Note : Perhatikan setiap bagian chapter karena nggak urut!
Tuhan...
Harapan Lian nggak muluk-muluk kok Lian cuma pengin Ayah sama kakak sayang sama Lian.
Suasana tegang tengah terjadi disalah satu ruangan bernuansa berdomisli warna putih itu, seorang Dokter berusia paruh baya itu menatap serius dua orang didepannya yang juga tengah dilanda ketegangan.
Ia menghela nafas sembari melepas kacamata minusnya, berdehem sejenak untuk mengurangi ketegangan yang terjadi.
"Ekhmm... oke saya akan menjelaskan hasil pemeriksaan MRI saudari Liano". Ucapnya membuka map coklat berisi selembaran kertas.
"Saya mohon jangan bertele-tele Dok". Sela Delon yang sudah tak sabar mendengarkan penjelasan dari Dokter Irsyad yang merupakan seniornya.
Dokter Irsyad menganggukan kepalanya "Dari hasil tes MRI yang telah dilakukan bisa kamu lihat jika sel kanker telah bergerak menyerang paru-parunya". Delon menatap tak percaya gambar CT-scan paru-paru milik Liano, nafasnya tercekat untuk mengeluarkan sepatah kata pun begitu sulit ia lakukan.
Sementara Dirga yang notabenya kurang mengerti dengan hal itu pun hanya terdiam sekilas melempar tatapan pada Delon agar Omnya itu menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
"Saya sarankan agar pasien untuk segera melakukan kemoterapi untuk mencegah sel kanker yang penyebarannya terlalu cepat itu, bahkan jika sudah begini operasi pencakokan sumsum tulang belakang pun akan sangat beresiko". Lanjutnya membuat tubuh Delon semakin lemas saja.
"B-berapa presentase harapan hidupnya Dok?". Tanya Delon dengan nada bergetar.
Dokter Irsyad seketika terdiam menatap sedih juniornya itu "hanya 30% itupun jika dilakukan kemoterapi".
Delon menggeleng tak percaya air matanya yang semula menggenang dipelupuk matanya kini mulai berjatuhan, Dirga memejamkan matanya dadanya berdenyut nyeri mungkin ia buta akan dunia medis namun Dirga paham yang dijelaskan Dokter Irsyad baru saja mengenai kondisi adiknya itu.
Delon mengusap cepat air matanya, Dokter Irsyad tersenyum sendu melihatnya ia juga ikut merasakan apa yang dirasakan juniornya itu.
Dokter Irsyad bangkit dari kursinya menggampiri Delon menepuk pundaknya pelan "Kita akan berjuang bersama! Jangan khawatir serahkan semua pada Tuhan. Saya yakin Tuhan akan bersama orang-orang yang berjuang!". Delon tersenyum kecut dalam benaknya ia hanya seorang Dokter yang gagal namun tekadnya untuk menyembuhkan Liano sangat besar mengingat senyum cerah keponakannya itulah yang membuatnya semakin semangat untuk berjuang menyembuhkannya.
***
Liano menatap kosong langit-langit putih ruang rawatnya, sebuah selang pernafasan melintang dihidungnya diruangan ia bersama Sania neneknya yang tengah tertidur disofa karena kelelahan menjaganya sedari kemarin.
Tubuhnya kini sudah sedikit lebih baik nyeri didada yang menghujamnya kemarin tanpa ampun itu kini sudah samar ia rasakan. Pandangannya beralih pada jendela sebelah kanan yang menampakan awan mendung disana.
"Ngelamunin apa sih Dek?".
Liano terkejut dan menatap tajam Sania yang telah menghancurkan lamunannya itu.
Sania terkekeh sekaligus gemas melihat ekspreksi cucunya itu yang ternyata marah padanya.
"Ihh ngambekan banget sih cucu nenek". Goda Sania, Liano semakin mengkrucutkan bibirnya.
"Nenek...". Cicitnya, Sania mendudukan dirinya disamping ranjang Liano menatap lembut wajah sang cucu.
"Kenapa sayang? Haus? Atau laper?".
Anak itu menggeleng "Kayaknya waktu Lian udah nggak lama lagi deh". Sania terpekur mendengarnya lidahnya serasa mati rasa untuk membalas ucapan cucunya itu.
"Ijinin Lian ketemu Ayah Nek... Lian janji nggak bakal minta apa-apa lagi tapi ijinin Lian ketemu sama Ayah".
Dada Sania berdesir nyeri bahkan tak sadar setetes air matanya jatuh begitu saja.
"Percaya sama Nenek kalo Lian bakal sembuh hiks b-bahkan Om Delon bakal sembuhin Lian hiks Li-". Isaknya tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya.
Melihat Neneknya menangis hebat membuat Liano dilanda rasa bersalah ia merutuki dirinya sendiri yang telah berbicara tak jelas hingga membuat Neneknya itu menangis.
"M-maaf...". Lirihnya.
***
Dirga meyesap sebatang rokok disela jarinya menikmati setiap kepulan asap yang masuk kedalam paru-parunya, hal ini justru membuatnya jauh lebih tenang ditambah lagi semilir angin yang menerpa wajahnya karena saat ini dirinya berada dirooftop rumah sakit.
"Bahkan stadiumnya kini naik ke tingkat 3".
"Kemungkinan bertahan hanya 3 bulan dari sekarang".
"AAAAAAAAA". Teriak Dirga membanting dan menginjak penuh emosi puntung rokok yang esapnya tadi.
Kalimat Dokter Irsyad telah menghancurkan seluruh pertahanan hidupnya, sampai kapan pun dirinya tak akan pernah rela dan siap jika adiknya itu pergi meninggalkannya.
"KENAPAAAAA! HAH! KENAPA HARUS ADIKKU TUHAN! KENAPA!!". Tubuhnya bergetar hebat dirinya menangis tanpa suara air matanya terus berlomba keluar, dirinya tampak menyedihkan sekarang.
Ponsel disaku celananya terus bergetar mau tak mau Dirga mengambilnya, tertera nama Omnya disana yang menghubunginya.
Dengan malas ia menggeser tombol hijau "Haloo Ga, cepet kesini adik kamu-".
Tanpa basa basi lagi Dirga segera berlari menuju ruang rawat adiknya.
Tbc!
Holla...
Dirgahayu Republik Indonesia Ke-74💜
Liano aku matiin aja ya biar nih cerita cepet kelar, hehe😂
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.