"Andai kau seperti matahari, memancarkan kehangatan untuk bumi."
BLACKPINK❤❤
"Eon"
"Eonni"
"Sooya eonni"
Sooya tidak memperdulikan panggilan Lalice yang mengejarnya. Berpura-pura tidak dengar, berpura-pura tidak melihat, berpura-pura tidak kenal. Dia benar-benar tidak peduli dengan keadaan sekarang. Entah nanti ada guru yang menegurnya, atau bahkan ada guru yang langsung menghukumnya.
"Maaf"
Sooya berhenti.
"Gue cuma nggak mau jadi alasan untuk dia sakit hati. Lo tau kan gue nggak cinta sama dia."
Sooya pun akhirnya berbalik. Sedikit berkaca-kaca, tapi tidak sampai menangis.
"Kamu nggak salah. Hanya saja aku pernah menjadi Jungkook, dimana orang yang kita sayangi nggak respect sama kita. Mengacuhkan, membekaskan luka, dan akhirnya meninggalkan."
"Setidaknya jika tidak ingin, jangan memulai. Jika pun ingin menolak, jangan lakukan seakan kamu merendahkan dia."
Sooya pun berbalik, berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Lalice yang terdiam.
❤❤
Sooya :
Sana, tolong simpan tasku...terimakasih
Di depan halte sekolah Sooya menunggu bus yang sekiranya datang sepuluh menit lagi. Dia memutuskan untuk pulang, tentu saja tanpa izin, bahkan tasnya dia titipkan pada Sana --teman sekelasnya--. Kejadian beberapa saat lalu benar-benar mengingatkannya pada seseorang.
Dan jika boleh jujur Sooya sangat ingin merasakan kehangatan darinya. Tapi, dia masih tau diri untuk tidak terlalu bermimpi ketinggian...karena peluang terwujudnya keinginannya itu tidak genap 1%
Sebuah bus yang berhenti di depannya mengalihkan perhatian Sooya. Cepat-cepat dia memasukinya yang akan membawanya pada rumah. Setidaknya dia butuh beristirahat.
❤❤
Kriett....
"Nona Jisoo"
Sooya tersenyum, lalu segera masuk ke dalam rumah. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah seorang perempuan yang sedang duduk di ruang tamu sambil menonton tv dengan beberapa bungkus snack di pangkuannya.
"Jissa eonni!"
Sooya berlari menghampiri kakak perempuannya. Memeluknya erat, menyalurkan rasa rindu yang teramat sangat.
"Yaampun adek eonni sebesar ini ternyata. Eonni kangen kamu loh."
Sooya tersenyum di balik pelukannya. Hampir dua tahun dia tidak bertemu dengan kakaknya, Jissa.
"Jangan pedulikan dia Jissa, ingat janjimu datang kesini!"
Suara bariton tegas nan tajam menghancurkan suasana haru di antara kedua kakak beradik itu. Mengubah ekspresi bahagia dengan tegang secara tiba-tiba. Sooya yang berbalik, lalu berdiri tegak dengan kepala ditundukkan. Juga Jissa yang beranjak berdiri dari posisi duduknya.
"Tidak perlu ayah katakan lagi, saya pasti selalu ingat dengan janji saya."
Sooya masih senantiasa menunduk, tanpa berniat melakukan apapun.
"Kenapa kamu tetap disini? PERGI DARI HADAPAN SAYA!" Sooya terkejut, begitupun Jissa.
Dengan inisiatif sendiri, Sooya melangkah meninggalkan ayah dan anak itu. Melupakan fakta jika darah lelaki paruh baya disana juga mengalir dalam darahnya, miris.
"Tunggu Jisoo!"
Jissa menghentikan Sooya yang hampir menaiki tangga menuju kamarnya.
"Saya mengingat janji saya, ayah pun harus mengingat janji ayah." Jissa menatap penuh benci pria yang berstatus ayahnya itu. Tidak ada niat sedikit pun bagi Jissa membenci ayahnya, tapi ayahnya sendiri yang membuat Jissa membencinya, muak padanya.
"Berani sekali kamu menatap ayah seperti itu!? Apa karena anak tidak tau diuntung itu? Seorang anak YANG TEGA MEMBUNUH IBUNYA SENDIRI?"
Pria paruh baya itu dengan langkah lebar menuju Sooya yang diam dengan tubuh bergetar. Meremas rok sekolahnya sebagai penyalur rasa takut.
PLAKK!!
Sooya memejamkan mata erat, air mata tak mampu lagi dia bendung. Saat dia tidak merasakan apapun, mencoba berani Sooya membuka matanya. Pemandangan menyakitkan yang secara langsung kedua bola matanya tangkap.
Jissa, eonninya rela menjadi tameng untuknya dari tamparan sang ayah. Selalu seperti ini, setiap kakaknya ada di rumah, dia selalu melindungi Sooya dari kekerasan fisik yang tanpa direncanakan dilakukan oleh ayah mereka.
Sooya, dia tidak kuat lagi, saat inikah waktu yang tepat untuknya melawan?
"Jika ada saya disini, saya tidak akan membiarkan ayah menyakiti adikku."
"MEMBANGKANG KAMU?"
Saat sebuah tamparan akan dilayangkan kembali, teriakan anak keduanya menghentikan pergerakannya.
"CUKUP AYAH! Ayah mau pukul Jisoo kan? Silahkan pukul Jisoo. Tapi, jangan eonni yang menjadi pelampiasan ayah...hikss" Dangan air mata yang mengalir Sooya menatap ayahnya sendu.
"Jangan ceramahi saya! Saya tidak butuh ceramah dari orang yang telah membunuh istri saya."
"JISOO TIDAK MEMBUNUH IBU...hikss. Bukan salah Jisoo ibu memilih mengorbankan nyawanya untuk melahirkan Jisoo. Istri ayah juga ibu Jisoo. Ba-bahkan Jisoo belum pernah melihatnya...hikss, berbeda dengan ayah atau pun Jissa eonni, setidaknya kalian pernah merasakan kasih sayang dari beliau. Sedangkan Jisoo? Tidak pernah dan tidak akan. Lalu bagaimana bisa ayah selalu menyalahkan Jisoo atas kematian ibu? APA ALASANNYA? Hiksss...."
Sooya menangis, menangis kencang sampai Jissa memeluknya untuk menenangkannya.
Sedangkan sang ayah, diam tanpa ekspresi. Lalu berjalan pergi entah kemana arahnya. Menyisakan kakak beradik yang saling menguatkan perasaan masing-masing.
"Sssttt, jangan menangis Jisoo"
"A-antarkan Jisoo menemui ibu eonni."
❤❤
Di depan salah satu makam, dua kakak beradik terdiam dengan pikirannya. Hingga setetes demi setetes air mata jatuh memenuhi pipi sang adik. Hampir satu jam mereka berada di posisi yang sama.
"Jisoo selalu bersyukur lahir dari rahim wanita sehebat ibu. Jisoo sayang ibu. Terimakasih bu."
Perlahan Jisoo melangkah mejauhi makam.
"Maaf bu, dengan tubuh Jissa sendiri Jissa akan menjadi saksi untuk ayah--" lanjut Jissa dalam hati.
"Demi Jisoo"
W a k t u T i m e
Haloha>o<
Pendapat tentang part ini?
Terimakasih semua atas dukungan kalian, ceritanya udah tembus 500 lebih pembaca...lop yu 🤗❤❤
Tinggalkan jejak (Gratis kok_*)
callmeRIES
KAMU SEDANG MEMBACA
WaktuTime (BLACKPINK)
Fanfiction[Only on Wattpad!] "Disaat nanti kamu tidak lagi menemukan senyuman di bibirku itu artinya yang lama telah menjadi masa lalu." - Sooya "Lo baik gue baikin. Lo jahat gue baikin. Sesimple itu, tapi sesusah itu juga lo menghargai gue." -Jane "Titik ter...