CHAPTER LIMA PULUH DELAPAN: Metamorphosis.

34 9 0
                                    

—Takdir tidaklah puas hanya dengan menimpulkan satu mala petaka. Namun, jika terus berlanjut, semua yang lewat jadi kebal. Hal tersebutlah menimbulkan peluang. Metamorphosis—

----

Tania terpejam ketika netranya bersitatap dengan sang ibu. Ya, sama seperti dulu, ia mengintip orang itu di balik celah lemari hingga tanpa sadar ia menggumamkan kata, ''Buka ... mama ... mama ... mama ... jangan pergi, jangan tinggalkan Tania.''

Tania yang sekarang tak seperti Tania kecil yang ketakutan setengah mati melihat semua keluarganya mati di tangan pembunuh itu. Ya, ia sekarang telah bermetamorfosis menjadi Tania yang lebih berani jika ia mau menangkap pembunuh itu. Ingatan tersebut kian menajam hingga pada akhirnya ia mendengar dentingan piano yang memaingkan lagu 'Sepanjang Jalan Kenangan' oleh si pembunuh itu.

Tania menyeringai, ia kemudian melangkah ke luar dari dalam lemari dan berjalan menuju depan pintu. Perlahan, ia menyentuh gagang itu dan berhasil. Ternyata pintu tersebut tak dikunci sama sekali, kemudian dengan tatapan dingin menusuk, ia melanjutkan langkah lagi untuk menyusuri ruangan di rumahnya sebelum ke ruang di mana dulu pamannya berada. Jengkal tiap jengkal menimbulkan sensari perih akibat lantai sudah di penuhi beberapa benda tajam bercampur kotoran serta debu. Namun, itu semua lagi-lagi tak membuat gadis itu terpengaruh.

Intuisinya menuntun gadis kecil itu bergerak ke ruang di mana dulu pamannya tinggal ditambah lagi denting piano itu tersebut masih mengalung di otak.

''Di sana!'' Tania bergumam, "Di sana ia menyembunyikannya.''

Perlahan, ia menuruni anak tangga yang curamnya bukan main. Tubuhnya yang masih lemah membuat gadis itu tetap mempertahankan keseimbangan, terlebih ia nyaris terjatuh setelah membentur pegangan tangga.

Setelah turun ke lantai bawah, ia kembali melangkahkan kakinya perlahan menyusuri koridor sambil menjaga keseimbangan tubuh supaya tidak terjatuh atau membentur lagi.

Walau di sana terdapat beberapa ruang, tetapi Tania tahu betul jika di ruang paling pojok itulah kamar pamannya berada. Ya, karena di sanalah ia bermain dan menari dengan paman jika beliau sudah pulang bekerja.

Tania mendengkus mendapati penampakan rumahnya benar-benar tak seperti dulu. Entahlah, rumah yang dulu dipenuhi dengan suara tawa gembira beruba menjadi sunyi dan hanya kegelamapn yang memenuhi rumah ini. Gadis itu menggeleng, ia tak mau jika ingatan menyenangkan itu membuat langkahnya goyah. Tidak, ia harus tetap membiarkan kenangan menyakitkan itu berkuasa penuh agar ia tak menyerah lagi.

Kini, ia sudah berdiri tepat di depan ruang itu. Tania tak lantas masuk, ia menempelkan telinganya mencoba mendengar apakah di dalam sana ada orang seperti dugaanya atu tidak. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendegar seseorang dari dalam mengucapkan sesuatu padanya. Cepat, ia pun mendorong pintu itu sekuat tenaga.

Gelap! Lagi-lagi hanya kegelapan yang ia tangkap seperti tadi. Entahlah, kegelapan ini membuatnya benar-benar tak tahan.

''Siapa kalian dan di mana mereka?'' tanyanya tercekat. Sial, pikirnya, tenggorokannya benar-benar sakit.

Setelah menggumamkan itu, ia kembali melangkah, tetapi baru beberapa gadis itu terjatuh karena tersandung sesuatu yang cukup besar tertutup plastik. Tania meraba-raba lantai sama seperti ia meraba dinding-dinding yang dingin itu saat berjalan. Tania meringis ketika telapak tangannya tergores sesuatu seperti pecahan kaca.

''Selamat datang Tania. Kamu benar-benar gadis kecil yang tangguh,'' jawab orang itu yang Tania tahu adalah dokter Sammy.

Tidak, Tania menggeleng, ia benar-benar bodoh karena tak menyadari semuanya dari awal. Lantas, kedatangan gadis kecil itu membuat Rianna menghentikan permainan pianonya.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang