CHAPTER EMPAT: Hujan dan Dia.

234 26 2
                                    

—Ketika hati merintih, berdoa saat hujan adalah salah satu obatnya—

----

Hari ini gadis itu melamun, memaksa otak bekerja keras mencari cara agar menemukan sang adik-adik. Pikirannya melambung jauh ke atas langit yang menggelap karena mendung. Nia terduduk, sesekali memijat kakinya yang mati rasa, tangan satunya memegang perut yang tak henti berbunyi, sedangkan sang punggung bersandar pada kursi halte bercat hijau lumut yang sudah luntur termakan usia.

Kedua mata bergerak awas, menyaksikan setiap detik awan gendut itu perlahan-lahan memuntahkan isi perutnya. Suara gemercik air langit terdengar semakin deras, bersamaan bau menyeruak dari berbingkah-bingkah tanah yang terguyur.

Petrichor!

Ya, orang-orang penyuka hujan menamainya dengan sebutan itu. Lalu Nia menunduk mengikut alur si air, menyaksikan rinaian itu jatuh membasahi bumi.

"Harusnya kamu bersyukur kalau hujan turun begini. Seengaknya saat kamu berdoa, 80 % Tuhan akan mengabulkan harapanmu.''

Bocah aneh itu memutuskan untuk membuka suara mendapati Nia hanya terdiam. Nia menoleh, Bian mengangguk, ia menyeringai melihat wajah Nia merah padam.

''Aku nggak tahu bagaimana rasanya, tapi melihat wajahmu sebegitu merah sudah menandakan kalau itu pasti sakitnya bukan main. Aku nggak tahu orang macam apa yang telah mematahkan kaki orang seperti ini. Apa itu orangtuamu? Maksudku apa mereka—''

Belum sempat Bian menyelesaikan kalimatnya, Nia kembali menggeleng. Sekali lagi, ia menahan pipis setiap kali membuat gerakkan.

"Kalau bukan mereka lalu?''

Nia mendesis, ''Jangankan memukul, tahu namanya saja enggak. Jadi bagaimana bisa mereka memukulku?''

Bian mengaduh pelan, ia menoleh sesaat dengan mimik wajah bersalah sebelum kembali ke eskperesi dingin berkarisma, tetapi menyebalkan di mata Nia.

Lalu Bian pun memutar pertanyaanya. "Kalau begitu hanya ada dua opsi jika wajah seperti itu. Satu: artinya kamu malu. Dua: artinya kamu sedang marah. Tinggal pilih saja yang mana atau jangan-jangan kamu malu sekaligus marah sama aku, ya?''

Nia memutar bolamata malas. Tanpa sadar, gerakan refleks itu seolah merobek kembali luka di pelipisnya.

"Auw!'' ia mendesah. ''Enggak, tuh,'' lanjutnya sekuat tenaga.

"Khem, cewek emang aneh, ya? Jelas-jelas mereka marah, tapi bilangnya nggak marah!'' seru Bian lagi yang sedari tadi asik menggoyang-goyangkan kaki terkena hujan, matanya teduh disaksikan Nia bungkam.

"Huh! Aku tahu kalau kamu pasti tersinggung. Oh, ya, kamu juga harus tahu kalau sedang lapar, biasanya aku memang agak menjengkelkan. Tapi saying, aku udah nggak punya uang lagi buat beli makan.'' Bian kembali berceloteh.

Aneh, lagi-lagi lelaki itu memperlihatkan keanehannya pada Nia. Gadis itu tersenyum kecut kesusahan, sebelum melempar pandangan ke arah depan menyaksikan hujan yang semakin lebat sore ini.

''Aku cuman bercanda. Nggak usah serius gitu, lagi pula kamu pasti lapar 'kan?''

Nia bergeming, kali ini Bian ada benarnya. Setidaknya perut si gadis dari kemarin belum diisi, bahkan sudah sangat perih. Sejujurnya gadis itu enggan untuk menjawab, karena setiap kali membuat gerakan, maka seribu kali rasa sakit kian menjalar. Namun, karena merasa tak enak, mau tak mau ia pun bertanya, ''Aku juga belum makan dari kemarin.''

Bian menghela napas, ia menjawab, "Berarti kita sama. Ya, jika lapar, aku hanya minum banyak air untuk menjanggal perut. Walau nggak bertahan lama, tapi lumayanlah.''

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang