Chapter ▪ 16

1.5K 117 11
                                    

Meiska melepaskan pelukan Rama tanpa ingin membalas tindakan cowok itu. Keduanya saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya Meiska memilih masuk ke dalam apartemennya tanpa mengucap kalimat berpisah.

Sementara yang laki-laki menghela napas berat. Dia berbalik dan menuju lift, kepalanya tertunduk sampai dia menemukan sepasang kaki yang mengenakan sepatu nike putih di depan pintu lift. "Bang Zen?"

Zen tampak berusaha mengatur reaksinya. Dia tampak gusar sesaat sebelum akhirnya menghela napas dan berkata, "apa kabar ... Ram?"

🐥

Sambil menikmati sekaleng cola yang dibelinya dari supermarket sebelum pulang, Zen diam-diam memikirkan apa yang dilihatnya lima menit lalu sebelum dia dan Rama berada di lobi apartemen.

"Gue satu sekolah sama adik lo," kata Rama memulai percakapan.

Zen diam dan hal itu membuat Rama yakin Meiska sudah menceritakannya.

"Gue ..." Rama menghembuskan napasnya gusar. "Gue gak tahu harus mulai dari mana."

Zen menoleh ke samping, menatap Rama dengan sebelah alis terangkat, dia kemudian tersenyum disela-sela dengusan kecilnya. "Gak ada yang perlu dimulai Ram."

Tangan Rama terkepal erat. "Meiska gak tahu kalau bokap gue sama tante itu seling-"

"Lo pikir gue mau dia tahu semuanya?!" Zen berdecak keras, kaleng yang di pegangnya sudah tidak berbentuk akibat diremas. "Menurut lo, gimana perasaan Meiska? Gimana kalau dia tahu orang yang dia sayang dari kecil tega ngelakuin itu semua?!"

Rama mengusap wajahnya kasar. "Bang!"

"Ram! Lo sama Meiska udah selesai. Mau lo ketemu Meiska karena takdir, gue yang bakal berusaha ngubah!"

Rama mengatur napasnya yang memburu. Bukan tanpa pemikiran yang matang dia melakukan hal ini. Dia tahu dirinya masih peduli dengan Meiska, meskipun sempat berpisah Rama merasa sudah bisa melupakan Meiska namun, nyatanya saat dia bertemu dengan perempuan itu lagi, hatinya bergejolak. Dan Rama tidak pernah bisa untuk mengesampingkan itu semua.

"Jauh-jauh dari adik gue," kata Zen kemudian berdiri. Dia akan beranjak namun ucapan Rama menghentikannya.

"Gue kira Meiska segitu takutnya ketemu gue karena tahu masalah aslinya." Zen berbalik menatap Rama yang tengah menunduk. Zen tahu benar laki-laki itu berusaha menahan amarahnya. "Ternyata karena Om Hardi."

"Ram-"

"Dia malu Bang!" bentak Rama membuat Zen mengernyit. "Dia malu karna ayahnya bunuh diri, karna itu dia jadi takut sama gue."

Rama menelan ludahnya susah payah. "Padahal gue sama sekali gak tahu kabar Om Hardi."

Mata Zen menyipit. "Lo nggak tahu?"

Rama menggeleng. "Gue sama sekali gak tahu."

Zen kembali ke tempat duduknya. Dia ingin mendengar lebih jauh lagi.

"Waktu gue tahu bokap ada main sama nyokap lo, yang dipikiran gue cuma ada kata lari. Gue gak tahu harus gimana. Gue ... gue malu ketemu Meiska."

Setelah mengatakan hal itu Rama menunduk dalam. Zen memilih untuk diam, berusaha kembali berpikir jernih. Kenyataan ayah Rama sering bermain perempuan memang bukan hal baru semenjak ibu Rama meninggal dunia. Tapi, Zen tidak habis pikir ayah Rama merahasiakan kabar meninggal ayahnya.

Zen menghela napasnya berat. "Terus, sekarang lo mau gimana? Gue sama sekali gak dukung kalau lo mau ngasih tahu Meiska sebenarnya."

Rama mengangkat kepalanya. "Kenapa?"

That GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang