Chapter ▪ 22

1.2K 98 3
                                    

"Kejadian itu jauh sebelum kamu dan Rama bertunangan. Ibu kamu mantan pacar saya waktu kuliah. Saya sudah mantap sekali menikahi Siska tapi, ayah saya malah menjodohkan saya dengan Ibunya Rama.

Karena saya sangat menghargai orang tua, saya mau menikah dengan pilihan orang tua saya. Hidup saya tenang-tenang saja sampai waktu itu perusahaan ayah kamu sedang mengalami kesulitan dan saya yang memang masih menjalin komunikasi dengan Siska mau menawarkan bantuan. Kami terus berhubungan sampai akhirnya saya rasa hubungan saya dengan Ibu kamu memang belum sepenuhnya selesai.

Tapi, lagi-lagi ayah saya jadi penghalang. Dia, minta kalian bertunangan. Dan dari sana saya nekad membantah, memilih untuk memperjuangkan keinginan saya. Tercapai memang tapi, dengan cara yang salah."

Meiska memijat kepalanya yang kembali berdenyut. Perempuan itu tersenyum miring lalu bergidik jijik begitu ekspresi Anta yang seperti mendambakan kehadiran ibunya terbayang.

Meiska tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali telepon masuk tidak juga dia angkat bahkan setelah tahu siapa penelpon itu karena mengiriminya pesan untuk segera mengangkat teleponnya dan dia adalah Rama.

Tak lama terdengar suara Zen bersenandung, entah lagu apa. Meiska memilih keluar kamar untuk membicarakan semua ini. Dilihatnya Zen yang duduk di sofa dengan kaki yang sengaja ditaruh di atas meja. "Meis, gue baliknya bareng temen gue, jadi mundur tiga harian."

Meiska hanya bergumam dan memilih duduk di samping Zen. "Bang?" Panggil Meiska saat Zen baru saja menyalakan televisi.

"Hm?"

"Gue besok mau ke makam bokap."

Zen terkejut hingga menarik kakinya dan duduk bersila menatap Meiska sungguh-sungguh. "Bener?"

Meiska mengangguk. "Lagian ... bukan salah bokap kan?"

Zen mengernyit bingung. "Maksudnya?"

"Ya ..." Nada suara Meiska mulai bergetar. "Papa gak salah, Papa cuman-" Air mata Meiska turun, dadanya sesak begitu sadar bagaimana perlakuannya pada ayahnya itu. Bagaimana dia membenci ayahnya karena membuat keluarganya hancur akibat tindakan sembrono ayahnya. Bagaimana dia sempat merasa malu karena ayahnya.

"Meis?" Zen menarik adiknya itu ke dalam pelukannya. "Pelan-pelan aja, lo gak salah. Gue yang salah udah nyembunyiin ini semua. Gue gak mau lo makin kacau karena tingkah konyol nyokap kita ini."

Meiska makin terisak. Dia tahu maksud Zen baik karena jika saja Zen memberi tahu kebenaran mungkin Meiska sudha menyusul ayahnya saat itu juga. Mengingat bagaimana Meiska percaya dan sangat dekat dengan ibunya.

"G-gue udah diceritain Ayahnya Rama, Bang." Meiska menarik diri dari pelukan Zen kemudian menatap kakak semata wayangnya itu sendu. "Gue-gue harus gimana?"

🐥

"Gak bisa di telepon?" Tanya Kokoh di tengah kegiatan makan mie instannya.

"Gak diangkat." Jawab Rama kemudian melemparkan badannya ke kasur milik Bisma.

Bisma yang baru selesai mandi langsung menanyakan hal sama pada Rama dan dijawab dengan gelengan oleh Kokoh. "Dia butuh waktu Ram, kasih Meiska ruang dulu. Masalah dia gak kecil."

"Gue ..." Rama menatap sedih langit-langit kamar Bisma. "Gue cuma khawatir."

Bisma berjalan ke balkon untuk menjemur handuknya lalu kembali lagi dan berkata. "Lo juga butuh waktu buat tenang. Jangan kayak tadi siang sampai hp lo banting gitu. Akal sama perasaan lo harus sinkron kalau nanti Meiska udah siap bicara tentang ini semua sama lo."

Mendengar itu Rama teringat Sella, dia merasa bersalah setelah membentak cewek itu habis-habisan. "Lagian, udah gila apa ngirim vidio kayak begitu ke gue? Ya pasti gue jadiin kartu lah, kalau dia macem-macem sama gue."

"Swiawpa?" Tanya Kokoh sambil mengunyah.

"Sella."

"Tapi gak jadi lo sebar kan, nyatanya?"

"Ya gila kali gue nyebar kayak gituan." Rama mendengus. "Mau ngerusak masa depan anak orang apa gimana?"

Bisma tersenyum bangga pada Rama. Lalu saat temannya itu tiba-tiba bangun, senyuman Bisma segera luntur begitu saja.

"Harusnya sih, gue sebar? Impas dong, karena Sella udah ganggu Meiska?" Rama meminta pendapat Kokoh dan Bisma.

Kokoh mengacungkan jempolnya sedangkan Bisma menggeleng kuat. "Lo ngerti nggak sih? Itu cewek dengan gampangnya ngasih liat vidio ke elo karena dia percaya sama lo Ram. Karena dia ngerasa kalau elo udah lihat, elo otomatis jadi punya dia."

Rama mendengus kecil. "Gampangannya bego, Bis."

"Dia cuma main perasaan Ram. Sama kayak lo cuma main kasar, asal ngasarin, asal bikin ancaman sana sini gak peduli perasaan orang." Bisma duduk di samping kasur menatap Rama yang masih tampak bingung. "Artinya lo itu penting buat Sella. Dan sayangnya Sella tipe cewek yang mau berjuang buat dapetin apapun itu. Disitu point pentingnya Ram, lo harus bikin Sella berhenti, lo harus bikin dia ngerti kalau lo gak bisa sama dia. Dan caranya gak asal main kasar."

"Gue udah gak ada urusan lagi sama Sella." Jawab Rama tegas.

"Yakin? Setahu gue Sella orangnya pantang menyerah, ya gak Koh?"

Kokoh mengangguk lalu dengan cengengesan dia mengepalkan tangannya ke atas. "Maju terus pantang mundur!"

🐥

Sella memejamkan matanya erat, di sampingnya ada Vanya yang menatap Sella khawatir. Pasalnya cewek itu baru berhenti menangis selama empat jam dan mengerikannya lagi Sella tidak berkata apapun.

Perempuan itu kemudian bangun dan mengambil sebuah ponsel dari dalam tasnya. Ia mengeluarkan kartu memori dari sana dan segera memasangkan ke ponselnya. "Gue gak ada pilihan lain."

Vanya mengernyit. "Maksudnya?"

"Gue butuh Rama, Nya." Gemetar tangan itu menekan layar ponselnya. Lalu saat ditemukan vidio yang dicari, Sella tersenyum miring. "Gue mau sevarin vidionya."

Vanya langsung menepis tangan Sella membuat ponsel yang dipegang Sella jatuh ke lantai. "Lo gila! Ngapain segininya sih, Sel. Lo masih punya masa depan!"

Tangan Sella menggapai ponselnya namun segera ditendang jauh oleh Vanya. Sella menatap temannya itu lekat. "Lo gak pernah ngerti, Nya!"

"Apa yang gak gue ngerti Sel! Apa?!"

"Rama penting buat gue." Tekan Sella.

Vanya mendengus kesal. "Lo itu cuman cewek yang mau diakuin keberadaannya sama orang yang salah! Rama gak peduli Sel sama lo, kalau pun dia dulu pernah nyelametin lo, itu hanya kebetulan sisi manusia dia muncul."

"Rama itu say-"

"Dia sukanya sama Meiska, Sel." Vanya kemudian bangkit berdiri menatap Sella tajam. "Gue pikir lo sama Rama itu satu tipe. Sama-sama suka maksa kehendak orang lain!"

Vanya kemudian berderap meninggalkan Sella namun sebelum dia menarik ganggang pintu kamar kos Sella, dia berkata, "silahkan kalau lo mau sebar vidio itu kalau masih nganggap Rama lebih penting daripada masa depan."

Sella diam mematung. Kalimat Vanya terus terulang tapi, cewek itu justru mengambil ponselnya dan tanpa ragu lagi dia mengirim vidio itu. Sella tersenyum lemah merutuki dirinya sendiri. Saat itu ponselnya bergetar menampilkan satu nama dan membuat Sella seakan-akan punya harapan lagi.

Tante Siska is calling ....

To be continue 🐥

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang