Chapter ▪ 25

1.2K 108 12
                                    

-Dua hari sebelum Rama drop out-

Karena sudah terbiasa dibicarakan mungkin kata kebal mampu mendefinisikan seorang Rama sekarang. Dimana pun dia berada selalu saja suara bisikan mampu terdengar ditelinganya. Rama jauh lebih dari kata siap untuk kondisi saat ini terutama saat tahu Meiska ada di belakangnya, mendukung Rama, dan menawarkan bantuan.

Maka saat ini Rama duduk di depan Anta dan Wijaya, berkedok makan malam keluarga. Rama menatap hambar potongan steak dipiringnya. Meskipun rasa nikmat seharusnya mendominasi justru rasa waspada dengan gerak-gerik dua laki-laki di depannya.

Rama meletakkan garpu dan pisaunya. "Bisa langsung ke intinya aja, Kek?"

Wijaya menatap Rama tapi tetap dengan kegiatan menggesekkan pisau ke daging dipiringnya. "Kenapa? Gak enak?"

"Iya." Kata Rama lalu mengusap bibirnya dengan tisu. "Lebih enak makan di luar."

Wijaya segera meletakkan garpu dan pisaunya disusul dengan Anta yang melakukan hal sama tanpa mengeluarkan satu patah katapun.

"Kakek mau pisahin kamu sama ayah kamu." Kata Wijaya setelah meminun setengah air mineral digelasnya.

"Kita gak pernah nyatu kalau Kakek belum tahu."

"Kakek serius Ram." Wijaya menatap Rama lekat. "Kamu harus bisa hidup mandiri dan nerusin perusahaan Kakek. Cuma kamu yang bisa dan Kakek percaya mampu."

Mata Rama bergerak menatap Anta yang masih diam. Seolah mengerti maksud dari tatapan Rama, Wijaya kembali berkata, "besok rapat komite sekolah, penunjukkan kepala sekolah yang baru, ayah kamu Kakek paksa berhenti. Nanti, dia tinggal sama Kakek biar nebus dosa-dosa sama keluarganya."

Untuk pertama kalinya Rama tersenyum menang. Itu artinya Anta akan dijadikan anak penurut lagi oleh Wijaya. Entah bagaimana caranya Rama merasa Wijaya mampu mengembalikan Anta seperti dulu tentu saja tidak sepenuhnya. Tapi, sikap Anta tentu perlu diperbaiki.

"Saya setuju." Kata Rama yakin. "Saya setuju buat hidup mandiri dan nerusin perusahaan Kakek."

🐥

"Jadi, lo udah baikan nih sama Rama?" Tanya Zen memastikan setelah Meiska menceritakan semua kejadian hari ini. Meiska tersenyum kikuk dia kemudian menganggukkan kepalanya. Zen mendengus disela kekehannya. "Terus Mama sekarang dimana?"

Meiska menggeleng. Dia memang sengaja tidak menanyakan keberadaan Siska, Meiska ingin Siska sadar dulu siapa Sella itu. Tapi, melihat Siska sampai malam ini juga belum mengkabarinya lagi, Meiska tahu Siska sudah termakan omongan Sella.

"Tapi, lo yakin bukan Rama yang ngerekam?"

"Yakin. Gue tahu Rama itu gimana."

Zen bergerak gusar. "Sudah tiga tahun lo gak bareng sama Rama, Meis. Tiga tahun bisa merubah siapapun."

"Bang, orang gak semudah itu berubah." Jawab Meiska yakin.

"Ya tahu tapi kan, dilihat dari lingkungan Rama. Menurut gue itu lebih dari mungkin."

Sejenak Meiska tampak bimbang. Dia kemudian menggelengkan kepalanya. "Gue bukannya gak mikir ke sana tapi, gue percaya sama Rama."

Meiska kemudian beranjak menuju kamarnya. Dia memasukkan seragam sekolah beserta peralatan yang dibutuhkannya untuk menginap semalam di rumah Fani.

Begitu keluar Meiska segera dicecar pertanyaan oleh Zen. "Mau kemana lo? Kabur?" Zen mengusap wajahnya kasar. "Cuma gara-gara gue ngomong kayak gitu, ya ampun Meiska!"

Meiska mendengus. "Nginap di rumah Fani lebih tepatnya." Dia kemudian berderap menuju Zen mengambil ponsel kakaknya itu lalu menyalin sederet nomer dari ponselnya ke ponsel Zen. Baru empat nomer yang Meiska tulis satu kontak bernama 'Mama' muncul dilayar ponsel Zen.

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang