selama tiga hari, kurasa aku tidak bisa memberi tahu Kalani."
Di seberang sana Langit mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
"Karena aku akan pergi dengan Queisha, ada beberapa hal yang harus kubahas dengannya sementara ia akan pergi ke pembukaan hotel di Bali, jadi aku juga akan ke sana. Kalani akan marah bila aku memberitahunya."
Langit menghembuskan napas. "Lalu apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Buat dia sibuk, oke? Meskipun kemungkinan kecil dia akan datang ke rumah dan mencariku, tapi aku hanya berjaga-jaga."
"Sebaiknya kau tidak membuatnya semakin salah paham."
"Aku sedang berusaha membuatnya semakin tidak salah paham."
"Dengan berbohong? Tapi, terserahmu, aku hanya mengingatkan. Baiklah, kututup sekarang."
Terdengar ketukan di pintunya. "Mobil Anda sudah siap, Pak Jimi."

YOU ARE READING
XAVIERS - BTS Fanfiction
RomanceCast Jimi Xavier - Jimin BTS Binar Xavier - SUGA BTS Rayi Xavier - RM BTS Zeno Xavier - Jungkook BTS Dean Xavier - J-Hope BTS Erlangga Xavier - Jin BTS Langit Xavier - V BTS Xavier Universe, dimana 7 orang rupawan hidup dan dalam pencarian menemuka...