"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa terus menjadi lemah, sementara aku terus memaksa diriku menutup mata."
BLACKPINK❤❤
Kringg....
Bel pulang berbunyi nyaring seantero sekolah. Sebuah suara yang dianggap surga bagi para pelajar, karena waktu untuk mengistirahatkan otak juga tubuh telah tiba di depan mata.
Satu demi satu murid keluar kelas, berjalan menuju gerbang, lalu segera pulang ke rumah masing-masing. Tidak hanya murid, guru pun juga melakukan hal yang sama. Tentu saja kecuali para murid pengikut ekstra, atau guru yang masih memiliki tugas di sekolah.
Berbeda dengan suasana tadi, di pojok lapangan basket, empat siswi yang telah melewatkan seluruh mata pelajaran sedang bersiap untuk kembali ke kelas mereka, mengambil tas. Tidak mungkin bukan mereka meninggalkan tasnya di sekolah.
"Jadwal?" Gadis bersurai sedikit kecoklatan bertanya.
"Latihan soal OSN," jawab gadis berambut hitam legam.
"Merenung," balas kecil gadis paling tinggi.
"Latihan da--"
Drrtt...
Gadis berponi itu merogoh saku roknya, mengambil ponsel disana. Tertera nama ibu di layar benda pipih miliknya. Tanpa buang waktu dia mengangkat panggilan sang ibu.
"Iya, bu?"
"Segeralah pulang, ada yang ingin ibu dan ayah bicarakan denganmu"
"Ta--"
Tittt...
Sambungan terputus secara sepihak. Merasa jengkel karena diabaikan, Lalice memandang datar ponselnya. Menggenggam erat menyalurkan kekesalan.
"Kembali ke penjara," ralatnya sebelum berjalan lebih cepat, meninggalkan ketiga sahabat yang diam memperhatikan.
Helaan nafas keluar. Sepertinya hari ini adalah hari sial, dari sekian banyak hari sial yang di rasakan BLACKPINK. Memang ada kesenangan di awal, tapi apa gunanya jika pada akhirnya hanya ada kesedihan?
❤❤
Sambutan pertama yang mengawali langkah Lalice masuk ke dalam rumahnya adalah tatapan tajam dari kedua orang tuanya. Sungguh dingin, hingga Lalice sempat berfikir apa benar kedua orang itu ibu dan ayahnya.
"Lalisa Manoban!" Panggilan sang ayah cukup membuat gadis itu mengerti jika dia di minta mendekat.
"Kemana kamu lima hari ini tidak mengikuti kelas memasak yang ayah jadwalkan?"
Belum juga Lalice mendudukkan tubuhnya, serentetan kata tajam di keluarkan sang ayah padanya. Membuat dia memutuskan untuk tetap berdiri dan menunduk. Percuma saja dia melawan jika pada akhirnya opininya tidak di dengar.
"Ayah sudah bayar mahal-mahal, tapi kamu sia-siakan begitu saja. Bahkan belum ada lima puluh masakan yang bisa kamu masak dengan enak dalam setahun ini. Kamu hanya menghamburkan uang ayah Lisa." Panjang, pedas, dan menyesakkan hati.
Diam dan diam. Hanya satu perilaku itu yang bisa dia lakukan.
"Jangan-jangan kamu masih melakukan hal bodoh itu? JAWAB LALISA MANOBAN!" Lalice terlonjak mendengar bentakan sang ayah.
"Ti-tidak" cicitnya.
"Apa pernah ayah dan ibu mengajarkanmu berbohong? LALU APA YANG AYAH BAKAR DI HALAMAN BELAKANG ITU!?"
Lalice membulatkan mata, tidak mungkin--
Segera Lalice berlari menuju halaman belakang. Dia sangat berharap untuk apa yang dipikirkannya tidak pernah menjadi kenyataan.
Kobaran api dari dalam tong besi itu menghancurkan harapannya secara langsung dan tepat sasaran.
"TIDAK!!" Lalisa Manoban mulai menangis sesenggukan.
"Jangan main-main dengan ayah Lisa. Ayah bisa melakukan apapun jika kamu tetap membangkang."
"AYAH JAHAT! Lisa juga punya mimpi sendiri. Lisa bukan boneka yang bisa seenaknya ayah dan ibu kendalikan. Lisa hidup ayah. Hikss..." Lalice sudah muak. Sangat muak. Piagam-piagam itu tidak bersalah, tapi kenapa harus berakhir teragis dalam api.
Jika saja sang ibu tidak menahan, telapak tangan ayahnya pasti telah mengenai pipi Lalice. Ayahnya ingin menamparnya?
"Jika terus seperti ini, ayah akan mengirimu ke Thailand segera." Sepuluh kata yang keluar dari mulut ayahnya adalah batas berakhirnya percakapan menyesakkan itu.
"Lima hari kami tidak di rumah bukan berarti kami tidak tahu aktifitasmu Lisa. Jangan buat ayahmu marah padamu." Nasihat sang ibu.
Lalice terkekeh hambar, "Apa kalian tidak pernah memikirkanku?"
Tidak menjawab, ibunya berjalan meninggalkan Lalice sendiri. Sendiri meski ada orang lain di dalam rumah besar itu.
Untung yang asli gue titipin ke Pak Taemin, batinnya bersyukur.
Lalice menghapus air matanya. Kesedihannya bukan tipuan. Kemarahannya bukan drama. Tapi, Lalice tahu menangis darah sekalipun tidak akan membuat perubahan, yang bisa merubah adalah pembuktian. Dan Lalice akan membuktikan itu.
Lalisa Manoban tidak akan pernah menyerah pada mimpinya. Tidak akan.
❤❤
"Gila sih, aku bisa menyelesaikan dua puluh soal esai dalam waktu lima menit." Sooya terkagum pada dirinya sendiri. Untuk jawaban tidak perlu diragukan lagi.
Ruang tamu yang hening seketika berubah karena kehadiran seseorang, ah tidak, beberapa orang.
Saat Sooya beranjak berdiri, lalu perlahan mendekat untuk menyambut kedatangan ayahnya, secara tiba-tiba gaya gravitasi bumi menariknya kuat agar tidak bergerak.
Kedua matanya memanas, senyum perlahan memudar.
"Ibunya Rosie?"
W a k t u T i m e
Haloha>o<
Sebelumnya aku mengucapkan selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin bagi yang merayakan 🙏🙏
Semoga kita semua di limpahi berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
Aminn...
••
Pendapat tentang part ini?
Perlahan tapi pasti, semua akan terbuka dengan sendirinya.
Stay in my story ya guyss...
Terimakasih karena udah baca+vote+comment
Oh, iya WaktuTime pakai cover baru loh. Hehe...
Tinggalkan jejak!! (Gratis kok_*)
callmeRIES
KAMU SEDANG MEMBACA
WaktuTime (BLACKPINK)
Fanfic[Only on Wattpad!] "Disaat nanti kamu tidak lagi menemukan senyuman di bibirku itu artinya yang lama telah menjadi masa lalu." - Sooya "Lo baik gue baikin. Lo jahat gue baikin. Sesimple itu, tapi sesusah itu juga lo menghargai gue." -Jane "Titik ter...