Sore itu bersama Bisma, Rama mengantar Siska pulang ke rumah dan berjanji secepatnya akan mengabari. Rama berbohong tentang keberadaan Meiska, dia mengatakan sama sekali tidak tahu dimana tempat tinggal Meiska dan akan berusaha membantu untuk mencari.
Dan sekarang Rama berdiri di depan pintu apartemen Meiska, ragu-ragu untuk menekan bel. Kemudian saat dia mengurungkan niat, pintu itu terbuka menampilkan Zen dengan satu kresek sampah yang akan dibuangnya keluar.
"Ram?"
Rama tersenyum canggung.
Zen menutup pintu apartemennya. "Meis belum pulang, katanya mau ke rumah temannya dulu. Manda kalau gak salah namanya."
Rama mengangguk mengerti. "Gue ... mau ngomong sama lo sebentar bisa nggak, Bang?"
Zen terdiam. Jauh dalam lubuk hatinya jika, saja dia menutup mata, Zen sangan ingin mengabaikan Rama. Tapi, cowok itu sama sekali tidak salah dalam hal apapun. Rama hanya korban yang dulu belum bisa berpikir lurus seperti sekarang.
"Mau di bawah? Sekalian gue buang sampah."
Keduanya duduk di depan mini market sambil meminum sekaleng kopi. Zen memperhatikan seragam yang masih dikenakan Rama. "Lo gak pulang atau biasa pulang telat?"
"Gak pernah, cuma ambil baju ganti doang."
Zen menghela napasnya berat. Dia tidak tahu memang bagaimana kehidupan Rama setelah semua terjadi tapi, setelah melihat Rama kembali, Zen merasa dia dan Meiska jauh lebih beruntung. Zen memiliki Meiska begitu sebaliknya sedangkan, Rama tidak memiliki siapa pun.
"Kemarin gue ... ketemu nyokap lo di rumah." Rama membuka pembicaraan, Zen segera menatap laki-laki itu tajam. "Dia bilang, dia nyari lo sama Meiska, Bang."
Zen terhenyak. Sudah lama dia tidak mendengar kabar ibunya dan tahu-tahu ibunya kembali lagi untuk mencarinya. "Oh ..."
Rama menoleh menatap Zen. "Tante Siska tadi, juga ke sekolah buat nemuin gue."
"Lo nggak bilang kan, Meiska sekolah di sana?"
Rama menggeleng. "Gue gak berhak bilang. Tapi, ini, siapa tahu lo sama Meiska butuh Bang." Rama memberikan kartu nama Siska pada Zen.
Zen menerima kartu itu dan mendengus kecil.
"Gue cabut Bang." Dia akan beranjak setelah mendapat anggukan dari Zen tapi, dia urungkan kemudian berkata, "gue rasa maafin nyokap lo lebih penting meskipun yah ... tapi, gue yakin kok Tante Siska gak akan khianatin kalian lagi."
Zen menatap Rama lamat. Rama bahkan ragu dengan ucapannya sendiri tapi, Zen menghargai itu. "Gue pikirin lagi dan semoga lo cepet baik juga sama bokap lo."
Rama terkekeh geli. "Udah bebal bokap gue mah."
🐥
Meiska duduk di samping Rama, bertukar dengan Kokoh. Hari ini adalah presentasi tugas mereka. Lewat sepuluh menit tidak ada yang memulai pembicaraan, dua orang itu bungkam sedangkan kelompok lain sibuk berdiskusi.
Rama menghela napas berat membuat Meiska menoleh ke samping dan bertanya, "kenapa?"
Rama tertegun. Dia mengusap tengkuknya. "Enggak, gak apa-apa."
Meiska mengangguk, dia kemudian memilih membaca buku catatannya.
"Meis?" Panggil Rama.
Meiska bergumam sebagai jawaban.
"Bang Zen kapan balik kuliah?"
"Minggu depan katanya."
Rama mengangguk mengerti. Dia kemudiab mengetuk-ketukan jemarinya ke meja. Cowok itu tampak gelisah bahkan dia beberapa kali membuka lalu menutup mulutnya, mengurungkan niat untuk berbicara.
"Meis?"
Meiska menoleh, menatap Rama datar. "Apa?"
"Gue minta maaf soal kemarin." Meiska mengernyitkan keningnya, Rama kemudian memperjelas. "Yang di rooftop."
"Minta maaf ke Kak Sandi bukan ke gue."
Rama menghela napasnya. "Iya."
Rama merutuki dirinya sendiri. Dia ingin menyampaikan pesan Siska tapi, entah mengapa semua terasa salah. Dirinya seperti tidak punya hak untuk itu meskipun Siska sudah mengiriminya pesan, memohon untuk memberi tahu keberadaan Meiska dan Zen.
Mencoba menyatukan suatu keluarga kembali memang tindakan yang baik. Tapi, diotak Rama hanya ada bagaimana kecewanya Meiska nanti ketika mengetahui faktanya. Fakta ibunya berselingkuh dengan ayah Rama, fakta penyebab kematian ayahnya adalah ayah Rama, dan fakta bahwa Zen menyembunyikan ini semua lalu berdampak Meiska membenci ayahnya sendiri.
"Lo udah baca materinya kan?" Tanya Meiska.
Rama mengangguk ragu. Meiska dapat menebak langsung kalau Rama sama sekali tidak membaca materi presentasi mereka. Cowok itu bahkan tidak ikut andil dalam pembuatan power pointnya.
Meiska memberikan buku catatannya. "Itu rangkuman gue, baca dulu. Gue gak mau jawab semua pertanyaan nanti di depan. Lo juga perlu dinilai.
Rama tersenyum. Cowok itu menopangkan dagunya ditangan kemudian menatap Meiska lamat. "Lo ... khawatir?"
Meiska mendengus. "Menurut lo?"
"Hmm ... iya?"
"Nilai kita dibagi dua Ram. Kalau lo gak dapat nilai bagus yang rugi gue." Meiska mengalihkan pandangannya. "Perasaan dulu lo pinter deh, kenapa sekarang jadi badung gini, sih?"
Rama menaik-turunkan bahunya. "Karena apa ya? Keturunan kali." Jawab Rama enteng dan hal itu justru membuat Meiska tidak enak hati mengingat bagaimana sikap Pak Anta.
Meiska juga tidak tahu sejak kapan Anta yang dikenalnya sangat Rama berubah menjadi seperti itu. Dan Meiska juga tidak pernah tahu bagaimana perasaan Rama sebagai anak.
"Lo mau tahu kenapa gue berubah?"
Meiska diam tidak menjawab. Tapi, rupanya Rama tidak memerlukan jawaban Meiska, cowok itu menjelaskan alasannya secara singkat dan jelas.
"Gue mau nandingin bokap gue. Kalau dia bisa brengsek anaknya bisa lebih." Dia tersenyum samar. "Intinya gue gak mau bokap gue dipandang jelek. Jadinya, gue rebut deh semua cewek yang doi deketin, hehe."
🐥
Malam itu seorang perempuan mengukuti Siska dari belakang. Siska tampaknya sedang menuju toko kelontong di ujung gang rumahnya.
Tanpa Siska tahu tiba-tiba saja perempuan itu menghadangnya. Awalnya Siska terkejut namun, saat perempuan itu tersenyum dan berkata, "saya temannya Meiska Bu."
Mata Siska terbuka lebar, air matanya pun mengalir turun dikedua pipinya.
Perempuan itu tersenyum ramah. "Saya bisa bantu Bu, saya tahu Meiska dimana."
To be continue 🐥
![](https://img.wattpad.com/cover/146725724-288-k695222.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
That Guy
Fiksi Remaja[ C o m p l e t e ] Namanya Rama, kalian pasti ngeri kalau ketemu orangnya. || Copyright, 2019. Nabila Wardani - All Rights Reserved. Cover by vii_graphic