Chapter ▪ 18

1.3K 110 0
                                        

Meiska duduk di atas kasurnya. Air menetes dari rambutnya bekas keramas beberapa menit yang lalu. Pandangannya mengarah lurus pada foto dirinya dengan Zen yang ada di meja belajar. Detik kemudian dia menghela napas lalu bergumam, "Iya, bukan salah gue. Gue sama sekali gak bilang suka sama Kak Sandi."

Tepat saat itu pintu kamar terbuka. Menampilkan Zen yang membawa bungkusan cokelat ditangan kanannya. "Gak makan Meis? Nasi padang nih."

"Iya Bang, gue keringin rambut sebentar," jawabnya lalu disambut anggukan dari Zen kemudian dia jembali menutup pintu kamar adiknya.

Tidak butuh waktu lama Meiska akhirnya keluar dari kamar. Perempuan itu melihat Zen yang asik menyantap nasi padangnya. Meiska menarik kursi di hadapan Zen, duduk di sana lalu mulai membuka bungkus nasinya.

"Sekolah gimana?" tanya Zen membuka pembicaraan.

"Gitu-gitu aja."

Zen mengangguk-anggukan kepalanya. "Minggu depan gue balik."

Meiska mendongak menatap kakak semata wayangnya itu. "Udah kelar liburannya?"

"Udah kelar masalahnya."

"Maksudnya?"

Zen meletakkan sendoknya. "Meis, kalau lo mau balik sama Rama, gue gak ada masalah."

"Maksudnya?"

Zen menaik turunkan bahunya. "Ya gak masalah ... artinya gue gak akan marah."

Meiska terkekeh geli. "Malu kali Bang, Rama balik ke gue."

Zen terdiam mendengar ucapan Meiska. Salah paham antara Rama dan Meiska sepertinya sedikit susah untuk diluruskan kembali. Zen merasa adiknya sudah sangat keras kepala. "Orang memang bisa berubah tapi, beberapa orang gak semudah itu berubah, dek."

Meiska menatap Zen bingung. Dia akan bertanya sesuatu namun Meiska memilih untuk menahannya. Dia memutuskan untuk kembali makan.

🐥

Rama pulang ke rumah. Stok bajunya habis dan laundryan belum selesai. Dia melihat mobil ayahnya terparkir rapi di garasi saat itu juga dia menghela napasnya berat.

Rama melangkah masuk, samar-samar dia mendengar suara dari ruang tengah. Suara ayahnya tengah berdebat dengan seorang perempuan.

Rama memilih menunggu di ruang tamu dari pada harus melewati dua orang itu. Lima belas kemudian seorang perempuan paruh baya berjalan ke arahnya dengan menghentakkan kaki, Rama menunduk dalam, dia tidak mau melihat wajah perempuan itu. Atau paling tidak jangan sampai perempuan itu menyapanya ketika bertemu suatu saat nanti. Rama cukup malu dengan kelakuan ayahnya.

"Rama?"

Deg ...

Suara itu familiar ditelinganya. Perlahan Rama mengangkat wajahnya. Matanya terbelalak saat mendapati Ibu Meiska ada dihadapannya. "Tante Siska?"

Siska berderap ke arah Rama. "Rama kamu tahu dimana Meis?"

Rama bingung melihat Siska tiba-tiba saja berderai air mata. "Me-meis?"

"Iya, Meiska Ram ... Ram tolong tante, tante harus jelasin Meiska semuanya." Siska meraih tangan Rama. "Meiska gak boleh terus-terusan benci ayahnya Ram, tante mohon kasih tahu dimana Meiska tinggal."

Rama tidak tahu harus bagaimana. Sampai Anta datang dan menghampiri keduanya. "Sudah saya bilang, anak kamu baik-baik saja. Apa yang harus kamu khawatirkan?"

Siska menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia kemudian memberi Rama kartu nama yang baru dia ambil dari tasnya.

Siska berdiri dan menatap tajam Anta. "Saya permisi!"

Rama yang melihat dua orang tua sedang bersitengang itu, memijat kepalanya yang terasa pening. Dari semua perempuan yang dimainkan ayahnya kenapa harus ada ibu Meiska!

"Kenapa pulang? Uang habis atau-" Anta menghentikan ucapannya saat Rama beranjak keluar rumah. "Dasar anak kurang ajar!"

🐥

Pantulan bola basket serasa dengungan ditelinga Rama. Dia sudah berlatih empat jam sejak sekolah selesai dan sama sekali tidak beristirahat maka, tepat pukul enam sore Rama duduk di tengah lapangan, tenaganya nyaris habis.

"Minum dulu," kata Meiska yang menyodorkan air mineral yang sudah dibuka.

Rama menerima tanpa berkomentar. Pertandingan dua minggu lagi dan tim basket masih belum menemukan keserasian dalam permainan mereka.

Meiska beralih pada Adit yang terkapar tidak jauh dari Rama. "Gimana Kak, masih kuat buat latihan besok?"

Adit menggeleng tapi, mulutnya berkata 'masih' rupanya, otak Adit gagal mensinkron kemauan sendiri.

Kurang lebih selama satu jam mereka membiarkan tubuh masing-masing menempel pada semen lapangan yang dingin sampai Meiska meniup peluitnya keras. Mata mereka langsung terbuka, menatap Meiska takut. Takut jika disuruh latihan lagi.

"Oke, buat hari ini cukup. Kalian harus pulang, istirahat, dan besok kita latihan lagi," katanya enteng.

Rama mendengus panjang. Dia suka basket tapi, dia tidak pernah menyangka basket semenakutkan ini.

Bisma berjalan mendekat, mengulurkan tangannya. "Nginep di rumah gue kan lo?"

Rama mengangguk lalu menyambut tangan Bisma. Dua laki-laki itu kemudian berjalan sempoyongan menuju parkiran sambil memperdebatkan siapa yang harus menyetir.

"Elo."

"Elo."

"Elo aja."

"Gue udah iuran kasur. Lo aja yang nyetir."

"Gue iuran mobil."

"Yaudah gue naik taksi."

Begitu seterusnya sampai mereka berada di parkiran. Kepala Rama makin pening membayangkan dia harus menyetir ke rumah Bisma. Tapi, dia pasrah, Rama memutuskan hal ini adalah sebagai tanda terima kasihnya pada Bisma.

"Rama?" panggil seorang perempuan yang berdiri di samping pos satpam.

Rama menoleh, mata menyipit, detik kemudian dia terbelalak dan berderap menghampiri perempuan itu. "Tante Siska ngapain di sini?"

"Kamu gak bisa dihubungi." Siska menatap Rama yang berpeluh keringat kemudian mengeluarkan sapu tangan dari tas dan memberikan pada Rama. "Makanya tante ke sini."

Rama menerima sapu tangan itu ragu-ragu. "Aku baru rencana hubungi tante malam ini."

Siska tersenyum. "Gimana? Jadi kamu tahu Meiska ada dimana?"

Seakan dia terkena lemparan bola di kepalanya, Rama lupa dirinya masih berada di area sekolah. "Tan, kita ngomong ditempat lain boleh?"

"Oh, iya boleh."

Rama melihat situasi sekitar. Dia kemudian tersenyum. "Kebetulan aku mau makan sama teman, tante pasti belum makan kan?"

Siska lagi-lagi mengangguk dan tersenyum.

"Nanti sambil aku jelasin Meiska dimana," kata Rama kemudian menuntun Siska untuk masuk ke dalam mobilnya bersama Bisma.

Tanpa Rama ketahui, seseorang dari tadi memperhatikannya dari balik dinding. Keningnya berkerut sambil bergumam "Tante Siska? Meiska?"

To be continue 🐥

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang