Ketigapuluh

5.2K 384 15
                                    

Liano meliarkan pandangannya susana taman rumah sakit ternyata tidak terlalu buruk banyak pasien-pasien lain yang juga tengah menikmati pemandangan taman karena mungkin mereka sama dengan dirinya yang merasa jenuh diruang rawat.

Sosok Ayahnya duduk di kursi taman sebelah kirinya sementara dirinya duduk di kursi roda akibat tubuhnya yang masih terasa lemas.

"Ayah...". Panggilnya yang langsung membuat Ayahnya kini menatapnya.

"Kenapa?". Jawab Dimas sembari merapihkan anak rambutnya yang agak berantakan tertiup angin.

"Ayah capek ya? Maafin Lian ya nyusahin Ayah terus, seharusnya kan Ayah istirahat malah Lian ajak kesini". Ucapnya menatap wajah Ayahnya yang terlihat lelah dengan lingkar hitam dikantung matanya ia yakin jika Ayahnya itu kurang tidur.

Dimas dengan cepat menggeleng baginya ini adalah suatu hal yang wajib bagi seorang Ayah untuk selalu ada disamping anaknya.

"Kenapa ngomong kayak gitu, Adek sama sekali nggak nyusahin. Ayah emang capek tapi ngeliat adek baik-baik aja sekarang capek Ayah hilang". Ujar Dimas mengelus lembut lengan ringkih milik putranya itu, mendengar ucapan yang baru saja Ayah katakan membuat mata anak itu memanas dan berembun.

"Ayah... Mau peluk". Rengeknya terdengar manja membuat Dimas menyunggingkan senyum hangatnya tanpa basa basi lagi ia segera merengkuh tubuh ringkih itu membelai lembut rambut yang mulai memanjang, Liano menikmati sentuhan yang begitu nyaman dan hangat yang menurutnya itu adalah sebuah candu.

"Ayah... Lian takut". Lirihnya tiba-tiba, membuat Dimas mengernyitkan dahinya "Takut kenapa Dek kan ada Ayah".

"Lian takut meninggal hikss..".

Deg!

Dimas tersentak jantungnya terasa berdetak menggila ia memejamkan matanya, ucapan putranya itu seakan menamparnya beribu kali. Mengapa ini sakit sekali? Bahkan dirinya kini kehilangan kata-kata lidahnya begitu kelu untuk mengucapakan sepatah kata barang sedikitpun.

"Lian nggak bakal sembuh kan? Lian bakal meninggal 3 bulan lagi hiks Lian takut hiks Lian nggak mau masuk neraka".

Dimas menggigit bibir dalam bawahnya dengan kuat hingga rasa anyir ia rasakan, rengkuhannya pada anak itu semakin ia perkuat mendengar setiap kata yang dilontarkan putranya itu ibarat belati tajam yang mengiris hatinya perih sesak menjadi satu berkecamuk didalam rongga dadanya.

Tak lama kemudian air mata yang ia tahan akhirnya turun berjatuhan mewakili perasaannya dirinya belum sanggup untuk menanggapi ucapan putranya.

"Ayah jawab! Lian nggak bakal bisa sembuh kan? Ayah nggak usah nutupin lagi Lian udah tahu! Ayah Lian takut nggak bakal bisa sama-sama lagi sama Ayah sama Kakak juga hiks". Ucap Liano dengan raungan yang terdengar semakin menyakitkan diindera pendengaran Dimas.

"Ayah janji bakal ngelakuin apapun buat Adek biar sehat lagi. Bukan Dokter yang nentuin hidup Lian tapi Tuhan jadi kita do'a sama-sama ya. Ayah sayang Lian maafin Ayah ya udah pernah jahat sama Lian". Ujar Dimas yang juga ikut terisak biarlah untuk saat ini ia menunjukan sisi lemahnya didepan putranya.

"A-ayah nggak jahat tapi emang Lian yang nakal udah buat Bunda pergi...". Ucap Liano semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang Ayah. Oh Tuhan mengapa setiap kata yang dilontarkan anak itu begitu perih dirasakan oleh hatinya.

"Jangan bicara kayak gitu lagi... Bunda pergi emang udah takdir maafin Ayah yang baru sadar Dek Maafin Ayah...".

Liano benci dengan nada suara Ayahnya yang seperti ini terdengar begitu menyesal.

"A-yah Da-rah?".

Dimas tersentak sontak saja netranya melebar ketika melihat darah telah mengalir deras dari lubang hidung putranya bahkan mengotori baju yang dirinya kenakan.

"Baju Ayah kotor". Lirihnya, dengan cepat Dimas mengusap bawah hidung anak itu tanpa rasa jijik sedikitpun.

"Nunduk dulu dek... Pusing nggak? Apa yang sakit dek bilang sama Ayah". Tanya Dimas khawatir, Liano bergeming menatap setiap tetesan darah yang terjatuh begitu saja mengotori tanah berumput taman.
Dimas semakin khawatir saja melihat putranya itu hanya terdiam dirinya takut jika akan terjadi hal serius pada anak itu.

"Ayah... Lian nggak papa tapi sekarang Lian lemes banget". Ujarnya sembari menampilkan senyum manisnya agar Ayahnya itu tak khawatir lagi. Dimas lagi-lagi mengusap sisa darah dibagian bawah hidung putranya. Tatapannya masih tampak cemas pasalnya wajah anak itu semakin pucat saja.

"Kita kembali ke ruanagan ya, sini Ayah gendong aja". Dimas berjongkok memberi isyarat agar Liano menaiki punggungnya.

"Lian berat Ayah nanti Ayah ca-".

"Ayo naik Dek Ayah kuat kok tenang aja". Potong Dimas Dengn pasrah Liano menaiki punggung kekar Ayahnya mengalungkan kedua lengannya dileher Ayahnya.

"Lian sayang Ayah...". Lirihnya menenggelamkan wajahnya dipundak Ayahnya, Dimas hanya tersenyum tipis mendengarnya.

°°°

Delon menghembuskan nafas lega ia pun melepaskan stetoskopnya, dirinya lega karena kondisi keponakannya itu tidak apa-apa setelah mengalami mimisan lagi.

"Gimana Lon?". Tanya Dimas cemas

"Tenang aja bang, Lian baik-baik aja cuma kecapean aja jadi ya drop gini". Dimas menghembuskan nafas lega kemudian dirinya mendudukan diri disofa sembari memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening.

"Besok kalo kondisinya stabil kayak gini Lian udah bisa ngejalani jadwal kemoterapi pertamanya". Ucap Delon yang ikut mendudukan dirinya disamping Dimas.

Dimas hanya tersenyum tipis "Sembuhin Lian Lon Abang mohon, Abang nggak kuat liat Lian ketakutan kayak tadi".

"Aku bakal berusaha bang masalah hasilnya gimana itu terserah Tuhan yang penting kita usaha dulu. Pernah dengerkan bang pepatah Usaha takkan menghianati hasil". Ujar Delon menepuk pelan pundak Dimas yang hanya mengangguk.













TBC!

Hiyaa ampunn gaes aku nulis apaan dah ini, au ahhh yang penting apdet:v

Hiyaa ampunn gaes aku nulis apaan dah ini, au ahhh yang penting apdet:v

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

See youuu...

Little Hope (END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang