Keenam

7.5K 562 10
                                    

Dirga menghampiri tubuh Liano yang telah tergletak itu, Dirga pikir pasti Liano tengah berpura-pura agar mendapat perhatiannya.

"Nggak usah bercanda! Bangun lo nggak lucu bego!". Ketus Dirga namun tak ada respon atau pergerakan dari Liano, Entah mengapa dirinya kini dilanda rasa takut dan cemas secara bersamaan.

Dirga berjongkok menyentuh tubuh adiknya itu mengguncang keras namun nihil Liano masih menutup matanya, kini tangannya beralih menyentuh dahi Liano panas itulah yang Dirga rasakan sepertinya adiknya ini demam.

Tanpa pikir panjang Dirga mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu kepundak kokohnya membawanya kekamar.

Dari arah tangga Dimas sudah terlihat rapi dengan style jas kantornya langkahnya terhenti ketika putra sulungnya itu menggendong seseorang yang ternyata adalah sosok yang tak pernah dianggapnya.

Dimas menghampiri Dirga yang nampak sedikit kepayahan menaiki anak tangga "Dia kenapa Ga?". Tanya Dimas datar "Nggak tau yah tiba-tiba pingsan badannya juga panas kayaknya sih demam". Dimas mendengus pelan menatap sekilas wajah tanpa rona yang tergolek lemah dipunggung putra sulungnya itu.

"Kamu berangkat aja, biar Dia Ayah yang lanjutin gendong kekamarnya". Dirga sedikit kebingungan dengan apa yang diucapkan Ayahnya baru saja.

"Hah?! Tapi yah-".

"Udah sana kamu berangkat nggak ada alasan kamu bolos ataupun terlambat apalagi disebabkan karena bocah menyusahkan ini!". Tegas Dimas menatap tajam Dirga, yang ditatap pun seketika beringsut ketakutan bisa gawat jika Ayahnya marah "y-ya udah D-Dirga berangkat dulu". Ucap Dirga yang entah mengapa menjadi terbata-bata.

"Aku gendong sampe ke kamarnya deh yah tanggung ini, abis itu Dirga langsung berangkat". Ia pun segera mempercepat langkahnya menaiki satu persatu anak tangga diikuti sang Ayah yang mengekor dibelakangnya.

***

Dirga meletakan tubuh Liano dengan perlahan melepas sepatu dan tas kemudian menyelimutinya hingga sebatas dada, sejenak Dirga menatap sendu wajah sang Adik entah mengapa perasaannya berkecamuk ada gelayar nyeri didalam rongga dadanya.

"Dia siapa yang jaga yah, kasian kalo ditinggal sendiri nggak ada ART kalo ada apa-apa gimana?".

"Ayah nggak jadi kerja hari ini". Ucap Dimas datar, Dirga mengernyitkan dahinya apa dirinya tak salah dengar? Jelas-jelas Ayah sudah tampil rapi menggunakan style kantornya, benarkah Ayahnya akan bolos kerja hanya demi anak yang tak pernah dianggapnya itu?

"Sudah sana kamu berangkat, Ayah nggak mau kamu bolos lagi ingat sebentar lagi kamu udah harus fokus menghadapi ujian kelulusan". Dirga menghembuskan nafasnya kasar meraih tangan kekar sang Ayah menciumnya sejenak kemudian ia segera beranjak pergi.
Dimas tersenyum tipis menatap punggung putra sulungnya yang kini telah hilang dibalik pintu.

Kini giliran netra tajamnya menatap sosok yang tengah terbaring tak berdaya itu, ada rasa kesal karena lagi-lagi anak itu membuatnya susah dan kerepotan.

Dimas pun menyentuh dahi anak itu untuk memastikan jika benar anak itu mengalami demam dan ternyata memang sangat panas. Dimas membuang nafasnya kasar ingin sekali dirinya mengumpati seseorang didepannya yang tengah terbaring itu ia pun beranjak untuk mengambil obat penurun panas dan mungkin sedikit makanan serta mengambil air untuk mengompresnya.

Dengan telaten Dimas memeras dan meletakan handuk kecil itu didahi anak bungsunya itu, tak berselang lama sura lenguhan muncul dari bibir mungil Liano yang sepertinya telah sadar dari pingsannya.

Dimas kira anak itu akan membuka matanya namun justru suara rintihan kesakitan yang anak itu lontarkan membuat Dimas sedikit kelimpungan karena baru pertama kali dirinya ia menjaga orang sakit biasanya jika Dirga sakit ia hanya memberinya obat.

Dimas menepuk pelan pipi Liano agar bangun untuk memakan selembar roti beroleskan selai coklat yang diambilnya tadi dan segera meminum obatnya.
"Bangun dulu, makan dan minum obatmu!". Ucap Dimas, Liano masih bergerak tak nyaman tubuhya kini pun dibasahi keringat dingin.

Liano berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat kepalanya pun pening luar biasa apalagi seluruh tubuhnya dilanda rasa linu "A-ayah...". Lirihnya, sungguh dirinya tak percaya jika sosok didepannya ini adalah Ayahnya apakah ini hanya mimpi?

Liano menatap sayu Ayahnya ingin sekali ia bisa memeluknya namun sekali lagi ia tak ingin membuat Ayahnya marah, ia pun segera bangkit namun yang terjadi tubuhnya kembali terjatuh berbaring.

"Sudah tiduran saja, ini cepat makan rotinya kamu harus segera meminum obatmu!". Dimas menyodorkan roti berselai coklat itu, entah mengapa hatinya sedikit tersentil saat melihat anak bungsunya itu sedang kepayahan menelan rotinya tak ada niatan sama sekali ia membantunya.

"Uhukkk..". Liano tersedak saat satu gigitan roti meluncur ditenggorokannya ia pun terbatuk hebat hingga ia bangkit dan memuntahkan semua isi perutnya dilantai samping kanan ranjangnya membuat Dimas tersentak kaget sepatunya pun sedikit terciprat muntahan Liano.

Dimas mendengkus kesal ia pun mengurut tengkuk Liano yang masih saja muntah "Kau ini merepotkan sekali!". Dumal Dimas yang tentu saja didengar jelas oleh Liano sendiri.

"M-maaf hiks..". Kini Liano mulai terisak membuat Dimas lagi-lagi dibuat kelimpungan "Sudah, sudah yang menyuruhmu menangis siapa? Cengeng!". Ucap Dimas yang menyudahi aksi mengurutnya mencoba tak menatap sosok anak bungsunya itu.

"A-ayah, hiks ini beneran Ayah kan? Lian nggak mimpi kan?". Dimas terpaku mendengar ucapan yang terdengar lirih itu entah mengapa hatinya berdenyut nyeri.

Liano memeluk erat tubuh sang yang Ayah yang berada didepannya entah keberanian darimana hasrat ingin menyentuh apalagi memeluk Ayahnya terus saja memberontak, Dimas sedikit terkejut namun ia membiarkan tubuh kekarnya dipeluk oleh sosok yang tak pernah dianggapnya.

Tak mendapat penolakan dari sang Ayah membuat Liano semakin mengeratkan rengkuhannya isakannya pun semakin terdengar mewakili perasaan senang yang meletup dihatinya.

Dimas terus saja mematung hingga ia mengernyitkan dahinya saat dirasa rengkuhan itu melonggar dan suara isakan tak lagi terdengar ia pun membalikkan badan anak itu yang ternyata kembali kehilangan keadarannya yang membuat jantungnya berdetak tak karuan adalah kedua lubang hidung bangir anak itu mengeluarkan banyak darah. Ahhh shit mimisan!









Tbc!

Gimana gaes, gaje yak😂

Berhubung masih susana Lebaran author mau mengucapkan "Minal Aidzin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir Dan Batin" barangkali author bikin kesalahan misalnya kayak Typo gitu apa cerita makin gaje mohon dimaafkan yak😅





See Youuu😚

Little Hope (END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang