SAJAK DARI LANGIT - PART 19

320 52 3
                                    

"Waw, mantan calon ipar kita ada di sini juga. Lama tidak bertemu, Kalani," sapa Dean ketika mereka sudah mendekat.

Kalani berusaha tersenyum. "Senang bertemu denganmu juga, Dean," jawabnya gugup.

Ia tak berani sedikit pun untuk melihat ke arah Jimi. Ia takut akan saling berkontak mata dengannya. Pertama kalinya setelah sekian lama mereka tidak bertemu dan berkomunikasi. Jantungnya terasa ingin meledak sekarang. Ia rasa tak bisa lebih lama ada di situasi ini.

"Langit, aku akan pulang lebih dulu," katanya. Ia langsung berdiri dan berjalan melalui Jimi masih tanpa melihatnya.

Kalani terkejut ketika Jimi meraih lengannya. "Apa kau tidak bisa tinggal untuk sebentar?" tanya Jimi.

Jimi sendiri melakukannya tanpa sadar. Wajah wanita di depannya adalah yang menghiasi setiap mimpi buruknya setiap malam. Membuatnya selama berminggu-minggu merasakan gelisah. Ia begitu merindukannya sampai rasanya hampir mati.

"Biarkan aku pergi," bisik Kalani rendah. Kalau saja suasan restoran tersebut tidak tenang seperti sekarang, mungkin hanya Kalani yang bisa mendengarkan suaranya sendiri.

"Kumohon sebentar saja," bisik Jimi tak kalah rendah.

Jimi menarik Kalani ke dalam pelukannya. Langit dan Dean yang ada bersamanya ikut terkejut atas kegilaan Jimi. Mereka tak menyangka Jimi melakukannya, Kalani pasti tidak siap untuk ini.

Kalani tidak bergerak dari tempatnya. Ia terlalu terkejut dengan pelukan Jimi. Matanya terasa panas dan dadanya terasa sulit bernapas. Kemarahan pada lelaki di depannya yang telah lama menyurut tiba-tiba seakan meluap kembali. Sakit hati dan perasaan dikhianatinya.

"Aku harus pergi, kumohon lepaskan aku."

"Aku memimpikanmu setiap malam," kata Jimi.

"Aku tidak," jawab Kalani merasa tercekat dengan jawabannya sendiri.

Mendengar jawaban Kalani membuat Jimi akhirnya melepaskan pelukannya. Lagi-lagi tanpa melihat Jimi, Kalani segera berlari keluar dari restoran. Ia tidak akan bertahan bila lebih lama bersama Jimi. Ia tidak ingin lagi merasa sakit.

Langit segera mengejarnya. Ia menarik tangannya ketika sudah berada di luar restoran. "Kalani, biarkan aku mengantarmu." Ia terkejut ketika melihat Kalani menitikkan air mata.

Kalani berusaha menutupi wajahnya. Ia tiba-tiba saja ingin menangis sekarang. Air mata bercucuran di pipinya. Perasaan kesal yang sudah lama diabaikannya kini muncul lagi.

"Hei, maaf. Aku tak tahu, kau tidak siap untuk bertemu dengan Jimi."

Kalani mengusap air matanya. "Aku ingin sendiri, Langit. Aku akan pulang naik taksi saja," ucapnya. Ia masuk ke taksi yang baru saja menurunkan penumpang.

***

Jimi meninjukkan kepalan tangannya ketika bertemu Langit di rumah. Dean yang bersamanya segera menariknya menjauh. Zeno, Binar, dan Erlangga yang sedang berada di dapur segera menghampiri ruang tengah begitu mendengar keributan.

"Jim, aku sudah bilang padamu Langit tidak sedang mendekati Kalani," Dean berusaha menenangkan Jimi.

"Apa kau gila, hah?" Langit ikut tersulut emosi.

"Apa kau benar-benar tidak tahu diri, Langit? Kau masih menyukai Kalani hingga sekarang?"

Rayi keluar dari lift beberapa saat kemudian. Ia menerima panggilan dari Erlangga yang memberi tahukan Langit dan Jimi bertengkar di lantai bawah. "Apakah kalian masih seperti anak 17 tahun? Kenapa tidak duduk dan bicara?" katanya begitu melihat para sepupunya berkumpul.

Mereka pindah ke sofa ruang tengah. Dulu ketika remaja mereka sering bertengkar, biasanya hal ringan dijadikan sangat besar. Bila seperti itu, biasanya salah satu dari mereka akan memulai untuk mengajak bicara bersama.

"Langit, jelaskan pada Jimi," perintah Rayi.

Langit berdeham. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sejujurnya ia masih terkejut karena melihat Kalani menangis, ia merasa bersalah mempertemukan Kalani dengan Jimi malam ini.

