20

14K 2K 78
                                    

Ryan segera melajukan mobilnya ke rumah Argi saat Naren dan Aksa memberi kabar bahwa Argi sudah sampai dirumah pukul 1 pagi. Naren dan Aksa menebak, Argi berputar-putar tanpa tujuan selama 3 jam di jalanan. Mereka tau percuma mencari Argi di club malam seperti sewajarnya anak muda gaul di ibukota karena anak ini bukan tipe manusia yang akan lari ke minuman keras untuk menghilangkan marah sehingga sekalipun mereka mencari ke semua klub malam di jakarta, hasilnya akan nihil. Sementara mencari Argi di jalanan jakarta juga hanya buang-buang waktu. Argi tidak suka diganggu jika sedang marah. Dia harus meredakan sendiri emosinya sebelum bertemu lainnya. Maka saat jam 1 pagi dilihatnya mobil Fortuner putih milik Argi masuk ke Garasi, Naren dan Aksa yang sedari tadi menunggu di ruang tamu milik keluarga Argi segera menghubungi Ryan.

Syukur kedua orang tua Argi sedang tidak berada di rumah. Pun kakaknya yang masih ada urusan diluar kota. Sehingga mereka tidak perlu melihat anaknya pulang dalam keadaan kacau dengan amarah yang masih cukup tinggi.

Argi mengacuhkan teman-temannya yang sedang duduk di ruang tengah dan memilih berjalan ke arah bagian belakang rumahnya dimana terdapat punching bag disana. Argi membebatkan selembar kain dengan asal jemari tangan kanan dan kirinya. Ia memulai olahraga malam yang lebih mirip orang emosi ketimbang sekedar mencari keringat.

Naren dan Aksa hanya menunggu di pojok ruangan. Tidak berniat meredakan emosi Argi karena percuma. Mereka terlalu mengenal Argi. Sahabat mereka ini hanya butuh ditemani. Bukan ditanya apalagi di interogasi.

Ryan datang dan melihat Argi masih memukul punching bag dengan keringat yang mengucur deras. "udah berapa lama?" Ryan bertanya pada Naren dan Aksa

Naren melihat jam tangannya "35 menit"

"sinting!" Ryan mengumpat

"biarin aja. Lo siap-siap aja ngabsenin dia besok. Gue jamin besok dia nggak akan berangkat"

Ryan berdecak masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. Setelah 50 menit melampiaskan emosinya, Argi melemparkan kain yang dibebatnya di telapak tangannya sedari tadi ke lantai dengan kasar.

"BRENGSEK!" Argi mengumpat kasar kemudian menjatuhkan tubuhnya di lantai dingin rumahnya.

Naren, Aksa dan Ryan mendekati Argi dan duduk disamping laki-laki yang sekarang sedang menutup matanya dengan lengan kanannya. "harusnya gue lebih cepet tadi. Gue nggak tau si bajingan itu berani narik tangan Nayla" suara Argi bergetar dengan nafas yang masih tidak teratur

"Nayla udah nggak papa Gi" Ryan berusaha menjelaskan. "lo nggak bisa ngebunuh anak orang Cuma karena dia nyatain cinta"

"nyatain cinta my ass!" Argi bangkit dari posisinya dan duduk memandang ketiga sahabatnya "nggak ada orang nyatain cinta pake cara nggak sopan kaya si bajingan itu!"

"you can not expect everyone to behave politely like you, Gi" kali ini Naren bersuara

"but people must have basic manner, Ren! Dan meluk cewek yang bahkan belum jadi pacar itu bukan basic manner dari cowok baik-baik" Sentak Argi

"lo juga" Argi menunjuk Ryan "lo ngapain nahan gue sih nyet?!"

Ryan memutar bola matanya tidak percaya. Ingin sekali marah-marah pada manusia didepannya tapi ditahannya karena dia tau, Argi lebih marah kali ini. "Lo udah bikin anak orang babak belur jam 10 malem didepan rumah gue, Nyet! In case lo lupa, nggak ada yang tau trauma yang Nayla alami. Kalau sampe tetangga – tetangga gue tau Nayla punya panic attack dan Trauma, lo mau tanggung jawab?"

Argi mendengus kasar. Membuang mukanya kesal. Tidak ingin meneruskan perdebatan karena memang tenaganya sudah habis.

Aksa masuk kedalam rumah untuk mengambil dan memberikan 4 botol air minum botolan untuk dirinya sendiri dan ketiga sahabatnya.

The ShefareldhineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang