35. MUSIC

102 28 5
                                    

Ujian Nasional Kevin berjalan lancar. Ya, lancar mengerjakan jawaban karena Kevin menggunakan metode cap-cip-cup. Pemuda itu tidak fokus selama ujian. Bagaimana tidak, Nara-nya sakit. Hari ini, Ari mengajaknya untuk hangout bersama yang lainnya termasuk Luna. Namun, Kevin menolak ajakan mereka walau sudah dibujuk berkali-kali. Kevin merasa tidak pantas untuk bersenang-senang sedangkan kekasihnya sedang melawan penyakit dengan seluruh tenaganya.

Kevin bingung, ke mana lagi ia harus mencari Nara. Bertanya pihak rumah sakit pun tidak diberitahu. Kevin hanya tahu rumah Nara yang cewek itu tinggali. Ia sama sekali tidak tahu keluarga Nara yang lain.

Bulan depan adalah kelulusannya. Kevin berharap Nara hadir sebagai hadiah paling indah yang pernah cewek itu berikan dalam hidupnya. Ia rindu Nara.

______________________

Tepat di awal bulan Mei, Kevin lulus dari menengah pertama. Hal yang menyenangkan, tapi juga menyedihkan. Ini yang Kevin benci, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Seperti dirinya dengan Nara. Cewek itu benar-benar tidak datang di hari kelulusannya. Padahal, Kevin berharap dengan sangat.

Sekarang, Kevin berjalan menelusuri koridor. Semua kenangannya di sekolah ini kembali berputar. Memori saat ia ketahuan telat sekolah, memori saat ia dimarahi Pak Eko atau Pak Lanat dan berakhir masuk ruang BK, Kevin rindu masa itu. Kisah putih abu-abunya tidak selalu indah, tapi kenakalan yang ia lakukan membuat semuanya indah dan tidak akan pernah Kevin lupakan. Kemudian, pemuda itu berjalan menuju lapangan basket, tempat di mana ia meluapkan rasa kesalnya, tempat di mana ia menjadi pujaan siswi di sekolah saat ia bertanding dengan sekolah lain, dan ... tempat pertama kali ia melihat Nara dengan wajah judesnya. Kevin terkekeh. Lapangan basket ... juga menjadi tempat terakhir yang kunjungi di sekolah itu tanpa Nara.

Kevin menengadah, tidak membiarkan sebutir air keluar dari matanya. Semuanya terasa berat ia lalui. Hubungannya dengan Nara tidak ada ujungnya, tidak ada kata putus di antara mereka. Namun, Kevin tidak ingin mengakhiri hubungan mereka. Nara adalah alasan mengapa dirinya bisa lebih mendalami musik. Nara adalah alasan dirinya rajin sekolah. Jika tidak ada Nara, apakah Kevin bisa semangat untuk menjalani pendidikannya?

Satu tepukan berhasil membuat Kevin tepelonjak. Bisa gawat jika ada yang melihat dirinya menangis. Bukan Kevin sekali.

Kevin tersenyum ketika melihat Luna berbalut kebaya biru laut. “Foto, yuk! Gue belum foto sama lo.” Kevin mengangguk dan menerima ponsel Luna yang gadis itu berikan. Mereka berselfie dengan berbagai ekspresi. Seketika Luna tertawa melihat hasilnya. Hanya lima potret yang mereka ambil, tapi itu sangat cukup berarti bagi Luna.

“Vin, pegang hape gue dulu. Kebelet pipis, nih!” Kevin terkekeh melihat ekspresi Luna, kemudian mengambil ponsel Luna. Setelah gadis itu pergi, Kevin melihat kembali foto mereka dan berniat mengirimkannya ke ponsel miliknya sendiri.

“Anjir, muka Luna jelek amat kayak badut IT.” Kevin cekikikan dan menggeser slide selanjutnya. Seketika senyumnya luntur.

Jarinya memperbesar foto yang dilihatnya. Kevin tak salah lihat, itu foto dirinya dengan Luna di gudang sebulan yang lalu saat ia memeluk Nara, karena wanita itu cemburu. Slide selanjutnya sama, potret dirinya dengan Nara. Kevin menggenggam erat ponsel Luna. Ia ingin membanting ponsel itu, tapi mengingat bukan miliknya, Kevin mengurungkan niat gilanya itu.

Kevin melangkahkan kakinya menuju toilet perempuan, ia menunggu Luna di depan pintu masuk toilet. Tak lama, Luna datang seraya tersenyum.

