Keduapuluh-delapan

5.5K 417 9
                                    

Dirga berlari kencang menyusuri koridor rumah sakit sesekali dirinya menabrak orang-orang yang tengah berlalu lalang, mendapat kabar adiknya telah sadar membuat perasaannya diliputi rasa bahagia luar biasa bahkan dirinya rela membolos di jam terakhir pelajaran.

Sejenak dirinya mengatur nafasnya yang memburu akibat berlari kencang, setelah dirasa cukup ia segera membuka pintu ruang rawat adiknya.

Senyum secerah matahari itu menyambut kedatangannya sontak saja dua sudut bibirnya otomatis tertarik membentuk sebuah senyum manis dengan dimple dipipinya.

"Kak Dirga!". Serunya membuat Dirga segera menghampiri sang adik yang tengah disuapi Dimas, Ayahnya.

Tanpa basa basi Dirga menarik tubuh adiknya itu kedalam pelukannya dengan senang hati Liano menyambutnya, bukankah hal seperti ini yang diharapkannya sejak dulu?

Dimas tersenyum hangat melihat interaksi manis kedua putranya itu.

"Kakak bau rokok...". Lirih Liano tiba-tiba yang nyaris tak terdengar namun Dirga masih dapat mendengarnya, jantungnya kini berpacu lebih cepat perasaan bersalah kembali menguasai dirinya.

Dengan perlahan Dirga melepas pelukannya, kini dirinya menatap bersalah wajah pucat adiknya selang oksigen melintang dikedua lubang hidungnya, setidaknya hal itu lebih baik dimata Dirga dibanding melihat mulut adiknya dijejal selang mengerikan.

"Maaf...". Sesal Dirga, Liano menatap bingung kakaknya itu.
Liano melirik Ayahnya yang juga tampak kebingungan bahkan kini Dimas menatap putra sulungnya dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Ada apa Dirga?". Tanya Dimas, Dirga semakin menundukan kepalanya dirinya diliputi rasa takut sekaligus sesal.

"Kakak bau rokok, Lian nggak suka". Cicit Liano membuat Dimas menatap tajam Dirga.

"Aku ngerokok, maaf". Lirih Dirga dengan penuh penyesalan.

Dimas menghela nafasnya kasar bahkan Liano menatap Dirga dengan tatapan tak percayanya.

"Mau jadi sok jagoan kamu! Udah bisa cari uang sendiri hah!". Bentak Dimas semakin membuat Dirga diliputi perasaan takut luar biasa Ayahnya ini jika sudah marah akan sulit ia taklukan.

"Maafin Dirga Yah, Maaf... Aku janji nggak bakal ngulangin lagi".

Dimas menghela nafas kasar dirinya meremat erat mangkuk berisi makan siang Liano yang dipegangnya.
Dirinya tengah berusaha menahan gejolak emosi yang siap meledak, mendengar anak sulungnya bersikap berontak membuat dirinya kembali merasa menjadi Ayah yang gagal bagi kedua putranya itu.

Liano menatap sedih Ayah dan Kakaknya secara bergantian sungguh dirinya benci dengan situasi saat ini.

Kepalanya kembali pening tanpa Ayah dan Kakaknya sadari dirinya melepas nasal canulla yang tersemat dihidung macungnya itu karena merasa hidungnya itu memanas tak berselang lama sesuatu mengalir dari hidungnya.

"Ayah jangan marahin Kakak..". Lirih Liano yang mengalihkan atensi keduanya yang sontak saja terkejut melihat dirinya kembali mengalami mimisan.

Dengan kasar Dimas meletakan mangkuk yang dipegangnya itu ke nakas segera dirinya beralih mendekati Liano.

Darah mengalir dengan derasnya hingga kini baju dan selimut Liano dipenuhi bercak darah, anak itu tiba-tiba saja terisak hebat membuat Dimas dan Dirga semakin kalang kabut.

"Ada yang sakit sayang? Mana? Bilang sama Ayah yang sakit yang mana". Ucap Dimas merengkuh tubuh putranya itu sembari menghentikan darah yang terus saja mengalir itu dengan sebuah kain kecil, Dirga menatap cemas adiknya bahkan kini dirinya menggenggam jemari Liano yang juga menggenggam balik jemarinya.

Little Hope (END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang