SAJAK DARI LANGIT - PART 28

413 57 3
                                    

"Kemana kita harus membawanya?" tanya Rayi melirik dari kaca spion. Jimi dan Kalani duduk di belakang.

"Rumah. Aku tak mau orang tuanya khawatir."

"Jimi, kau tampan sekali, ya?" racau Kalani. Ia memegangi wajah Jimi. "Aku beruntung, bukan? Kau membiarkanku menyentuh wajahmu."

"Aku akan senang kau mengatakannya kalau kau tidak sedang mabuk, sayang," balas Jimi membuat Rayi terkekeh geli.

Kalani mendekatkan diri lebih rapat. Ia memeluk Jimi erat. Lebih agresif dibanding Kalani yang biasanya, membuat Jimi terkejut.

"Kau menikmatinya, hah?" gurau Rayi.

"Tentu saja tidak, bodoh."

Tak berapa lama tiba-tiba Kalani mendorong tubuhnya. Dia berteriak untuk berhenti. Dia sepertinya ingin muntah. Rayi segera meminggirkan mobilnya. Sayangnya belum sempat Kalani keluar dari mobil, sebagian muntahnya lebih dulu keluar dari mulutnya. Mengotori jok belakang mobil mewah Jimi seharga miliaran rupiah.

Kalani segera berlari menjauh dari mobil. Ia memuntahkan semua isi perutnya padahal ia belum juga makan malam. Rasanya tubuhnya lemas dan kakinya bergetar. Ada sedikit kesadarannya yang membuatnya ingin lari menjauh, dia tidak ingin Jimi melihatnya dalam kondisi buruk ini.

Kalani berusaha menutupi muntahannya. "Tolong jangan lihat aku."

"Sayang, tidak papa. Aku akan membantumu. Kau mabuk sekali sekarang."

"Ini menjijikkan," ucap Kalani.

Rayi keluar dari mobil membawa sebotol air mineral. "Kalau orangnya bukan kau, Jimi pasti mengumpat karena mobil kesayangannya dikotori."

"Jimi, maafkan aku," Kalani mulai terisak.

Jimi menatap Rayi tajam karena membuat Kalani menangis. "Jangan dengarkan Rayi, sweetheart," katanya. Ia menepuk-nupak pundak Kalani. "Lebih lega?" tanyanya setelah Kalani kembali berdiri tegak.

"Yeah," jawabnya. Tapi beberapa saat kemudian tiba-tiba ia tumbang, Jimi segera menangkapnya.

***

Kalani terbangun di pagi hari dan menyadari nuansa aneh dari biasanya. Kasur yang ia tiduri sangat empuk. Selimut tebal menyelimuti tubuhnya. Pelan-pelan ia membuka matanya, kepalanya terasa seperti ada seribu ton batu menghantam. Ia melihat kasur luas yang pasti bukan tempat biasanya ia tidur. Kamarnya pun begitu, sangat luas dan dipenuhi nuansa abu-abu. Butuh beberapa waktu saat untuk sadar kalau ia sedang berada di kamar Jimi!

Kalani tidak lagi mengenakan pakaian kemarin yang ia kenakan. Sebuah piyama berwarna biru muda sebagai gantinya. Kamar tersebut terang karena cahaya matahari dibiarkan masuk melalui jendela kamar. Pendingin ruangan membuatnya masih merasakan dingin yang sejuk meskipun matahari bersinar terang.

Kalani dengan spontan menutupi tubuhnya dengan selimut saat seseorang masuk ke dalam kamar. Seorang pelayan perempuan masuk ke dalam kamar sambil tersenyum. "Anda sudah bangun," katanya.

"Kenapa aku di sini?" tanya Kalani masih belum bisa mencerna seutuhnya alasan ia ada di kamar Jimi dan mengenakan piyama. Hal terakhir yang ia ingat datang ke rumah Queisha, tapi tak bisa mengingat seutuhnya apa yang ia lakukan di sana.

"Tuan Jimi membawa Anda tadi malam dengan kondisi mabuk. Ia meminta saya menggantikan pakaian Anda karena terkena muntahan."

"Aku tidur di sini semalaman?" tanya Kalani terkejut. Dia lalu mulai mengingat apa yang terjadi. Ucapan-ucapan Queisha yang menyakitkan juga muncul dalam benaknya. "Dimana Jimi sekarang?"

"Tuan Jimi dan yang lain sedang ke kantor. Apakah Anda ingin mandi? Perlengkapan Anda telah disiapkan di kamar mandi. Saya telah membuat sarapan yang bisa meredakan mabuk Anda, setelah mandi Anda bisa turun untuk menyantapnya."

Kalani mengikuti saran pelayan tersebut. Di kamar mandi, dalam sebuah tas kertas, ada pakaian baru beserta pakaian dalamnya. Selain itu, bahkan semua perlengkapan mandi yang biasa Kalani pakai juga ada di sana. Termasuk parfurm yang sama pernah diberikan Jimi padanya.

Kalani mandi air hangat untuk membantu kesadarannya kembali sepenuhnya. Setelah mandi, ia merasa lebih segar. Ia turun ke ruang makan. Di meja makan telah ada semangkuk sup bubur dan segelas teh hangat. Pelayan yang melayaninya mempersilkahkannya untuk makan. Kalani merasa jauh lebih baik setelah makan. Ia baru sadar kemarin tidak makan dan terlebih setelah itu muntah.

Tunggu! Muntah? Menjijikkan, dia mempertontonkan bagian paling menjijikkan dirinya pada Jimi. Rasanya ia ingin bersembunyi saja seumur hidupnya.

"Aku ingin pulang," kata Kalani pada pelayan.

"Tuan Jimi bilang Anda harus menunggunya pulang."

Kalani merasa dia belum siap untuk bertemu Jimi. Ia sangat malu dan sedih di saat bersamaan. Malu karena telah membuat Jimi kesusahan mengurusnya dan sedih karena memutuskan Jimi akibat kecemburuannya yang berlebihan tanpa mendengarkannya. Sebagian dirinya juga membenarkan pertanyaan Queisha kemarin, apakah dia benar-benar pantas menjadi pasangan Jimi? Bukan soal kasta, melainkan apa yang sudah ia lakukan pada Jimi. Memutuskan hubungan, meninggalkannya, hampir berpaling darinya, tapi Jimi tetap menunggunya.

"Aku ingin pulang," ulangnya pelan. Tak tahu sebabnya, tapi ia merasa gerah bila berada di rumah ini sendirian.

"Baiklah, saya akan meminta supir untuk mengantar Anda."

Kalani membiarkan pelayan tersebut berlalu. Tak lama ia sudah berada di salah satu mobil keluarga Xavier. Ia memandang langit yang hari ini sangat cerah. Beberapa menit lalu ia menghubungi Dinda, katanya Langit telah lebih dulu memberitahunya alasan ia tak bisa masuk kerja. Orang tuanya juga tidak mencarinya, berarti Jimi telah lebih dulu mengabari dan mungkin sedikit berbohong agar tidak khawatir.

Ponsel kalani berbunyi. Sebuah pesan masuk. Kenapa kau pergi? Apa kau sudah baikan? Pesan dari Jimi. Kalani memandangi ponselnya dengan kebingungan. Dia merasa tak benar untuk pulang, tapi di saat yang sama keraguan lagi-lagi muncul di benaknya. Tak lama ponselnya kembali berbunyi, Jimi menelponnya karena ia tak kunjung membalas. Tangannya membeku. Ia hanya menatap ponselnya lagi tanpa menjawab sampai dering ponselnya berhenti.

Tolong hubungi aku jika kau melihat ponselmu, aku benar-benar khawatir. Khawatir? Tentu saja Jimi khawatir padanya. Apa yang ia lakukan? Jimi telah lama menunggu dan ia masih berkutat dengan keraguan. Kalani menyadarinya, semakin lama ia membuat Jimi menunggu, semakin ia tidak pantas untuk Jimi. Dia harus menemuinya sekarang. Ia tak peduli dengan kejadian yang menjijikkan kemarin, dia hanya harus bertemu dengan Jimi.

"Pak, tolong ke kantor Tuan Jimi."

Ketika tiba di kantor Jimi, Kalani baru teringat kartu agar bisa masuk ke kantor ia letakkan di mobilnya saat ia dulu mengembalikan barang-barang pemberian Jimi. Meskipun resepsionis yang menerimanya adalah orang yang sama, tapi mereka tidak mengizinkan Kalani masuk tanpa kartu tersebut. Begitulah aturan di kantor katanya. Tak heran karena kantor Xavier Group bukan lah kantor biasa.

Kalani mencari ponselnya dan menghubungi nomor Jimi. Tak butuh waktu lama sampai teleponnya diangkat. "Jimi, aku di lobby kantor."

"Apa?" tanya Jimi. Sepertinya masih berusaha mencerna karena Kalani tiba-tiba menghubunginya.

" Aku tak bisa masuk, aku tak punya kartu."

Cepat-cepat ia menyadarkan diri kembali. "Tunggu, aku akan menjemputmu."

Di lantai 40, Jimi yang tadinya sibuk berkutat dengan pekerjaannya segera turun. Ia tak berpikir untuk menghubungi asistennya agar Kalani bisa masuk ke kantornya, lagipula mungkin ia tak akan sabar menunggu. Dia ingin menemui Kalani segera. Bahkan dia tak sabar menunggu ketika berada di dalam lift.

Kalani berlari ke arahnya saat Jimi mendatanginya di lobby. Ia memeluk Jimi erat sekali, sampai Jimi hampir terhuyung karenanya. Mereka berdua tiba-tiba menjadi bahan tontonan para pegawai yang kebetulan ada di sana. Kalani tidak peduli, ia hanya ingin memeluk Jimi. Ia merasa sangat merindukannya sekarang.

XAVIERS - BTS FanfictionWhere stories live. Discover now