"Kau tidak perlu khawatir padaku, ada seseorang yang harusnya lebih kau khawatirkan," katanya. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan melemparkannya ke Jimi. "Aku memintanya dari para bodyguard yang kau bayar. Kau masih membiarkan mereka bekerja, bukan?"

Jimi memperhatikan foto yang ada di ponsel Langit. Foto-foto tersebut memperlihatkan sosok Kalani bersama seorang pria, kebanyakan dari foto menunjukkan bagaimana Kalani tertawa bersamanya. Sekali lagi jantungnya terasa ada yang menghantam. Nafasnya sesak dan tenggorokannya terasa dicekik. Wanitanya bersama laki-laki lain. Wanitanya tertawa tapi bukan karenanya.

"Arya Dama, kau ingat? Kau dulu tidak suka padanya karena sering sekali memperhatikan Kalani diam-diam. Dia berubah sekali, bukan? Kau sampai tidak mengenalinya."

Jimi mengingatnya. Ia beberapa kali memang bertemu dengan Arya, tapi tidak tahu bahwa mereka orang yang sama. "Bukan kah dia orang yang kau angkat untuk menjalankan radiomu?"

Langit menganggukkan kepalanya. "Ya, aku bilang padanya kalian masih menjalani hubungan sehingga selama setahun dia tak berani mendekati kalani. Sayangnya dia tahu kalian mengakhiri hubungan, sepertinya dia sedang berusaha sangat keras untuk meluluhkan Kalani."

"Sementara kau di sini merutuki kebodohanmu sendiri tanpa melakukan apapun. Apa kau pikir Kalani akan kembali padamu dengan sendirinya?" sambung Binar.

"Demi kewarasanmu, semoga apa yang kami lakukan malam ini sedikit berguna. Meskipun aku yakin Kalani sekarang marah sekali karena kami sengaja melakukan padanya," Rayi menambahkan.

Jimi terdiam. Sepanjang malam ia tak bisa tidur. Bayangan Kalani bersama laki-laki lain terus berputar di kepalanya. Ia menyalakan dan mematikan lampu tidurnya berkali-kali. Terkadang mengambil ponselnya dan membuka foto-foto Kalani yang masih ada di ponselnya. Kalani yang tersenyum dengan ia yang berada di sampingnya.

Tidak, dia tidak bisa. Kalani adalah hidupnya. Apa yang telah dia lakukan? Bagaimana ia bisa menjadi begitu egois hingga membiarkan Kalani pergi begitu saja? Ia merasa benar-benar akan gila bila Kalani jatuh cinta pada Arya tau laki-laki mana pun yang berusaha mengambilnya dari dirinya. Tangannya bergerak dengan sendirinya, mengirimkan pesan untuk Kalani.

***

Aku merindukanmu. Sebuah pesan singkat yang menggetarkan hatinya sejenak. Kalani segera menggelengkan kepalanya. Ia tidak punya waktu untuk bersedih-sedih kembali. Dia akan mengikuti kata-kata Dinda. Dia harus maju untuk sekarang. Jimi hanyalah masa lalu. Meskipun masa lalu tersebut berjalan sangat lama, tapi ia tetap lah masa lalu. Ia segera menghapus pesannya.

"Kalani, temanmu menunggu," panggil bunda.

Kalani mengerutkan keningnya. Ia tidak merasa ada janji pada siapa pun pagi ini, ia juga harus pergi ke kantor. Tetapi, ternyata orang yang muncul adalah Arya. Ia tampak segar seperti biasanya. Bunda mengajaknya makan pagi bersama.

"Jadi kau tinggal di komplek depan?" tanya ayah. Mungkin dia heran Kalani membawa laki-laki lain selain Jimi.

"Iya. Jadi saya rasa bisa menjemputnya mulai sekarang."

Kalani tertegun. Dia ingin menolak karena merasa tidak nyaman bila harus bersama Arya setiap hari, tapi dia mengingat kata-kata Dinda kembali. Dia harus maju. Jangan pikirkan Jimi lagi untuk sekarang.

Setelah makan, Kalani dan Arya berpamitan. Sepanjang jalan Kalani lagi-lagi tertawa pada hal-hal sederhana yang diceritakan. Rasanya Arya memang memiliki segudang cerita lucu. Kali ini ia bercerita bagaimana dulu ia pernah tersesat di negeri orang. Dia juga bercerita tentang temannya yang bernama Josh yang sangat membantunya berubah sepeti sekarang.

"Kau tidak perlu mengantar atau menjemputku setiap hari, aku baik-baik saja naik bis," Kalani akhirnya mengatakannya ketika di parkiran kantor. "Aku taku orang-orang salah paham."

Arya tersenyum kecil. "Salah paham juga tidak masalah," sahutnya lalu turun dari mobil. Sementara Kalani juga bergegas keluar mobil dengan pipinya yang mulai menghangat.

***

XAVIERS - BTS FanfictionWhere stories live. Discover now