“Lo ngapain di sini?” canda Luna. Namun, senyumnya luntur tatkala ia melihat ekspresi Kevin yang menegas. Seketika ia melihat ponselnya yang di genggam erat oleh pemuda itu.

“Balikin hape gue.” Luna merasa bodoh. Luna yakin Kevin sudah melihat foto itu. Jantung Luna berdegup kencang. Luna menarik tangan Kevin, namun cowok itu menahan dan menepis tangan Luna.

“Jadi ... lo yang nguntit gue sama Nara?” Lihat, bahkan Kevin tak menggunakan embel-embel 'Bu' saat memanggil Nara.

“Vin--”

“JAWAB GUE!” Luna tersentak takut, “lo bikin gue sama Nara berantem sampai gue bener-bener sebenci itu sama Nara. Gue belain lo sampai rela nggak ketemu Nara berhari-hari! Lo ngebiarin hubungan gue sama Nara hampir tandas, lo tahu nggak?!” bentak Kevin. Sungguh, Luna sangat takut melihat Kevin seperti ini. Ia bingung bagaimana menjelaskannya.

“Gue suka sama lo, Vin. Tolong ngerti gue,” ucap Luna lirih.

Kevin berdecih. “Lo minta gue ngertiin lo, sedangkan lo sendiri nggak ngerti posisi gue sama Nara! Gue sama Nara itu udah pacaran, Lun. Seharusnya di sini lo ngerti posisi lo sendiri! Ternyata lo ...” Kevin menjambak rambutnya frustasi, kemudian berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan emosi dalam benaknya.

Luna menangis, sungguh perasaan dirinya campur aduk. Ia tidak ingin kehilangan Kevin.

“Gue minta maaf,” ucap Luna seraya terisak.

“TELAT! LO TELAT MINTA MAAF!” Kevin menunjuk wajah Luna dengan tatapan nyalang.

“LO TAHU NGGAK KONDISI NARA SEMAKIN PARAH KARENA GUE LEBIH MILIH LO DIBANDINGKAN DIA?!” Luna menatap Kevin.

“Salah lo juga karena lo lebih milih gue dibandingkan pacar lo sendiri, bego!” Kevin benar-benar marah. Kalau Luna bukan perempuan, Kevin sudah menghabisinya daritadi.

“Gue kecewa sama lo, Lun!” Kevin mendudukkan dirinya menyender dinding. Tubuhnya lemas. Kini, hanya ada rasa penyesalan yang menyelimuti dirinya.

“Pergi lo dari sini!” ketus Kevin. Bahkan pemuda itu tak melihat wajah Luna saat gadis itu meninggalkan dirinya.

Nara, Nara, dan Nara. Kevin rindu kekasihnya itu.

Kevin hanya ingin bertemu Nara. Jika perlu Kevin akan sujud di depan Nara untuk mengucapkan beribu maaf, walau Kevin tahu permintaan maafnya tak sebanding dengan apa yang ia lakukan pada wanita itu.

______________________________

“Vin, nggak mau pindah ke Universitas yang Papa bilang? Bagusloh, jurusan bisnisnya akreditasi--”

“Perlu berapa kali Kevin bilang? Kevin nggak mau jurusan bisnis!” keukeuh Kevin.

“Vin, ada baiknya kamu nerusin perusahaan Papa. Papa mau kamu yang nerusin perusahaan Papa,” ucap Kenan yang terlibat sudah pasrah membujuk Kevin. Ini adalah cara terakhirnya, memelas.

“Kevin tetep ambil musik! Sekalipun Papa ambil semua aset aku, nggak masalah. Aku bakal cari uang sendiri buat kuliah, di usir dari rumah pun nggak apa-apa.” Kevin bangkit dari duduknya dan meninggalkan kedua orangtuanya di ruang tamu.

Sepergian Kevin, Vinna mengela napas. “Nggak usah dipaksa. Aku tahu karakter Kevin. Kalau dilarang makin menjadi, izinin ya?” Kenan mengangguk pelan seraya memijit pelipisnya.

“Bener-bener keras kepala.”

“Kayak siapa?” tanya Vinna.

“Kamulah!”

“Kok aku?! Kamulah!”

“Kevin anak siapa?”

“Anak kita,” jawab Vinna akhirnya, kemudian terkekeh menyadari betapa keras kepalanya ia dengan sang suami. Pantas saja Kevin seperti ini.

.
.
.
.

To be continue...

Music From Badboy✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang