SAJAK DARI LANGIT - PART 13

513 93 17
                                    

Jimi terdiam. 

"Tidak ada pembelaan? Kau tidak ingin menjelaskan padaku kemana saja kau dalam tiga hari?" tanya Kalani ketika ia tak mendengar Jimi bersuara.

"Aku terlalu lelah untuk bisa bertengkar denganmu," jawab Jimi jujur. Ia tahu menjelaskan tidak ada gunanya sekarang. Kalani tidak percaya padanya.

"Jadi aku harus menunggu berapa lama sampai kau tidak lelah?"

"Apakah ada gunanya bila aku menjelaskan padamu?"

Kali ini Kalani yang terdiam.

"Benar, kan? Tidak ada gunanya. Aku lelah dengan permasalahan ini, sweetheart. Aku sudah pernah menjelaskan, tapi kau tidak percaya. Aku benar-benar lelah sekarang, tidurlah. Selamat malam."

Jimi tanpa basa-basi memutuskan panggilan mereka. Kalani menatap layar ponselnya yang kini menampakkan layar hitam. Kalani menelungkupkan tubuhnya di kasur. Menutup wajahnya dengan bantal. Berusaha keras agar tidak menangis lagi, tapi ia gagal.

***

Jimi menghubungi Kalani dengan perasaan cemas. Setiap hari ia berharap hari-hari kemarin hanya mimpi buruk dan ia akan terbangun lalu bertemu dengan Kalani yang seperti biasanya. Jimi tak mengerti mengapa Kalani tidak bisa percaya padanya. Bahkan mendengarkan sedikit pun tidak. Ia terus marah tanpa alasan yang jelas dan menerjangnya dengan pertanyaan aneh. Terlebih ia terlalu lelah bekerja untuk bisa bertengkar dengan Kalani, karenanya sering kali ia lebih baik mengakhiri saja daripada memperparah.

"Halo," sahut suara serak di seberang sana.

"Kau menangis lagi?"

"Apa pedulimu?"

Tentu saja Jimi peduli. Dadanya bahkan terasa sesak seakan-akan dia yang sedang menangis. "Nanti malam aku berharap kau benar-benar datang, kau tahu sekarang hari spesialku."

"Ya, selamat ulang tahun, Jim."

"Supir akan menjemputmu nanti malam. Kita benar-benar akan bicara nanti malam setelah acara ini selesai. Kita berdua akan gila sebelum hari pernikahan bila terus seperti ini."

Kalani terdiam. Hari pernikahan. Ia bahkan sudah hampir terlupa kalau ia akan menikah dengan laki-laki yang membuatnya menangis setiap malam. Beberapa hari lalu Wina memberinya pesan bahwa segala persiapan telah selesai, hanya tinggal menunggu tanggalnya. Ia tidak memberikan respon karena tidak bersemangat melakukannya.

"Baiklah."

***

Jimi menutup ponselnya dan menghela napas panjang. Rasanya ingin membanting ponselnya sekarang juga. Ia hanya ingin Kalani percaya padanya, kenapa begitu sulit? Ia juga sering cemburu, tapi setiap kali Kalani menjelaskan ia selalu berusaha percaya.

"Kalani masih marah?" tanya Erlangga ketika ia baru saja duduk di meja makan.

"Kenapa sangat berlarut-larut? Aku terkejut mengetahui ia bisa semarah itu," komentar Rayi.

Langit lalu terkekeh kecil. "Tentu saja ia semarah itu, Jimi melupakan hari dimana mereka harusnya memilih cincin pernikahan. Lalu beberapa hari kemudian Kalani tahu ia pergi dengan wanita lain. Dia bahkan sudah menangis sebelum mengira kau selingkuh."

"Aku tahu, hari itu salahku. Pekerjaan kantor membuatku kewalahan dan kukira Kalani cukup kuat untuk menanganinya sendiri. Aku tak menyangka akan serumit sekarang."

"Kalian pasti selalu berakhir dengan bertengkar karena kau juga tersulut emosi, benar kan?" sahut Zeno. Ia lalu menyantap rotinya.

"Aku hanya ingin dia percaya padaku sedikit saja."

"Jujur ya, Jim. Kurasa kau agak sedikit keterlaluan. Aku tak pernah melihat Kalani menangis seperti itu. Bahkan kurasa tak pernah melihat wanita menangis seperti itu," sambung Zeno.

Jimi mengerutkan keningnya. Tak mengerti. "Apa katamu?"

Langit menatap Zeno dengan tatapan tajam. "Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, padahal kau berjanji pada Kalani."

"Jadi Kalani tahu dari kalian?"

"Kalani datang ketika kau ada di Bali. Dia memastikan kau tidak benar berada di Bali. Sebelumnya dia menghubungimu karena khawatir kau mabuk dan mengirimkan banyak pesan padanya, tapi sepertinya kau terlalu mabuk sampai tak sadar Queisha mengangkatkan panggilanmu."

Jimi melotot. Dia mengusap wajahnya. "Pantas saja."

"Ya, Jim. Kau membohonginya dan selingkuhanmu mengangkat teleponnya," sindir Langit.

"Dan aku mengatakan kata-kata kasar ketika dia berusaha mendengarkanku."

"Bagus sekali, brother. Apa kau memang berusaha untuk mengakhiri hubunganmu?" tambah Erlangga juga menyindirnya.

Jimi terdiam mendengarnya. Bodoh. Dia harus menjelaskan pada Kalani. Dia tidak ingin kehilangannya.

***

Jimi tak tahu mengapa ada begitu banyak wartawan di depan hotel tempat ulang tahunnya dilaksanakan, ia melaksanakan acara secara privasi sehingga harusnya tidak ada yang mengetahuinya. Ia menunggu dengan cemas karena Kalani belum datang juga. Justru Queisha, wanita yang paling tidak ingin temui yang datang. Jimi berusaha menjaga jarak darinya karena tak ingin menambah kesalah pahaman banyak orang.

"Selamat ulang tahun, Jim," ucap Queisha.

Jimi mengangguk sekilas. "Terima kasih, Sha. Silahkan masuk, aku harus bicara dengan tamu lain."

Sebelum Jimi pergi, tiba-tiba Queisha mengecup pipinya sekilas. "Aku tak membawa kado, jadi ini kadoku untukmu," bisiknya. Ia lalu masuk ke dalam ruangan. Jimi beruntung tidak banyak orang yang ada di sekitarnya sekarang.

Entah berapa kali ia mondar-mandir di depan pintu. Ia mencoba menghubungi ponsel Kalani berkali-kali tapi tidak diangkat dan terakhir kali ia menghubunginya justru tidak aktif. Seseorang memanggilnya masuk karena acara akan dimulai.
Sepanjang acara Jimi terus memutar-mutar matanya, mencari sosok Kalani di tengah tamu yang datang. Ia yakin tidak melihat Kalani dimana pun. Kalani benar-benar tidak datang ke ulang tahunnya. Dadanya terasa lebih sesak. Setelah semua orang sibuk dengan makanan masing-masing, ia pergi keluar dari ruangan.

Ia mencoba menghubungi Kalani sekali lagi, tapi ponselnya tetap tidak aktif. Lalu ia teringat mengirimkan supir padanya, ia segera menghubungi nomor supir tersebut.

"Ada apa, tuan?"

"Bukan kah aku memintamu menjemput Kalani?"

"Saya sudah mengantarkan nona, tuan. Tetapi, setelah masuk sebentar, tiba-tiba nona keluar lagi. Saat saya tanya, nona tidak menjawab. Nona pergi menggunakan taksi, tuan."

"Baik, terima kasih."

Hanya ada satu kemungkinan besar dan Jimi yakin itulah penyebabnya. Kalani datang saat Queisha menciumnya! Jimi segera pergi dari sana, ia hanya berpikir untuk bisa bertemu Kalani sekarang. Tidak peduli seberapa mewah pesta yang disiapkan untuknya.

"Bunda, Kalani ada?"

"Kalani? Bukan kah dia dijemput supirmu?"

"Jadi Kalani tidak pulang?"

Bunda mengernyitkan keningnya. Dia lalu menarik lembut lengan Jimi, mengajaknya duduk. "Coba jelaskan pada bunda sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian."

Jimi akhirnya menjelaskan perlahan-lahan pada bunda. Takut membuat calon mertuanya salah paham dengan dirinya. "Begitu, bunda. Aku mencoba bicara padanya setelah acara selesai, tapi ia salah paham lagi dan pergi."

"Sudah coba untuk menghubungi ponselnya?"

"Sudah, bunda. Ponselnya tidak aktif."

Bunda menarik nafas dan menghembuskannya. "Bunda paham kau khawatir, tapi mungkin Kalani benar-benar butuh waktu sendiri sekarang. Kembali lah ke acaramu, biar bunda yang ajak dia bicara dulu."

Jimi tidak punya pilihan lain. Ia akhirnya berpamitan. Tetapi, ia tidak kembali ke acara tersebut. Ia sibuk mencari Kalani berkeliling kota tapi hasilnya nihil. Bahkan bodyguard yang ia sewa tiba-tiba kehilangan jejaknya.

***

XAVIERS - BTS FanfictionWhere stories live. Discover now