Chapter ▪ 11

1.6K 140 11
                                    

Sudah setengah jam Rama dan Meiska berhenti di depan rumah cukup mewah bercat krem dengan banyak ornamen terbuat dari kayu jati. Tanpa rasa ingin beranjak dari mobil keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing.

Meiska memejamkan matanya rapat, dia merasakan pening mulai menjalar dikepalanya. Entah apa yang dipikirkan laki-laki di sampingnya ini sampai membawanya kembali ke rumah yang dulu, tepatnya dua tahun lalu sering dia datangi.

"Mau turun?" tanya Rama.

Meiska mendengus pelan, ingin sekali dia meneriakkan kata tidak tepat ditelinga laki-laki itu. Meiska membuka matanya lalu menatap Rama sejenak sebelum dia alihkan pada pohon kamboja yang berdiri tegak di sisi jalan. "Buat apa?"

"Ketemu Kakek gue."

Meiska tersenyum gentir. "Lo mau jelasin gimana lo kasihan sama gue, gitu?"

"Meis." Rama berdecak keras, sepenuhnya dia tidak tahu apa maksud perempuan ini. "Lo ngomong apa, sih? Gue cuman mau lo ... kita ketemu Kakek."

"Lo aja, gue tunggu di sini," jawab Meiska nyaris seperti gumaman.

Rama menarik tangan Meiska hingga membuat perempuan itu menatapnya namun detik kemudian segera membuang muka. "Lihat gue!"

Meiska menolak, dia menatap lurus ke depan dan membiarkan tangannya digenggam erat oleh Rama. "Dulu gue belum sempat kasih jawaban."

Rama menunggu jawaban dari Meiska namun perempuan itu hanya diam. "Sorry, kalau dulu gue gak sempat nahan lo. Sorry, kalau gue ngilang gitu aja. Gue benar-benar minta maaf."

Meiska tetap diam, berusaha menganggap ucapan Rama hanya angin lewat saja.

"Tapi, itu semua ada alasannya, Meis. Gue gak mungkin gitu aja ninggalin elo. Lo tahu gue Meis." Rama melepaskan genggaman tangannya, dia mengusap wajahnya kasar. "Dulu gue salah, gue anggap dengan gue ngejauh, ngilang, sampai benar-benar lost contact sama lo adalah keputusan yang tepat."

Meiska tersenyum kecut. "Lo gak salah Ram." Dia menoleh ke samping memberanikan diri menatap mata hitam milik Rama lebih dari beberapa detik untuk mengatakan kalimat yang dari dulu dia tahan. "Lo gak salah pilih keluarga lo daripada gue, lo gak pernah salah! Emang bokap gue aja yang malu-maluin, Ram. Dengan aksi bunuh diri bokap gue bisa nurunin saham Kakek lo, kan?"

"M-maksudnya?"

Meiska menatap Rama nanar. Dia tidak tahu apa maksud ekspresi Rama sekarang, seolah-olah dia tidak tahu tentang fakta tersebut. Detik kemudian Meiska mendengus, dia pun memutuskan untuk keluar dari mobil Rama dan berjalan keluar dari kompleks perumahan itu.

🌺

Meiska duduk dikursi yang disediakan di depan slaah satu supermarket. Dia menggengam botol air mineral yang isinya tinggal setengah. Tatapannya tampak kosong, hatinya bergejolak hebat sampai detik ini setelah dia membahas kematian ayahnya dengan Rama.

Salah satu faktor yang membuat Meiska malu setiap bertatap muka dengan Rama.

"Woy!"

Meiska mengerjap. Dia menoleh ke kirinya, mata Meiska membulat sempurna begitu melihat Sandi yang sedikit membungkuk untuk melihat wajahnya. "E-eh, Kak?"

"A-e-a-e." Sandi menarik salah satu kursi kemudian duduk di samping Meiska, laki-laki itu membuka kaleng colanya dan bertanya, "lo kok bisa sampai Bogor?"

Meiska menggaruk tengkuknya, bingung mencari alasan. "Hm ... soalnya ... habis dari rumah saudara, hehe."

Sandi menaikkan sebelah alisnya. Dia tahu Meiska sedang mencari alasan dilihat dari gerakan tidak nyaman perempuan itu tapi, Sandi memilih tidak peduli. "Langsung cabut dari sekolah?"

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang