Chapter ▪ 17

1.3K 115 1
                                    

Meiska segera berjongkok memastikan keadaan Sandi. Sudut bibir laki-laki itu mengeluarkan darah. Meiska segera mengelap darah tersebut dengan ibu jarinya. Sementara Rama yang melihat aksi Meiska semakin geram dan tanpa sadar menarik lengan Meiska paksa agar menjauh dari Sandi.

"Lo apa-apaan sih?!" Dada Meiska naik turun seiring dia menahan emosinya pada laki-laki bermata tajam itu. "Kalau lo merasa terganggu sama gue, lo harusnya pukul gue! Bukan Kak Sandi!"

"Lo belain dia?" tanya Rama dengan suara rendahnya.

"Iya!"

Mendengar itu cekalannya pada lengan Meiska mengerat membuat Meiska mulai meringis kesakitan. "Lo masih punya urusan sama gue Meis, sebelum itu semua selesai lo gak boleh berurusan sama cowok lain!"

Sandi bangkit dan langsung menghujani Rama dengan pukulan berturut-turut bahkan kepala cowok itu beberapa kali terbentur tembok di sampingnya. Kedua mata Sandi berubah menajam, sorot mata itu mengisyaratkan pada musuhnya untuk tidak bermain-main dengan dirinya. "Urusan lo sama gue belum selesai." Sandi kemudian berbalik, menatap Meiska yang sepertinya masih shock dengan kejadian barusan. "Lo mau ke kelas kan?"

Meiska mengangguk pelan.

"Gue antar."

🐥

Kondisi Kantin Gharda sudah seperti Hypermart di hari menjelang puasa, ramai, penuh, sesak. Saat itu kesabaran Meiska, Fani, dan Manda diuji.

"Gue mending beli siomay di luar dah, daripada antri segini panjangnya," ucap Fani sambil menghela napas lelah.

"Mau keluar aja? Lewat jalan tikus samping gimana?" tanya Manda meminta persetujuan dari Meiska dan Fani.

"Boleh, gue udah laper banget," jawab meiska disambut anggukan dari Fani.

"Yuk!"

Sampai di luar sekolah ketiganya merasa was-was. Ini masih jam istirahat jadi, belum boleh keluar sekolah dan biasanya guru BP suka patroli dijam-jam rawan seperti ini.

"Aman?" tanya Manda pada Fani yang sedang mengintip dari tembok batas sekolah.

Fani mengacungkan jempolnya. "Sepi, ayo buruan."

Ketiga perempuan itu segera berlari ke gerobak siomay yang ada di ujung jalan. Sampai di sana mereka menyebutkan pesanan bergantian. Dan kembali bersikap waspada selama si penjual mulai memotong-potong pesanan mereka.

Fani dan Meiska memilih berjongkok di samping gerobak sementara Manda sedabg mengintip, memastikan situasi.

"Gak boleh keluar ya, Neng?" tanya si penjual siomay itu.

"Iya nih Bang, kalau lihat orang pakai batik bilang kita ya?"

Si penjual siomay itu tertawa. "Gimana bisa saya bilang, orang saya lagi motongin siomay gini."

Fani dan Meiska terkekeh saat Manda menepuk jidatnya.

Tak lama dua orang laki-laki keluar dari jalan yang sama dengan mereka. Bisma dan Kokoh keluar dengan Kokoh yang menempelkan ponsel ke telinga, sepertinya dia berusaha menghubungi seseorang.

"Bisma! Kokoh!" panggil Manda dengan senyum sumringah. Mungkin perempuan itu merasa aman karena mendapat teman kabur yang lain padahal kalau ketahuan bersama mereka urusannya bisa panjang.

"Kok lo di sini?" tanya Bisma begitu sampai di depan Manda.

"Beli siomay, kantin ramai banget."

Bisma membulatkan bibirnya, matanya kemudian menatap dua orang yang berjongkok di belakang Manda. "Lo pada ngapain?"

"Sembunyi, takut kalau ada guru patrol."

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang