Keduapuluh-dua

6.2K 498 13
                                    

Sudah hampir 30 menit Liano menunggu Dirga Kakaknya didepan gerbang sekolah, suasana sekolah sudah mulai sepi siswa ataupun siswi yang sebelumnya ramai berlalu lalang kini terlihat jarang.

Liano menghembuskan nafasnya lalu menggembungkan pipinya hanya sekedar menghibur diri, sepertinya Kakaknya itu tengah sibuk melatih anak kelas 10 yang mengikuti ekskul basket dan tampaknya  masih marah dengannya terbukti ketika dirinya berpapasan ditoilet saat istirahat tadi Kakaknya hanya menatapnya sekilas tanpa sepatah kata pun.

Liano kembali termenung pikirannya berkelana sungguh ia sangat takut jika Dirga akan kembali membenci dirinya "Kakak maafin Lian...". Lirihnya.

Sementara Jeff sahabatnya itu juga tengah berlatih basket karena hari ini perdana anak kelas 10 yang mengikuti ekskul tersebut untuk berlatih, sebenarnya Jeff tadi sempat tak ingin berlatih setelah tahu apa yang terjadi padanya namun dengan kukuh Liano melarangnya.

Flashback...

Jeff terus memandang khawatir Liano yang terus menunduk aliran darah terus mengucur bebas dihidung sahabatnya itu, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar bertanya apa yang terjadi dengan anak itu.

Dengan setia Jeff menunggu dan ikut masuk ke dalam toilet untuk menemani Liano, tadi sempat terjadi perdebatan kecil karena sahabatnya itu bersikukuh tidak mau dibawa ke UKS padahal jelas-jelas anak itu mengeluh sakit pada kepalanya.

"Lo sakit apa?!". Tanyanya to the point, Liano hanya terdiam sibuk membasuh area hidungnya.
"Lo sakit apa?! Jawab! Gue tau lo denger!". Tanyanya kembali dengan nada sedikit meninggi.

Liano memberanikan diri menatap sahabatnya itu, matanya sudah berkaca-kaca "Lian takut Jeff hiks". Satu isakan lolos dibibir mungilnya, Jeff kembali dihujam rasa khawatir.

"Kenapa Yan, jangan gini dong. Kan gue cuma nanya kalo lo nggak mau cerita sekarang nggak papa kok".

"Lian sakit kanker hiks Lian sebentar lagi mau mati".

Jeff membeku menatap tak percaya wajah sahabatnya itu.

Flashback end...

***

Dirga menatap kosong lantai lapangan, ditangan kanannya memegang botol air mineral yang telah tandas ditengguknya.

Pikirannya kini hanya tertuju pada adiknya jika dipikir-pikir ia menyesal telah memebentak dan kembali mendiami adiknya itu, namun entah mengapa emosinya kini sulit ia kendalikan bahkan masalah kecil saja ia bisa terpancing.

"Woii... Ga sini!". Teriak Fahri menghancurkan acara melamunnya, dengan malas Dirga berlari ketengah lapangan menghampiri Fahri yang tengah sibuk membagi kelompok juniornya.

"Lo latih kelompok C sama D ya bareng Galih, sengaja gue bagi biar lebih gampang aja ngelatihnya abis lumayan banyak juga yang ikut kalo dijadiin satu takutnya nggak efektif". Jelas Fahri, Dirga hanya mengangguk.

Fahri memperhatikan gerak gerik adiknya yang aneh hari ini seperti tak biasanya yang pecicilan dan kelebihan energi namun hari ini adiknya terlihat pendiam tak banyak bicara.

"Lo kenapa? Sakit?". Ucapnya merangkul pundak adiknya itu, Jeff menggeleng dan melepaskan rangkulan tangan sang Kakak.

"Nggak!". Jawabnya ketus, Fahri mengernyitkan dahinya menatap nyalang adiknya yang bertingkah aneh hari ini Jeff yang ditatap seperti itu pun memutar bola matanya malas "Gue nggak papa!". Ucapnya beranjak menjauhi sang Kakak.

***

Liano mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menggantung karena ia duduk ditempat yang agak tinggi sehingga kakinya tak sampai menyentuh tanah mulut mungilnya terus bersenandung kecil sudah hampir 1 jam dirinya masih setia menunggu sang Kakak tekadnya sudah bulat ia ingin pulang bersama dan meminta maaf langsung karena telah membuat sang kakak kesal dan marah kembali padanya.

Tinn!

Sebuah mobil mewah berhenti tak jauh didepannya, bunyi klakson berhasil mengalihkan pandangannya Liano mengernyitkan dahinya ia seperti mengenali mobil yang berada tak jauh dari tempatnya itu.

Liano terus menatap penasaran mobil itu, tak berselang lama sang pemilik membuka pintu dan berjalan keluar hal itu membuat Liano membeku ketika tahu siapa pemilik mobil itu. Ayah?

Dimas tersenyum menampilkan senyum terbaiknya menghampiri putra bungsunya itu, "Haii...". Sapanya terdengar masih kaku itu sementara Liano anak itu terus menatap hingga lupa caranya berkedip, tanpa basa basi Dimas mendekap tubuh ringkih putranya itu Liano semakin melebarkan matanya tubuhnya semakin membeku.

"Maafin Ayah nak... Maafin Ayah...".

Dimas semakin mengeratkan rengkuhannya tangisnya pun pecah, mulutnya terus menggumamkan kata maaf.

Liano, anak itu masih mematung seluruh tubuhnya begitu kaku hingga ia pasrah saja saat Ayahnya berlari mendekap tubuhnya, didalam benaknya mungkin ini hanya mimpi namun bukankah dirinya sedang tak tertidur?

Perlahan ia menyadari mata elangnya mengerjap lucu tangan yang semula terasa kaku itu kini perlahan mulai membalas pelukan sang Ayah dan ternyata ini memang nyata. Liano menangis sejadi-jadi akhirnya ini bukan mimpi akhirnya ia bisa memeluk Ayah seerat ini akhirnya Ayahnya memberinya sebuah pelukan.

"A-ay-ahh hiks.. ternyata ini beneran Ayah hiks". Isaknya, mendengar itu membuat dada Dimas kembali nyeri seperti dihantam puluhan batu.
Ia daratkan sebuah kecupan dari hati terdalamnya dipucuk kepala putranya itu, perasaannya menghangat melihat respon yang diberikan Liano yang tak membenci ataupun menolak dirinya.

Dimas melepaskan pelukannya ditatapnya wajah lugu sang putra yang memerah penuh dengan jejak air mata ia tangkup pipi tirus itu kembali ia daratkan kecupan didahinya.

Dimas berlutut dirinya hendak mencium kaki putra bungsunya yang selama ini ia sia-siakan, namun anak itu mencegah aksinya dengan berjongkok dan kembali mendekap dirinya.

"Ayah jangan kayak gini hiks nanti Lian dosa hiks harusnya Lian yang cium kaki Ayah karena hiks selama ini Lian udah nakal sama Ayah maafin Lian...".

Dimas menggeleng keras menampik ucapan putranya itu "Bilang sama Ayah hati kamu terbuat dari apa Nak... harusnya kamu benci Ayah harusnya kamu marah sama Ayah tapi kenapa? Kenapa kamu nggak melakuakan itu... Ayah malu sungguh Ayah sangat malu Nak. Ayah menyesal...".

"Ayah Ayahnya Lian... nggak mungkin Lian marah ataupun benci sama Ayah. Lian tau Ayah sebenernya nggak benci sama Lian kan? Ayah sebenernya sayang sama Lian kan? Lian nggak mau jadi anak durhaka...". Ucap Liano polos yang kembali berhasil merobek hatinya Dimas tersenyum pedih dirinya semakin jatuh kedalam jurang penyesalan.

















Tbc!

Astagfirullah😓 gaje banget sumpah ini part😖 maaf yak😁 ide lagi mampet soalnya😂

Astagfirullah😓 gaje banget sumpah ini part😖 maaf yak😁 ide lagi mampet soalnya😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Bye!

Little Hope (END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang